/0/21612/coverorgin.jpg?v=e60d6bd2c0a776a47dc1740ac270ceed&imageMogr2/format/webp)
Prankk ... Prankk ... Prankk ...!
Suara-suara itu lagi yang memenuhi rumah megah yang kini terasa hambar tanpa adanya cinta lagi dari dua jiwa manusia yang dulunya saling mengingat janji suci hingga terciptalah malaikat mungil yang begitu jelita. Dua puluh tahun mereka bersama dan entah antah berantah setan mana yang menyelinap masuk ke rumah itu hingga kini yang tersisa hanya luka di jiwa maupun raga. Malaikat jelita yang terlahir dari cinta yang kini dikhinati luka itu adalah dia, Cinta Agniya Rinjani.
Agni, begitu orang-orang memanggilnya. Namanya indah, seindah paras ayu di wajahnya yang bersinar. Orang tuanya memberinya nama Cinta, berdoa kelak anaknya akan hidup dengan penuh cinta. Agniya, nama yang cantik berdoa agar anaknya kelak secantik Venus, dewi kecantikan. Rinjani, orang tuanya juga berdoa agar anaknya kelak bisa menjadi wanita yang tegar, setegar gunung Rinjani.
Semuanya sia-sia, panjatan doa yang mengalun dari delapan belas tahun lalu ketika malaikat mungil itu terlahir telah hancur. Orang tuanya sendirilah yang menghancurkan harap atas doa dalam sebaris nama, Cinta Agniya Rinjani. Sudah dari lima tahun yang lalu dunia seperti jungkir balik. Cinta berganti dusta. Bahagia pun berganti luka.
Hampir setiap malam suara perabotan pecah meneggema di rumah itu. Esok pagi tak jarang ditemui ibu dengan luka-luka di tubuhnya. Ibu pun pada akhirnya melampiaskan luka yang mendera dada dan juga raganya kepada Agni, anak satu-satunya. Siksa adalah hal yang biasa bagi Agni. Bukan hanya ibu, terkadang ayah tak luput juga memukuli dirinya. Hidup penuh kekerasan bahkan tak memiliki pilihan lagi untuk meneruskan hidup atau memilih kematian.
Agni yang ada hari ini adalah Agni yang berbeda dengan Agni lima tahun lalu. Lima tahun lalu Agni akan segera turun dari kamar dan merengek meminta sang ayah berhenti memukuli ibunya. Agni lima tahun lalu adalah Agni yang masih ceria dengan wajah berbinar. Agni lima tahun lalu adalah gadis manja yang punya banyak teman. Tapi sekarang, Agni lima tahun lalu itu sudah mati hatinya.
Saat mendengar suara teriakan-teriakan ibu dan ayahnya bertengkar, Agni lebih memilih keluar dengan motor ninjanya dan bergabung ke klub-kkub malam. Merokok dan minum-minuman keras sudah menjadi kebiasaannya. Tapi ia tetap bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita. Pertama kali Agni bersentuhan dengan rokok dan minuman keras adalah empat tahun lalu saat ia sudah tak punya pilihan hidup atau mati.
Ia benci ayahnya yang dulu hampir membuatnya mati, karena dicambuk. Ia benci ibunya yang pernah membuat kakinya patah gara-gara jatuh dari lantai dua. Dan ia benci pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa dan lebih memilih lari dari kenyataan dengan mabuk dan merokok yang membuatnya berhalusinasi. Dan Agni yang sekarang adalah dia yang terlihat kuat, tapi nyatanya serapuh abu. Dia yang tegar, tapi lupa bagaimana caranya tersenyum dan bahagia. Dia hanya hidup mewakili sebaris nama, Cinta Agniya Rinjani.
Kring ... Kring ... Kring ...!
"Ah apaan sih ganggu orang tidur aja," gerutu Agni saat mendengar suara nyaring dari atas nakasnya. Diraihnya sesuatu yang terus berbunyi itu dan ia lempar sekuat mungkin hingga benda itu membentur tembok sementara ia kembali menarik selimut menutupi tubuhnya yang terbalut kaos dan celana pendek.
Brakk!
Suara benda yang terjatuh di kamar Agni mengundang rasa penasaran ibunya. Dengan tergesa wanita penuh lebam di pipi dan juga sayatan di lengan kanannya itu naik ke lantai dua untuk menanyakan apa yang terjadi di dalam kamar anak semata wayangnya.
Tok ... Tok ... Tok ...!
"Agni kamu ngapain sih berisik banget!"
"Apa sih, Ma!"
"Ayo bangun ini udah siang nanti telat."
"Ah ngantuk, Ma."
"Hari ini penyambutan mahasiswa baru kan di kampus."
"Ah iya, iya Ma!" teriak Agni dari dalam kamar.
/0/18502/coverorgin.jpg?v=facd3ed600fd25dc3279d0f20decb0aa&imageMogr2/format/webp)
/0/10747/coverorgin.jpg?v=b2c0249749972a1f24f61cbb38e716e1&imageMogr2/format/webp)
/0/7722/coverorgin.jpg?v=20250122152214&imageMogr2/format/webp)
/0/16476/coverorgin.jpg?v=dca0ab0eb436bf426c01710f1dca8e7c&imageMogr2/format/webp)
/0/24344/coverorgin.jpg?v=81c6618441c4e8d62ef6e6a401536bcf&imageMogr2/format/webp)
/0/5358/coverorgin.jpg?v=6d4c9a2ab90be39e6bdaf94bf3cd580e&imageMogr2/format/webp)
/0/3822/coverorgin.jpg?v=5116589108a57a18ef2dd8e2017914b3&imageMogr2/format/webp)
/0/21102/coverorgin.jpg?v=c55ab420031c6a689fe09783289427aa&imageMogr2/format/webp)
/0/2955/coverorgin.jpg?v=66ad241bea3ce08aaba288e1abdcfe92&imageMogr2/format/webp)
/0/20122/coverorgin.jpg?v=df3d580e3109396c1765c6de881d71f8&imageMogr2/format/webp)
/0/13933/coverorgin.jpg?v=6425daf3a4c48857a48b64683dd3672e&imageMogr2/format/webp)
/0/30183/coverorgin.jpg?v=e170e277f0ad610563af04126edd75fe&imageMogr2/format/webp)
/0/15614/coverorgin.jpg?v=c418b1aaaf998551827b3d1ad249b85a&imageMogr2/format/webp)
/0/14871/coverorgin.jpg?v=a7bd2e24011096962a5a909e5a68d5fc&imageMogr2/format/webp)
/0/12932/coverorgin.jpg?v=17c807e7abc8895df0b4981cbadf98db&imageMogr2/format/webp)
/0/15727/coverorgin.jpg?v=0f1e882d6f19ae2445370e17982db77a&imageMogr2/format/webp)