Metanoia. Salah satu desa kecil tertinggal yang hanya dihuni kurang dari tiga puluh orang, wilayah terpencil yang berada jauh di pelosok kota dekat pesisir pantai. Desa yang memiliki akses amat terbatas dengan sinyal dan listrik, seringkali menjadi desa yang menarik untuk dipelajari pengamat budaya dan lahan pembelajaran untuk mahasiswa berbagai bidang, mengingat betapa tertinggalnya desa itu. Namun, kerasnya kepala desa dan pemangku adat setempat. Membuat orang yang hendak berkunjung, harus membuat janji yang hampir selalu dibatalkan dan ditolak. Meski begitu, ada satu kelompok mahasiswa dari kampus swasta ternama yang diterima untuk belajar. Bukan tanpa alasan, kelompok itu diterima karena seorang wanita pemberontak dari desa.
"Halo ... halo, ini orang-orang yang kemarin datang ya?" Sambungan telepon aneh terdengar jelas oleh seorang wanita, sambil mengubah posisi duduknya ia kembali mendengar, "ini dari desa Metanoia. Kalian bisa kuliah di sini kapanpun, terus cari pak Ujang. Terima kasih."
Belum sempat wanita itu menyahuti, sambungan telepon itu berakhir. Ada rasa takut sekaligus heran, saat dirinya sebagai wakil ketua kelompok KKN memang sudah sewajarnya dia meninggalkan nomor telepon di lokasi KKN yang dituju. Tapi, bukan berarti disaat bersantai menunggu kabar, harus menerima telepon aneh yang sama sekali tidak beretika.
Hendak hati mengabaikan sambungan telepon tadi dengan berbaring dan melanjutkan nonton drama, justru ponselnya kembali berdering menandakan ada sambungan telepon lagi yang harus dijawab. Tertera nama 'Afrian Firmansyah', membuat wanita itu langsung menjawabnya, "kenapa, Pak ketua?" sambut wanita itu tetap membaringkan dirinya santai.
"Lo dapat telepon dari cewek asing, enggak? Bilangnya sih dari Desa Metanoia." Suara pria dari sambungan telepon itu cukup membisukan segala kemungkinan dalam benak, "Vin ... Vin. Arshavina Citrani!" seru suara dari sambungan telepon, seruan yang tentu saja mengembalikan kesadaran wanita dengan liontin bulan sabit itu.
"Sebentar, Af ... gue lagi mikir," tegas wanita itu, "gue juga terima telepon itu barusan, gue kira cuma orang gabut. Suaranya kayak buru-buru panik gitu, enggak sih? Gue kagak dikasih kesempatan buat ngomong," lanjutnya membeberkan hal yang baru terjadi.
"Oh berarti lo juga dapat, Vin?" sentak Afrian yang dijawab dehaman singkat dari Vina, "terus gimana sekarang? Itu cewek enggak ada bilang waktu kita harus ke sana, cuma bilang kapanpun terus cari Pak Ujang. Kasih tahu anak-anak lain, jangan?"
"Jangan!" tukas Vina cepat, "Entar batal KKN kita kalau ganti tempat lagi cuma gegara yang lain takut, kemarin saja sudah diancam kampus kan karena kita tolak tempat yang ditentukan?" Afrian menyetujui ungkapan peringatan dari kampus pada kelompoknya.
"Kita langsung ke sana saja?" tanya Afrian terdengar kebingungan yang amat jelas.
"Tanya dosen pembimbing kita saja enggak, sih?" Saran Vina dengan suara yang jelas menyuratkan keraguan, "atau langsung saja kabarin yang lain termasuk dosen kalau kita diterima, terus minta dosen antar sambil urus formalitasnya? Mereka kayaknya juga enggak bakal berani aneh-aneh, dosen kita tampangnya lebih seram dari kepala desa Metanoia, kan?" terang Vina yang terdengar konyol oleh Afrian.
Terjadi keheningan dalam sambungan telepon itu, sesekali hanya terdengar helaan napas dari Vina dan Afrian yang bergantian, "oke, ini cukup jadi rahasia kita saja, dari pada enggak jadi KKN terus lanjut semester buat pendaftaran KKN semester berikutnya, gue sih ogah. Gimana?"
"Oke, besok?" Afrian menyetujui tanggapan Vina yang cukup cepat, "lo kabari yang cowok, gue kabari yang cewek. Lo juga jangan lupa kabari dosen, kita kumpul di perbatasan gapura perbatasan kota."
"Siap, terus yang harus dibawa besok entar gue kirim di grup pesan," ucap Afrian sesaat sebelum Vina mematikan sambungan telepon.
***
Tiga kendaraan roda dua dan satu mobil telah berkumpul di titik kumpul yang ditentukan, keakraban yang terpaksa terjalin dari mahasiswa beda fakultas cukup membuat kecanggungan satu sama lain. Meski begitu, komunikasi yang erat dan rutin selama tiga pekan terakhir berhasil membangun kekompakan yang membuat kelompok itu bertahan.
Penentuan kelompok KKN dari pihak kampus dengan lokasi yang telah ditentukan harus berakhir penolakan. Bukan tanpa alasan, enam mahasiswa dari beda fakultas itu sepakat ingin melakukan desa terpencil yang terkenal mengerikan di pelosok kota dekat pesisir pantai. Menguji adrenalin sambil mengasah kemampuan dan mencari pengetahuan, adalah bekal keinginan dasar tekad mereka mengganti lokasi KKN.
Tembok besar menyamping yang dibangun permanen tidak terawat, dengan pintu besi di sisi kiri bangunan tergembok rantai menjadi pemandangan pertama yang didapati oleh tujuh orang itu, "kalian benar KKN di sini?" tanya dosen yang bertanggung jawab atas kelompok mahasiswa yang dibimbingnya.
"Iya, kita sudah pernah ke sini kok pak buat kasih surat permohonan," jawab Vina kemudian mendekat ke pintu besi itu, lalu mengetukkan gembok yang berada di antara mata rantai ke pintu. Yang tentu saja menimbulkan suara cukup memekakan telinga, sebab kecepatan tangan Vina yang seperti orang hendak menagih utang.
Sampai kemudian muncul seorang pria tua dengan tongkat di tangannya, jalan terbungkuk dan didampingi oleh pria dewasa di sampingnya, "hm ... rekan mahasiswa yang kemarin datang?" Vina mengangguk dan tidak melunturkan senyumnya sedikit pun, "memangnya saya sudah beri kabar bahwa kal ...."
"Aku ... aku telepon mereka kalau mereka diterima," potong pria tua itu yang ditanggapi baik oleh pria dewasa di sampingnya, "saya Ujang, saya pemangku adat di sini. Kalau ini Danang Harja, kepala desa," lanjutnya memperkenalkan diri sambil Danang membuka rantai yang bergembok di pintu besi.
Pembukaan pintu besi itu menjadi tanda bahwa enam mahasiswa benar-benar diterima dan disambut, tidak banyak yang bisa dilakukan Vina setelah melangkahkan kakinya masuk ke desa itu. Pengurusan administrasi yang dilakukan Danang dengan dosen pun terbilang singkat, tidak sampai satu jam kedatangan pun dosen sudah pamit untuk meninggalkan kelompok yang dibimbingnya.
Kepergian dosen itu menjadi tanda tidak tertulis dan tidak terucap, bahwa kegiatan kuliah kerja nyata mereka telah dimulai. Tanda yang tentu saja membuat Vina dan Afrian merasa kebingungan, perasaan berkecamuk yang seolah mengatakan bahwa keputusan yang diambilnya adalah kesalahan.
"Erina," panggil Danang ke seorang wanita yang sedang lewat membawa sebakul ikan, tempat pengurusan administrasi memang berhadapan langsung dengan pantai.
Wanita itu berjalan cepat menghampiri, pakaian daster tipis cukup mencerminkan kondisi perekonomian desa ini. Meski jelas berbanding terbalik dengan pakaian berbahan bagus secara kasat mata yang dikenakan Danang, "ini orang-orang kuliah yang waktu itu saya bicarakan, ajak mereka keliling desa terus tempatkan mereka di rumah bapakmu ya."
"Iya," jawab wanita dengan daster tipis dan rambut yang terlihat kusut tak terawat itu, jawaban yang terdengar penuh kepatuhan walau sedari tadi wanita itu sama sekali tidak mengangkat kepalanya, "ayo ikut aku," katanya langsung mengambil langkah mendahului para mahasiswa, bahkan sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk mereka memakai tas atau menyiapkan diri.
Sepanjang jalan kaki yang dilakukan, tidak ada obrolan satu sama lain atau jalan yang beriringan ke samping. Justru mereka saling jalan berbaris ke belakang seolah jalan yang dilewati hanya untuk satu orang, "Erina ya tadi namanya?" bisik Vina ke Afrian yang berada di depannya, pria yang menjawabnya hanya dengan acungan ibu jari.
Sedangkan empat teman lainnya, hanya sibuk dengan pemandangan dan pengamatan yang khas pesisir pantai. Jelas berbanding terbalik dengan kesibukan pikiran Afrian yang terus melawan perasaan tidak enak di benaknya, "suaranya mirip sama cewek yang telepon kita kemarin, kan?" bisik Vina lagi yang kali ini mempercepat langkahnya dan berjalan beriringan dengan Afrian.
Pria dengan potongan rambut cepak khasnya itu melirik tajam, dengan mata menyipit ia terus melirik Vina yang terlihat gelisah, "iya," jawab Afrian pelan.
"Tapi kenapa dia nunduk saja ya tadi ke Pak Danang?" tanya Vina lagi dengan suara pelan, mengikuti tekanan suara yang digunakan ketua kelompoknya.
"Jangan dibahas sekarang, nanti kalau ada momen kita bahas lagi," sahut Afrian lalu berjalan cepat, meninggalkan Vina yang termenung untuk sesaat dan kembali berjalan tanpa niat menyamakan langkahnya dengan Afrian.
Bab 1 Telepon Yang Aneh
08/04/2024
Bab 2 (2) Diintip Saat Mandi
20/05/2024
Bab 3 Keanehan Desa
21/05/2024
Bab 4 Daftar Keanehan
22/05/2024
Bab 5 Gudang Berbau Busuk
27/05/2024
Bab 6 Katanya, Wajar
17/06/2024
Bab 7 Erina Disuruh
18/06/2024
Bab 8 Wanita Kota Kurang Ajar
24/06/2024