Kecanduan Manis: Istri Manja Tuan Wahid
Penulis:I. LARSON
GenreRomantis
Kecanduan Manis: Istri Manja Tuan Wahid
Laskar bangkit berdiri dari kursi roda dengan kilatan bahaya di matanya.
"Kamu lebih pintar dari yang terlihat, Nona Bramantia. Sepertinya aku telah meremehkanmu. Jadi, katakan padaku. Apa kamu benar-benar ingin menikah denganku?" tanya Laskar sambil menyipitkan mata padanya dengan dingin. "Katakan padaku. Berapa banyak uang yang kamu inginkan untuk membatalkan pertunangan ini?"
Sambil menatap matanya tanpa henti, Rossa berkata, "Aku bertunangan denganmu sejak aku berusia dua tahun, Tuan Wahid. Apa kamu pikir di usia sedini itu, aku paham soal uang dan keuntungan menikah dengan keluarga kaya? Apa aku yang masih berusia dua tahun bisa memaksa ibu kita untuk mengatur pernikahan kita?"
Laskar mencibir dengan jijik. Seperti yang dia duga, wanita ini benar-benar pandai berbicara.
"Saat itu, aku baru berusia dua tahun, sedangkan kamu sudah berusia sepuluh tahun. Apa kamu pikir aku akan tertarik pada seorang pria tua?" tanya Rossa dengan kilatan agresif di matanya.
Raut wajah Laskar menjadi suram. Pria tua? Dirinya masih muda, usianya masih belum menginjak kepala tiga. Wanita ini berani memanggilnya pria tua! Berani-beraninya dia!
Ketegangan meliputi seisi ruangan.
Begitu menyadari perubahan di raut wajah Laskar, Rossa mengerutkan bibir dan bertanya-tanya apakah dirinya sudah keterlaluan. Satu-satunya alasan mengapa dia bersedia menikah dengan Keluarga Wahid adalah Peter telah berjanji bahwa dia akan mengembalikan apa yang menjadi milik ibunya. Dia tidak berniat menjadikan calon suaminya sebagai musuh.
"Tuan Wahid, aku tahu kamu juga tidak ingin menikah denganku ...." Rossa melembutkan nada suaranya dengan sengaja dan mengurangi keagresifannya. Dia juga sengaja terdiam sejenak untuk mengamati reaksi Laskar. Meskipun hanya ada sedikit perubahan pada raut wajah pria itu, dia tetap menyadarinya.
"Jadi, mari kita buat kesepakatan," usul Rossa dengan tekad di matanya.
"Haha," tawa Laskar garing. "Nona Bramantia, apa yang membuatmu berpikir kamu bisa bernegosiasi denganku?"
Rossa merenung sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menceraikanmu sebulan setelah pernikahan."
Dengan alis terangkat, Laskar bertanya, "Apa ini kesepakatan yang ingin kamu diskusikan denganku?"
"Ya. Kita masih harus menikah sesuai dengan keinginan ibu kita. Tapi setelah itu, kita bisa bercerai karena alasan yang masuk akal, seperti kepribadian yang berbeda, dan lain-lain. Dengan begitu, kita tidak melanggar perjanjian. Selain itu, kamu juga tidak perlu hidup dengan orang yang tidak kamu cintai selama sisa hidupmu."
Setelah itu, Rossa melambatkan tempo bicaranya, "Kurasa kamu mencintai orang lain sehingga kamu ingin Keluarga Bramantia membatalkan pertunangan, kan?"
Ekspresi Laskar menjadi suram. Dengan suara pelan, dia mendesis, "Itu bukan urusanmu." Lalu dia menatap Rossa yang terlihat tenang dan bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa yang bisa kamu dapatkan dari kesepakatan ini?" Laskar tidak percaya bahwa Rossa melakukan hal ini hanya demi kebaikannya.
Begitu mendengar pertanyaan Laskar, jantung Rossa hampir copot. Dia tidak bisa mengatakan pada pria itu bahwa dia melakukan semua ini demi harta ibunya. Dia mengedipkan mata dan berkata dengan cuek, "Ibuku sangat mementingkan pertunangan ini. Kesehatannya sedang kurang baik, jadi aku tidak ingin mengecewakannya."
"Benarkah begitu?" tanya Laskar dengan dingin seolah-olah bisa melihat melalui pikirannya.
Rossa merasa tidak nyaman di bawah tatapan Laskar yang tajam. Saking tajamnya, dia merasa seolah-olah tatapan itu bisa menembus jantungnya.
Tepat ketika Rossa sedang kehilangan kata-kata, ponsel pria itu mulai berdering. Laskar melirik Rossa, lalu mengeluarkan ponselnya. Ketika melihat nama yang terpampang di layar, ekspresinya melunak. Dia berbalik dan menjawab telepon.
Setelah menutup panggilan telepon, seakan telah memikirkan sesuatu, dia berbalik dan berkata, "Karena kita hanya akan menikah selama sebulan, kita tidak perlu mengadakan pesta pernikahan."
Rossa mengangguk setuju sambil menjawab, "Tidak masalah."
Tiga hari kemudian, Tanto datang menjemput Rossa. Tidak ada pernikahan, bahkan tidak ada upacara sederhana. Rossa sama sekali tidak peduli karena dia tahu hal ini hanya merupakan bagian dari kesepakatan.
Tidak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah vila yang megah. Di bawah terik sinar matahari, bangunan yang kokoh itu membentang hampir sejauh mata memandang.
"Silakan masuk," ucap Tanto dengan sopan sambil memberi isyarat untuk mempersilakan masuk. Dia tidak bersikap antusias atau dingin, melainkan hanya bersikap sopan dan formal. Dia mungkin tahu bahwa pernikahan Rossa dengan Laskar hanya sebatas status, sehingga wanita itu tidak memiliki kekuatan yang nyata di dalam Keluarga Wahid.
Meskipun vila itu besar, di dalamnya terasa sepi. Di dalam aula yang luas, Rossa hanya menemukan seorang pelayan. Tanto pergi begitu saja tanpa repot-repot menemani Rossa keliling rumah.
Setelah Tanto pergi, Rossa merasa sedikit tidak nyaman.
"Selamat siang. Nama saya Siti Parwani. Saya adalah pelayan yang mengurus Tuan Wahid. Anda bisa memanggil saya Siti. Jika Anda butuh sesuatu, katakan saja pada saya." Setelah itu, Siti mengantar Rossa ke kamarnya.
Satu bulan bukanlah waktu yang lama, jadi Rossa hanya mengemas beberapa barang. Meskipun dia merasa ragu dirinya membutuhkan bantuan Siti, dia berkata, "Oke, terima kasih."
Siti membuka pintu kamar dan berbalik menatapnya. Setelah terdiam sejenak, dia menghela napas dan berkata, "Tuan Wahid mungkin tidak pulang malam ini karena hari ini adalah hari ulang tahun Nona Bustami."