Kecanduan Manis: Istri Manja Tuan Wahid
Rossa yang kepalanya tertunduk, perlahan mendongak untuk melihat wajah pria itu. "Dokter Luis, mengapa kamu ada di sini?" tanyanya dengan heran.
Luis Vinsensius tersenyum lembut. Sebelum sempat menjawab pertanyaannya, sang kepala rumah sakit lebih dulu menjelaskan, "Dokter Luis diundang menjadi penceramah di rumah sakit kami. Dokter Luis, apa nona ini temanmu?"
Luis mengangguk, lalu menatap Rossa dengan bingung. "Mengapa kamu di sini? Apa kamu sakit?"
Dengan senyum pahit, Rossa menggelengkan kepalanya perlahan.
Luis adalah dokter yang dulu merawat adik laki-lakinya yang autis. Karena itulah mereka berdua menjadi akrab satu sama lain.
"Rossa!" Jelita terlihat bergegas mendekat.
Ketika perawat memberitahunya bahwa Rossa telah melarikan diri, Jelita sangat terkejut. Dia merasa lega ketika melihat Rossa belum pergi terlalu jauh.
Rossa mengerucutkan bibirnya dan menundukkan kepalanya sekali lagi, merasa bersalah.
Menyadari bahwa Rossa mungkin sedang dalam masalah, Luis menoleh ke kepala rumah sakit yang berada di sebelahnya dan berkata sopan, "Kalian bisa pergi lebih dulu. Aku akan berbicara dengan temanku sebentar."
Sang kepala rumah sakit mengangguk. "Kalau begitu aku tidak akan menyita waktumu lebih banyak lagi. Kuharap kamu akan mempertimbangkan undangan kami. Jika kamu memiliki persyaratan, katakan saja padaku. Aku akan melakukan yang terbaik untuk memenuhinya."
Luis tersenyum lembut dan berkata, "Aku akan mempertimbangkannya."
Setelah kepala rumah sakit itu pergi, Luis menoleh ke Rossa dan berkata dengan suara rendah, "Ayo kita bicara di luar."
Jelita juga mengenal Luis dengan baik. Ketika mereka mengalami masa-masa sulit dan tidak mampu membayar biaya pengobatan putranya, Luis-lah yang membantu mereka.
Jelita menghormatinya, jadi dia tidak bisa menolak ajakan Luis untuk berbicara di luar.
Begitu mereka keluar dari rumah sakit, Rossa menutupi perutnya dan memohon, "Bu, kumohon! Biarkan aku mempertahankan anak ini!"
Mendengar ucapannya, Luis mengerutkan kening dalam kebingungan. Apa yang dimaksud Rossa? Saat itu juga, dia menatap ke perut wanita itu dan menyadari situasi yang sedang terjadi.
Ketika matanya melihat laporan yang ada di tangan Jelita, tebakannya langsung terkonfirmasi. Rossa hamil.
Informasi ini benar-benar mengejutkannya.
Dia ingin tahu apa yang telah terjadi, tetapi dia sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
"Gugurkan bayi itu atau aku tidak akan mengakuimu sebagai anakku lagi. Tentukan pilihanmu," ucap Jelita tegas.
"Bu, adikku sudah meninggal. Anak ini adalah satu-satunya keluargaku selain Ibu." Rossa menangis tersedu-sedu.
Ketika melihat wajah putrinya yang menangis, ekspresi Jelita melembut.
Memikirkan Rossa yang mungkin tidak memiliki siapa pun untuk merawatnya ketika tua nanti, Jelita menghela napas panjang dan mengalah. "Baiklah."
Kemudian, dia mengeluarkan tisu dan menyeka wajah Rossa yang berlinang air mata.
Mendengar ini, Rossa akhirnya merasa lega.
"Di mana kalian tinggal? Aku sedang senggang sekarang. Biar aku mengantar kalian pulang," ucap Luis ramah.
Dia sadar bahwa ini adalah masalah pribadi mereka, jadi dia memutuskan untuk tidak terlalu melibatkan diri dalam hal ini.
Jelita tersenyum tak berdaya. "Terima kasih banyak, Dokter Luis."
Ketika Luis menghentikan mobilnya di jalan masuk gedung apartemen mereka, ibu dan putri ini mengundangnya masuk.
Mereka bertiga mengobrol sebentar sampai Jelita pamit dan masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Kemudian, Luis bertanya, "Rossa, apa kamu akan kembali ke Negeri Aven di masa depan?"
Rossa menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak."
Dia tidak seharusnya berada di tempat asing itu dan sama sekali tidak merindukannya.
Baginya rumah adalah di mana pun ibunya berada.
"Apa kamu punya rencana untuk masa depan?" lanjut Luis.
"Sebenarnya, aku sedang mencari pekerjaan. Dokter Luis, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Aku akan membayarmu kembali ketika aku punya uang."
Luis tersenyum dan berkata dengan lembut, "Kamu tidak perlu membayarku kembali. Aku-lah yang menawarkan diri untuk membantumu. Jangan mengkhawatirkannya. Yang lebih penting adalah kamu bisa merawat ibumu dan dirimu sendiri dengan baik."
"Aku akan merasa bersalah jika tidak membayarmu kembali," desak Rossa dengan keras kepala.
"Yah, baiklah kalau begitu. Tapi kamu tidak perlu terburu-buru." Luis tahu betapa keras kepala Rossa, jadi dia tidak memaksanya lagi.
Mereka berdua mengobrol sedikit lebih lama sebelum Luis berdiri untuk pergi.
Melihat pintu kamar ibunya yang tertutup, Rossa menghela napas dan pergi juga.
Rossa kembali ke vila Laskar. Dia berniat untuk langsung beristirahat di kamar mereka ketika dia mendengar langkah kaki di belakangnya.
Dia berbalik dan melihat sosok yang tinggi.
Kemudian, seorang wanita cantik berjalan keluar dari belakang Laskar.
"Aku akan kembali ke kamarku," ucap Rossa dengan cepat, kedua matanya terbelalak kaget.
Dia tidak menyangka bahwa Laskar akan membawa pulang wanita yang disukainya pada jam selarut ini.
Dia tidak ingin berlama-lama di sini dan menjadi orang ketiga.
Sonia juga terkejut melihat keberadaan Rossa. Bukankah dia wanita yang di rumah sakit tadi?
Sonia melirik ke Laskar. Mengingat reaksi aneh pria ini di rumah sakit, dia merasa sangat gelisah.
"Laskar, Nona Bramantia mungkin marah. Bagaimana kalau aku pulang saja?" tanya Sonia dengan nada sedih, yang membuat ekspresi Laskar menjadi muram.
"Berhenti!" teriak Laskar ketika Rossa hendak melarikan diri. "Sonia akan sering datang ke sini, mengerti?"
Rossa berpikir bahwa Laksar tidak perlu memberitahukan hal ini padanya. Apa hubungannya dengan dirinya?
"Ehm, oke. Omong-omong, aku ke atas dulu." Sebelum pria itu sempat menjawab, Rossa berbalik dan berlari menaiki tangga.
"Nona Bramantia." Sonia tiba-tiba memanggilnya. "Maaf."
Wanita adalah makhluk yang peka. Perilaku aneh Laskar membuat Sonia waspada terhadap Rossa.
Bagaimana dia bisa merasa tenang jika ada wanita lain di rumah Laskar? Dia telah berusaha keras untuk memenangkan hatinya, tetapi wanita lain tiba-tiba muncul dan mengganggu rencananya.
Wanita ini juga terlihat sangat muda. Sonia berusaha menahan kecemburuan di hatinya.
Gelar Nyonya Wahid adalah miliknya dan hanya boleh menjadi miliknya sendiri. Tidak ada yang bisa mengambilnya darinya.
Rossa mengernyit bingung.
Sonia berkata lagi dengan nada meminta maaf, "Aku tahu kamu dan Laskar sudah menikah, tapi kami saling mencintai. Karena aku, kamu harus menderita dalam pernikahanmu sendiri. Aku benar-benar minta maaf.
"Kamu tidak perlu meminta maaf padanya," ucap Laskar dengan cuek.
Melihat ekspresi acuh tak acuh di wajah Rossa, Laskar langsung teringat akan apa yang dilihatnya di rumah sakit dan merasa jijik.
Rossa mengangkat bahu karena merasa masalah ini tidak ada hubungan dengannya dan mulai menaiki tangga. Jelas sekali bahwa Sonia sedang berpura-pura baik di depan Laskar. Rossa tidak ingin berurusan dengan omong kosong seperti itu lagi.
"Itu bukan sikap yang baik," ucap Laskar dingin, wajahnya suram seperti hari di musim dingin.
Rossa menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap langsung ke mata pria itu.
"Tuan Wahid, sikap seperti apa yang harus kumiliki ketika suamiku membawa pulang wanita lain?"