Kisah seorang istri yang tidak diterima karena ditalak tiga oleh suaminya setelah beberapa menit melakukan ijab kabul pernikahan, suasana masih ramai baju pengantinpun masih dikenakan. Suara riuh tamu undangan pernikahan terdengar seperti hujan angin di hati si pengantin perempuan. Apakah ini mimpi? Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan? Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas. Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh. Ada apa? Sakit, sedih, nyesek bercampur aduk menjadi satu hingga melahirkan dendam kesumat dalam hati wanita tersebut. Sang janda pun tak tinggal diam dan betekad untuk membalas apa yang telah menimpa hidupnya.
"Zafira Hanan! Hari ini, Aku talak kamu, Aku talak kamu, aku talak kamu.!" Kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.
Apakah ini mimpi?
Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?
Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.
Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.
Ada apa?
Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.
Aku?
Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing.
"Ada apa, Dion?" Jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"
Plak!
Sekarang tamparan keras mendarat di pipi Mas Dion.
"Kamu mau buat malu Bapak dan Ibu, Dion?" Sekarang mertuaku mengambil alih. Sedangkan Bapak sudah terduduk di kursi.
"Maaf, Pak. Ini semua karena Bapak dan Ibu yang terus memaksa Dion untuk segera menikah, padahal Bapak tau aku hanya mencintai Sherly, Pak!"
"Apa? Sherly? Wanita yang sudah mencampakkan mu? Dia pergi bersama laki-laki lain yang lebih kaya dari mu, sekarang setelah kamu sukses seperti ini dia ingin kembali. Tidak, Nak! Tidak! Ibu tidak setuju!" Ibu mertuaku menangis histeris.
Mas Dion tak menghiraukan sama sekali, setelah talak tiga yang dia jatuhkan padaku. Dia pergi, menggenggam tangan wanita lain didepan ku, di depan tamu undangan. Tidak memperdulikan Ibu mertua yang menangis meraung-raung memanggil namanya.
Melihat langkah kaki Mas Dion yang semakin menjauh, membuat tubuhku terasa lemas, sulit sekali untuk bernafas, air mataku luruh.
Kenapa Mas Dion mencorengkan malu untuk keluargaku. Bahkan sekarang dia menyematkan status janda padaku, janda talak tiga.
Apa salahku?
Tubuh ini seketika luruh ke lantai, air mata yang sedari tadi ku tahan kini berjatuhan. Berkali-kali ku pukul dada ini agar rasa sesak hilang.
"Sudah, Nak! Sudah" terdengar suara Ibu di telingaku. Ibu pun tak kalah sedih, air mata yang jarang keluar kini menganak bak sungai.
"Apa salah Zafi, Bu? Apa? Kemana malu ini akan kita bawa, Bu? Zafi menjadi janda saat pernikahan Zafi sendiri!" isakku pada Ibu. Tak ku pedulikan lagi kebaya putih yang kini membalut tubuhku. Bahkan mahkota yang tadi nya terletak di atas kepala, ku buang ke sembarang tempat.
Tiba-tiba di tengah sahut-sahutan kehebohan yang terjadi.
"Bapak!" Ibu histeris saat melihat Bapak jatuh tersungkur. Ibu langsung menghampiri Bapak.
"Pak! Bangun, Pak! Jangan tinggalkan Ibu dan Zafi, Pak!" Ibu menggoyang-goyang badan Bapak, Bapak hanya diam. Melihat itu, aku langsung merangkak ke arah Bapak. Tak ada lagi kekuatan untuk berdiri.
"Pak, Bapak!" aku terus menangis sebelum tubuh ini menggapai Bapak. Semua tamu undangan mengerubungi kami. Seorang ustadz yang tadi menjadi saksi pernikahan ku ikut menghampiri Bapak.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun!" seru Ustadz yang berhasil merobohkan semua tiang kekuatan yang tadi ku kumpulkan.
"Tidak, tidak mungkin! Tidakk!" aku meraung. Aku peluk tubuh Bapak. Sedangkan Ibu sudah tak sadarkan diri.
"Pak! Mungkin Bapak salah, tolong di cek lagi pak. Bapak saya masih hidup, Pak!" aku memohon pada Pak Ustadz.
"Paman, ayo bawa Bapak ke Rumah Sakit Paman. Cepat tolong Bapak, Paman!" Paman Surya adik Bapak hanya diam di samping Bapak. Hanya air mata yang menggambarkan suasana hatinya saat ini.
"Siapa saja tolong Bapakku! Tolong! Tolong!" teriakku histeris. Hingga tak ada lagi kekuatan dan seketika semuanya gelap.
Aroma kayu putih tercium jelas olehku. Mencoba membuka mata perlahan. Rupanya aku sedang di kamarku, kamar yang sudah di dekor seindah mungkin. Bahkan beberapa bunga juga di taburkan di atas tempat tidur. Terngiang-ngiang sahut-sahutan orang membaca Yasin.
"Zafi, kamu sudah enakkan, Nak?" rupanya Bi Asih istri Paman yang menemani ku sedari tadi.
Kembali air mata ini mengalir, mengingat semua kejadian yang baru terjadi.
Mengapa semua ini harus terjadi padaku?
Mas Dion, kenapa kau begitu kejam?
Bukan malu saja yang kau toreh pada keluargaku, bahkan aku harus kehilangan Bapak atas sikap ke tidak dewasaanmu.
"Bi, kenapa semua ini harus terjadi pada Zafi, Bi?"
"Sudah, Nak. Lebih baik begini. Allah tunjukkan siapa sebenarnya Dion kepadamu, meskipun sedikit terlambat. Sekarang kamu harus kuat dan sabar ya. Ingat Ibumu, Nak." Bibi terus mengelus punggung tanganku. Mata Bibi memerah dan sembab.
Benar kata Bibi, meskipun sedikit terlambat. Aku bisa mengetahui semuanya, meskipun aku harus kehilangan Bapak.
"Mari, Bi. Kita temani Ibu!" aku berdiri dari pembaringan diikuti Bibi.
Saat keluar kamar, aku melihat Ibu yang masih duduk di samping Bapak. Bahkan baju kebaya yang dikenakan Ibu belum lagi terganti. Melihat ini semua, seketika perih kembali menghujam hati. Aku menghapus air mata dan menghampiri Ibu.
"Bu..!" aku duduk di samping Ibu.
"Zafi, Bapak Nak Bapak!" Ibu kembali menangis, aku memeluk Ibu.
"Ibu kuat, Bu. Zafi ada bersama Ibu!" aku hanya mampu berucap, sedangkan aku tak memiliki kekuatan seperti yang aku ucapkan pada Ibu.
"Mbak, jenazah Mas Hanan mau segera dimandikan Mbak." terdengar lirih suara Paman yang meminta izin pada Ibu.
"Biar gak kesorean Mbak, karena lebih cepat lebih baik". Lagi Paman hanya mampu berbisik sambil merunduk. Paman Surya adik Bapak satu-satunya, mereka hanya dua orang kakak-beradik. Nenek dan Kakek sudah lama berpulang.
"Baiklah, Sur. Selenggarakan lah!" perintah Ibu.
Para tetangga mulai mengangkat jenazah Bapak, tadinya mereka membantu untuk kelancaran acara pernikahan dalam sekejap mata berubah menjadi acara pemakaman.
"Apa Ibu mau ikut memandikan, Bu?" tanyaku pada Ibu.
"Ibu tak sanggup, Nak!"
"Kalau begitu Ibu duduk di sini saja ya. Zafi mau ikut memandikan Bapak!" Ibu hanya mengangguk.
Aku berjalan menuju tempat Bapak di mandikan, hanya ini kesempatan terakhir yang aku miliki.
"Jangan sampai air mata mengenai jenazah ya, Nak!" titah seorang ustadz.
"Insya Allah, Pak." aku mulai ikut menyiram tubuh Bapak dengan perlahan. Aku bersihkan semua bagian tubuh Bapak dengan lembut, sesekali menjauh agar air mata tak mengenai Bapak. Masih teringat jelas percakapan kami tadi malam
******
"Kamu jadi istri orang harus nurut ya, Nak! Jangan membantah suamimu. Ridho suami adalah surga bagimu!" nasehat Bapak sebelum aku tidur malam.
"Insyaallah, Pak." jawabku sambil merunduk.
"Kamu satu-satunya anak Bapak dan Ibu, jika sesuatu yang buruk menimpamu, Nak. Kembali lah pada kami. Kami akan selalu menerima bagaimanapun keadaanmu, Nak!"
******
Sekarang semua hanya tinggal kenangan. Jika saja ku tahu pernikahan ini membuatku kehilangan Bapak, seumur hidup tak akan ku jalani.
"Hati-hati bajumu, Nak!" ucap Paman saat melihat beberapa percikan air mengenai baju yang awalnya di gunakan untuk pernikahanku.
"Biar saja Paman. Baju ini sudah tidak ada gunanya.!"
Iya, baju yang ku design jauh-jauh hari sudah tidak ada gunanya.
Setelah proses memandikan selesai, langsung di kafani dan di sholat kan.
Hari ini hari yang sangat berat, dimana hari ini Bapak mengantarkan ku ke pelaminan dan aku mengantar Bapak kepemakaman.
Bersambung...
Jangan lupa Subscribe ya...
Bab 1 Part 1
04/11/2022
Bab 2 Part 2
04/11/2022
Bab 3 Part 3
04/11/2022
Bab 4 Part 4
04/11/2022
Bab 5 Part 5
04/11/2022
Bab 6 Part 6
05/11/2022
Bab 7 Part 7
05/11/2022
Bab 8 Part 8
05/11/2022
Bab 9 Part 9
06/11/2022
Bab 10 Part 10
06/11/2022
Bab 11 Part 11
12/11/2022
Bab 12 Part 12
13/11/2022
Bab 13 Part 13
14/11/2022
Bab 14 Part 14
15/11/2022
Bab 15 Part 15
16/11/2022
Bab 16 Part 16
17/11/2022
Bab 17 Part 17
18/11/2022
Bab 18 Part 18
19/11/2022
Bab 19 Part 19
20/11/2022
Bab 20 Part 20
21/11/2022
Bab 21 Part 21
22/11/2022
Bab 22 Part 22
23/11/2022
Bab 23 Part 23
24/11/2022
Bab 24 Part 24
25/11/2022
Bab 25 Part 25
26/11/2022
Bab 26 Part 26
27/11/2022
Bab 27 Part 27
28/11/2022
Bab 28 Part 28
29/11/2022
Bab 29 Part 29
30/11/2022
Bab 30 Part 30
01/12/2022
Bab 31 Part 31
02/12/2022
Bab 32 Part 32
03/12/2022
Bab 33 Part 33
04/12/2022
Bab 34 Part 34
07/12/2022
Bab 35 Part 35
08/12/2022
Bab 36 Part 36 Menjenguk Roni di Penjara
09/12/2022
Bab 37 Part 37 Resmi Berpisah
10/12/2022
Bab 38 Part 38 Keputusan dari Bupati
11/12/2022
Bab 39 Part 39 Maling itu Ternyata..!
12/12/2022
Bab 40 Part 40 Saat Santi Kecelakaan
13/12/2022
Buku lain oleh Gemoy N
Selebihnya