Kecanduan Manis: Istri Manja Tuan Wahid
Penulis:I. LARSON
GenreRomantis
Kecanduan Manis: Istri Manja Tuan Wahid
Laskar menggertakkan giginya dan kemarahan melintas di matanya.
Di ruang tamu, Siti lewat dan melihat Rossa yang tengah duduk di sofa dengan mengenakan piyama. Dia tersenyum dan bertanya, "Selamat pagi, Nyonya. Apakah Anda tidur dengan nyenyak tadi malam?"
Semalam, saat Siti mendengar suara mesin mobil di luar, dia turun dari tempat tidur untuk memeriksanya. Dia merasa sangat senang saat melihat Laskar telah pulang.
Ibu Laskar-lah yang mengatur pernikahan ini, jadi Siti berpikir Rossa pasti seorang wanita yang sempurna.
Alhasil, Siti cukup antusias dengan kehadiran Nyonya Wahid yang baru.
Rossa memaksakan senyum kaku di wajahnya dan berkata, "L-lumayan."
"Baguslah kalau begitu. Silakan mandi dulu. Sarapan sudah siap," ucap Siti sambil berjalan ke ruang makan.
Rossa menggosok matanya dan menguap.
Dia berpikir bahwa Laskar pasti sudah berpakaian rapi saat ini.
Dia berjingkat ke kamar tidur dan mengetuk pintu, tetapi tidak mendapatkan jawaban.
Berpikir bahwa pria itu telah meninggalkan kamar, dia membuka pintu dan disambut oleh tatapan sedingin es yang membuat tulang punggungnya terasa merinding.
Laskar tengah memegang secarik kertas di tangannya dengan erat.
Ketika Rossa melihat barang-barangnya yang berserakan di lantai, jantungnya seolah melompat ke tenggorokannya.
Berusaha untuk tetap tenang, dia menarik napas dalam-dalam dan bertanya dengan tajam, "Apa yang sudah kamu lakukan dengan barang-barangku? Ini adalah sebuah pelanggaran terhadap privasiku!"
"Privasi?" Laskar mencibir dengan tatapan tidak percaya di matanya.
Dia berdiri dan melemparkan kertas itu ke arah Rossa. "Kamu telah begitu berani menikah denganku dalam kondisi mengandung anak haram di dalam perutmu. Sekarang kamu berani berbicara tentang privasi?"
"Aku ...." Semua warna seolah sirna dari wajah Rossa.
Laskar berjalan menghampirinya dan mencubit dagunya. "Katakan padaku. Apa alasan sebenarnya sehingga kamu bersedia menikah denganku?"
Apa wanita ini ingin dia menjadi ayah dari anak haram itu? Apa dia ingin anak haram itu menjadi cucu pertama dari Keluarga Wahid? Apa kesepakatan yang diusulkan wanita ini hanya rencana daruratnya?
Ekspresi Laskar menjadi suram memikirkan itu semua.
Jantung Rossa serasa hampir berhenti berdetak di dadanya, tetapi dia berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. "Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Pernikahan kita hanyalah sebuah kesepakatan dan kita akan bercerai dalam sebulan, jadi aku tidak berpikir bahwa informasi itu penting bagimu. Aku tidak memiliki motif tersembunyi."
"Benarkah begitu?" Laskar mengencangkan cengkeramannya di dagu Rossa.
Rossa meringis kesakitan. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku sadar bahwa jika aku bertindak keterlaluan, kamu memiliki kemampuan untuk menghapusku dari muka bumi ini."
Mata Laskar tertuju pada perut Rossa dan ekspresi di wajahnya mengeras. "Semoga saja yang kamu katakan adalah yang sebenarnya atau aku tidak akan mengampunimu."
Rossa mengangguk dan tanpa sadar menyentuh perutnya, seolah berusaha melindungi bayi yang ada di dalamnya.
Anak ini datang secara tidak terduga, tetapi dia berencana untuk tetap melahirkannya. Bagaimanapun, anak itu adalah darah dagingnya.
Dia belum memberi tahu siapa pun mengenai hal ini, bahkan ibunya juga belum tahu. Dia selalu menyimpan laporan kehamilannya rapat-rapat, berjaga-jaga agar tidak seorang pun mengetahuinya.
Tanpa diduga, di hari kedua pernikahan mereka, Laskar mengetahuinya.
Dengan wajah cemberut, Laskar memperingatkan Rossa sekali lagi. "Jika aku sampai mengetahui bahwa kamu bermain-main di belakangku dalam satu bulan ini ...."
"Aku berjanji untuk menjaga sikapku. Jika aku sampai melakukan sesuatu di luar batas, aku akan pasrah pada apa pun keputusanmu." Sebelum Laskar sempat menyelesaikan kata-katanya, Rossa kembali berusaha meyakinkannya.
Bahkan jika dia tidak bisa membuat Laskar percaya sepenuhnya, dia tidak boleh membiarkan pria itu meragukan motifnya.
Rossa perlu mengandalkan pernikahan ini untuk mengambil kembali harta ibunya dari Peter.
Laskar menatap mata Rossa dalam-dalam, seolah mencari kebenaran di dalamnya.
Tiba-tiba, terdengar sebuah ketukan di pintu.
"Tuan dan Nyonya Wahid, sarapan sudah siap." Siti mengingatkan dengan nada ceria.
Laskar menarik tangannya dan berusaha menahan emosinya untuk saat ini. "Bersihkan kekacauan ini."
Dia kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kamar.
Dengan kepergian Laskar, Rossa bersandar ke dinding di belakangnya dan merasakan jantungnya yang berdebar dengan kencang. Butuh waktu lama baginya untuk kembali tenang.
Dia berjongkok dan mengemasi barang-barangnya yang berserakan di lantai. Air mata mengalir di pipinya ketika dia melihat laporan kehamilannya.
Dia menyeka air mata dengan punggung tangannya dan terisak. Dia kemudian menyingkirkan laporan itu, mengganti pakaiannya, dan keluar dari kamar.
Di ruang makan, dia melihat sarapan yang dimakan setengah dan sebuah cangkir kopi yang sudah kosong. Laskar tidak terlihat di mana pun.
Rossa menghela napas lega.
Setelah sarapan, dia kembali ke apartemennya.
Begitu dia memasuki apartemen, Jelita berdiri dari sofa tempatnya duduk dan menghampirinya. "Bagaimana kabar Tuan Wahid?"
Rossa tersenyum menenangkan ibunya. "Dia seorang pria yang baik, Bu. Jangan khawatir tentang aku."
Air mata menggenang di mata Jelita. "Maafkan aku karena tidak bisa melindungimu."
Rossa memeluk Jelita dan menepuk punggungnya. "Aku sudah bilang, jangan khawatir tentang diriku. Aku bahagia selama kamu tetap ada di sisiku."
Saat makan siang, Jelita dengan penuh kasih menyiapkan sup ikan kesukaan Rossa saat dia menyadari bahwa putrinya tidak terlihat begitu baik.
Saat Rossa mendekatkan sesendok sup ke mulutnya, bau ikan tercium oleh hidungnya.
Dia tidak bisa menahan keinginannya untuk muntah dan bergegas pergi ke kamar mandi.
"Rossa?"
Jelita mengikuti di belakangnya dengan cemas. Melihat Rossa muntah-muntah di sebelah toilet, hati Jelita mencelos.
Dia bertanya dengan suara gemetar, "Ada apa, Rossa?"
Tubuh Rossa tiba-tiba membeku, dan dia mengepalkan tangannya erat-erat.
Berbalik dan menatap ibunya, Rossa berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Aku hamil, Bu."