Gairah Liar Sang CEO
Bagaikan tamparan keras yang membuat kedua pipi Vanessa memerah. Karena rasa malu dan kebodohannya telah hanyut pada permainan Rafael. Pria yang telah merenggut mahkota berharganya.
Kedua bola mata bening itu bergerak gelisah, mencari cara untuk keluar dari situasi yang cukup membuatnya mati kutu. Ia memandang ke bawah dan hal itu membuat Rafael menyeringai mesum.
“Diam-diam kau ingin mengintip kejantananku yang memberikanmu kenikmatan semalam, hm?” ucap Rafael tanpa tahu malu.
Deg
Dada Vanessa berdetak kencang diiringi deru napas yang memburu diingatkan kembali pada kejadian semalam. Di mana ia sudah tak perawan.
Namun, kebisuan Vanessa dianggap hal sebaliknya oleh Rafael.
Laki-laki yang masih tak memakai apa pun di tubuhnya kembali berulah. Dengan gerakan cepat, ia sudah berada di atas tubuh wanita itu.
“Kau –“
“Ssst ....” Rafael meletakkan satu jarinya menahan umpatan yang akan meluncur dari bibir tipis itu. “Lebih baik kau gunakan mulutmu itu untuk mendesah ... bukan untuk mengumpat.”
Sial! Vanessa tak bisa berkutik di saat bibir pria itu kembali menyerang bibirnya. Menahan kedua tangannya dan bertumpu di atas tubuhnya.
Ia ingin menjerit, menangis, dan lepas dari kungkungan pria liar dengan nafsu yang menggebu ini.
Namun, ia tak berdaya. Ia tak punya tenaga setelah digempur tanpa ampun sejak semalam. Dan kini, pria kejam itu kembali menggempurnya.
Tanpa pemanasan yang cukup, Rafael kembali menghunjamkan kejantanannya yang telah berdiri tegak dalam satu hentakan kuat.
“Ha ha ha ha ...” Ia tertawa terbahak-bahak ketika Vanessa memekik. Sungguh ini rasanya sangat sakit.
Wanita yang mulai mengalirkan butiran-butiran kristal dari kedua matanya itu menahan perih di kewanitaannya. Merasa takdir telah mempermainkannya sedalam ini.
“Mendesahlah jika kau tak ingin merasakan kebrutalanku!” perintah Rafael dengan tatapan mata elangnya yang siap mencabik-cabik mangsa. Ia seperti predator yang siap menelan Vanessa hidup-hidup tanpa pengampunan.
“Ti-tidak,” tolak Vanessa dengan sisa-sisa tenaganya. Ia tidak boleh melakukannya karena tak ingin hanyut pada permainan liar Rafael.
“Kau cari mati!” desis Rafael yang kemudian menekan leher Vanessa hingga wanita itu meronta dengan mata membelalak.
Rafael seolah tak peduli dengan hal itu. Ia dengan brutal dan liar menghunjam sesuka hati. Keluar masuk sesuai keinginannya tanpa memberikan ampun sedikit pun.
‘Kita lihat sampai kapan kau akan bertahan.’
Pria itu terus menghunjam, mendesak, dan menuntut sebuah kenikmatan. Semakin lama kewanitaan Vanessa semakin licin, hangat, dan liat. Membuat egonya memuncak.
Otot-otot di dalam sana memberikan pijatan yang melenakan dan membuai seorang Rafael untuk terus mempercepat gerakan pinggulnya. Hingga pada akhirnya, ketika Vanessa mendapat pelepasan bersamaan rasa itu membelit dirinya dalam ledakan cairan cinta yang menyembur dengan hebat.
Belum puas dengan satu pelepasan yang telah menghantam dirinya, Rafael mengangkat tubuh Vanessa yang terkulai lemas. Menuju kamar mandi di dalam kamar hotel itu untuk kembali melakukan hal yang sama.
Pria dengan hobi meniduri wanita itu memang benar-benar sudah gila. Ia bahkan tak melepaskan wanita yang sudah tak berdaya di bawah kungkungannya.
Pria itu seperti tak pernah puas setelah semalaman bercinta tanpa jeda hingga pagi menjelang. Dan lihatlah sekarang! Wanita yang dihunjam Rafael nyaris tak bisa bergerak lagi.
“Payah sekali!” Rafael menggeram ketika tubuh wanita itu melemas dan luruh ke lantai kamar mandi.
Puas dengan hal yang baru saja ia lakukan, Rafael mengguyur tubuhnya sendiri. Membiarkan tubuh Vanessa yang bersandar di dinding dingin kamar mandi itu dengan keadaan mengenaskan.
Tak berlebihan jika menyebutkan itu pada Vanessa. Kulit cokelat terang bak sawo matang itu dipenuhi bercak kemerahan hampir di seluruh tubuhnya. Belum lagi ditambah tanda memerah yang melingkar di lehernya. Menjadi bukti bahwa Rafael benar-benar berbahaya.
“Mandilah dan segera pergi dari sini sebelum jam dua belas siang!” ucap Rafael seraya keluar dengan tubuh polos dengan satu handuk untuk mengeringkan badannya.
Astaga! Bagaimana bisa ada laki-laki tak memiliki perasaan seperti dia? Apakah dia terlahir dari batu hingga dengan tega meninggalkan wanita yang baru saja ia gauli tanpa ampun?
Selepas Rafael keluar, Vanessa mulai menangis tanpa suara. Air mata yang sejak tadi mengalir kini semakin deras. Membasahi wajahnya yang telah lembab karena keringat.
Ia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Terlebih lagi di kewanitaannya yang terasa amat perih.
Mengingat ucapan pria itu, Vanessa menghimpun sisa-sia tenaga dan mencoba berdiri. Ia menahan gemetar di kedua kakinya yang bagai tak bertulang. Rasanya benar-benar sulit di dideskripsikan dengan kata-kata.
Memejamkan mata seraya menggumamkan beberapa doa untuk menguatkan diri, Vanessa meraih gagang shower untuk membasuh tubuhnya.
Perih adalah rasa pertama kali yang menyentak Vanessa ketika air hangat itu mengalir di tubuhnya. Wanita itu menggosok seluruh tubuhnya seolah masih ada sisa-sisa aroma Rafael yang menempel di sana.
“Aku kotor,” gumam Vanessa yang terus melakukan aktivitas itu berulang kali pada tangan, dada, kaki, dan area tubuh lainnya. Kecuali pada area femininnya.
Terdapat beberapa luka di area lembut yang ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitarnya itu. Vanessa sampai harus menggigit bibirnya untuk tidak menangis tatkala air hangat mengguyur area itu.
Tidak. Ia tidak boleh lemah meskipun tak ada lagi yang bisa ia banggakan. Tiba-tiba ia teringat pada sang kekasih yang belum kembali dari luar kota sejak dua hari yang lalu.
Apakah kekasihnya itu akan menerima ia kembali dengan keadaan ini? Atau ia tidak perlu mengatakan jujur tentang kejadian hari ini pada pria itu? Dan bersikap biasa saja?
Dada Vanessa berdenyut. Merasa dirinya begitu buruk jika sampai melakukannya. Tapi, bagaimana kehidupannya selanjutnya? Bagaimana rencana masa depan yang telah ia susun bersama sang kekasih?
Ah, memikirkannya saja membuat Vanessa semakin tersudut oleh kenyataan. Kejadian ini benar-benar menyakitkan.
Memutuskan untuk menyudahi acara mandinya, Vanessa melirik di mana masih ada beberapa handuk di sana. Ia mengambil satu dan melilitkan ke tubuhnya yang telah ia keringkan.
Dengan dada berdebar, ia memberanikan diri melangkah menuju pintu. Ia berdoa semoga pria kejam itu telah pergi dari sana, karena ia tak tahu harus bagaimana jika pria itu masih tinggal.
Perlahan ia menarik pintu, mengintip dengan keterbatasan. Memastikan bahwa memang hanya dirinyalah yang tersisa di kamar itu.
Ia mendesah lega saat tak ada siapa pun di luar. Kemudian ia keluar mencari baju yang bisa ia pakai untuk segera pulang.
Dengan langkah tertatih karena rasa nyeri di area femininnya, Vanessa mendekati ranjang. Ia menemukan satu kantong belanjaan dan langsung membukanya.
Vanessa mengeluarkan isi kantong yang berisi pakaian itu dan terperangah saat melihatnya. Sehelai dress pendek dengan lengan panjang berbahan sutera yang cukup untuk menutupi tanda kemerahan di tubuhnya. Serta sepasang pakaian dalam.
‘Bagaimana dia tahu ukuran payudaraku?’
Vanessa tertegun. Ada bongkahan pahit yang tiba-tiba tertahan di tenggorokannya.
‘Jangan bercanda, Vanessa! Semalaman dia sudah menikmati semua aset berhargamu.’
Tak ingin meratapi nasib terlalu lama, ia segera memakai pakaian itu dan menyisir asal rambutnya. Ia harus cepat pergi dari sini sebelum pria itu kembali.
Setelah keluar dari kamar hotel itu, Vanessa berusaha menormalkan langkah kakinya. Ia menahan sekuat tenaga rasa sakit yang kini mendera area kewanitaannya.
‘Kuatkan aku ya, Tuhan!’
Namun, sekuat apa pun ia menahan, rasa itu lebih kuat dari yang Vanessa duga. Hingga pada akhirnya, ketika ia baru saja keluar dari lift hotel, tubuhnya terjatuh ke lantai yang dingin.
Vanessa tak sadarkan diri.
.
.
.
Bersambung ...