Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
336
Penayangan
21
Bab

Agni merasa hidupnya hancur oleh keluarganya sendiri. Pertengkaran yang terjadi antara kedua orangtuanya membuat Agni mengubur harap dan keinginannya. Agni membuang hatinya untuk bertahan hidup dalam kegelapan, sampai takdir membawanya bertemu Bayu dan Banyu; sepasang saudara kembar yang kemudian berbagi cahaya dan sayap untuk ia bisa bertahan dalam kerasnya hidup dan tetap berjalan tegak apapun yang terjadi. Perlahan Agni mulai menemukan kembali kehidupan yang ia inginkan. Masa depan dan angan yang ia tinggalkan mulai ia gapai kembali. Sampai akhirnya Agni tiba di persimpangan jalan, di mana ia dipaksa untuk memilih. Cahaya yang menerangi jalannya atau sayap yang membawanya terbang tinggi.

Bab 1 Agni

Prankk ... Prankk ... Prankk ...!

Suara-suara itu lagi yang memenuhi rumah megah yang kini terasa hambar tanpa adanya cinta lagi dari dua jiwa manusia yang dulunya saling mengingat janji suci hingga terciptalah malaikat mungil yang begitu jelita. Dua puluh tahun mereka bersama dan entah antah berantah setan mana yang menyelinap masuk ke rumah itu hingga kini yang tersisa hanya luka di jiwa maupun raga. Malaikat jelita yang terlahir dari cinta yang kini dikhinati luka itu adalah dia, Cinta Agniya Rinjani.

Agni, begitu orang-orang memanggilnya. Namanya indah, seindah paras ayu di wajahnya yang bersinar. Orang tuanya memberinya nama Cinta, berdoa kelak anaknya akan hidup dengan penuh cinta. Agniya, nama yang cantik berdoa agar anaknya kelak secantik Venus, dewi kecantikan. Rinjani, orang tuanya juga berdoa agar anaknya kelak bisa menjadi wanita yang tegar, setegar gunung Rinjani.

Semuanya sia-sia, panjatan doa yang mengalun dari delapan belas tahun lalu ketika malaikat mungil itu terlahir telah hancur. Orang tuanya sendirilah yang menghancurkan harap atas doa dalam sebaris nama, Cinta Agniya Rinjani. Sudah dari lima tahun yang lalu dunia seperti jungkir balik. Cinta berganti dusta. Bahagia pun berganti luka.

Hampir setiap malam suara perabotan pecah meneggema di rumah itu. Esok pagi tak jarang ditemui ibu dengan luka-luka di tubuhnya. Ibu pun pada akhirnya melampiaskan luka yang mendera dada dan juga raganya kepada Agni, anak satu-satunya. Siksa adalah hal yang biasa bagi Agni. Bukan hanya ibu, terkadang ayah tak luput juga memukuli dirinya. Hidup penuh kekerasan bahkan tak memiliki pilihan lagi untuk meneruskan hidup atau memilih kematian.

Agni yang ada hari ini adalah Agni yang berbeda dengan Agni lima tahun lalu. Lima tahun lalu Agni akan segera turun dari kamar dan merengek meminta sang ayah berhenti memukuli ibunya. Agni lima tahun lalu adalah Agni yang masih ceria dengan wajah berbinar. Agni lima tahun lalu adalah gadis manja yang punya banyak teman. Tapi sekarang, Agni lima tahun lalu itu sudah mati hatinya.

Saat mendengar suara teriakan-teriakan ibu dan ayahnya bertengkar, Agni lebih memilih keluar dengan motor ninjanya dan bergabung ke klub-kkub malam. Merokok dan minum-minuman keras sudah menjadi kebiasaannya. Tapi ia tetap bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita. Pertama kali Agni bersentuhan dengan rokok dan minuman keras adalah empat tahun lalu saat ia sudah tak punya pilihan hidup atau mati.

Ia benci ayahnya yang dulu hampir membuatnya mati, karena dicambuk. Ia benci ibunya yang pernah membuat kakinya patah gara-gara jatuh dari lantai dua. Dan ia benci pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa dan lebih memilih lari dari kenyataan dengan mabuk dan merokok yang membuatnya berhalusinasi. Dan Agni yang sekarang adalah dia yang terlihat kuat, tapi nyatanya serapuh abu. Dia yang tegar, tapi lupa bagaimana caranya tersenyum dan bahagia. Dia hanya hidup mewakili sebaris nama, Cinta Agniya Rinjani.

Kring ... Kring ... Kring ...!

"Ah apaan sih ganggu orang tidur aja," gerutu Agni saat mendengar suara nyaring dari atas nakasnya. Diraihnya sesuatu yang terus berbunyi itu dan ia lempar sekuat mungkin hingga benda itu membentur tembok sementara ia kembali menarik selimut menutupi tubuhnya yang terbalut kaos dan celana pendek.

Brakk!

Suara benda yang terjatuh di kamar Agni mengundang rasa penasaran ibunya. Dengan tergesa wanita penuh lebam di pipi dan juga sayatan di lengan kanannya itu naik ke lantai dua untuk menanyakan apa yang terjadi di dalam kamar anak semata wayangnya.

Tok ... Tok ... Tok ...!

"Agni kamu ngapain sih berisik banget!"

"Apa sih, Ma!"

"Ayo bangun ini udah siang nanti telat."

"Ah ngantuk, Ma."

"Hari ini penyambutan mahasiswa baru kan di kampus."

"Ah iya, iya Ma!" teriak Agni dari dalam kamar.

Ia segera duduk dan mengucek mata berusaha mengumpulkan nyawanya. Dirabanya ponsel yang semalam ia letakan di atas nakas, tapi tidak ada dan Agni baru saja menyadari benda yang tadi ia lempar dengan keras. Matanya tertuju pada satu titik, benda persegi panjang yang kini tak berbentuk lagi di lantai. Agni melompat dari ranjangnya dan duduk di lantai sembari meraih kepingan ponsel yang berserak.

"Hape gue!" pekiknya yang secara tak sengaja melihat jam dinding. "Anjir udah jam 8 acaranya kan jam setengah sembilan, mampus gue." Agni bergegas menuju kamar mandi sekedar cuci muka dan gosok gigi.

Secepat mungkin ia memakai bajunya asal. Ia berlari tanpa menutup pintu kamarnya, karena ia benar-benar terburu-buru.

"Ma berangkat!" teriak Agni tanpa mempedulikan suara ibunya yang menyuruhnya sarapan.

Dipakainya sepatu yang ia ambil dari rak dan segera saja Agni melompat ke atas motor dan melajukannya secepat kilat. Agni menambah kecepatan motornya menyalip bus dan truk-truk besar tanpa mempedulikan klakson yang berbunyi keras atau umpatan dari pengendara lain. Dan sebelum sampai kampus motornya tiba-tiba berhenti, mesin mati. Dengan kesal Agni melepas helmnya dan mengecek mesin motor.

"Sialan harus ke bengkel lagi, hape gue juga ancur, mampus," gumamnya yang dengan sangat terpaksa mendorong motor besar itu menuju bengkel.

Bengkel itu letaknya lumayan dekat dengan kampus, tinggal menyebrang dan lima ratus meter dari sana adalah kampusnya. Agni menoleh pada montir yang tengah menangani motornya, boleh jadi ini akan lama. Agni kemudian melongok jam yang ada bengkel itu, sudah jam sembilan. Kepalang tanggung kalau ia ke kampus pasti disemprot para senior yang sok itu, kemarin waktu ospek saja dia sudah kena banyak semprot.

"Bang nitip ya, gue jalan dulu," ucap Agni pada montir yang tengah menangani motornya.

"Siap, Neng."

Rasanya hari ini Agni sangat penat. Semalaman suara piring terbang mengusik telinganya bahkan sampai sekarang masih berdengung memenuhi otaknya. Agni pun berniat melepas penat dan setidaknya berjalan-jalan menikmati suasana kota tanpa harus merasa pegal menancap gas motornya.

Di tempat penyebrangan jalan itu tanpa sengaja pandangan Agni tertuju pada seorang cowok yang menarik perhatiannya. Ia berdiri mengamati kendaraan seolah ingin menyebrang. Celana hitam berbahan kain dengan kemeja putih yang tertutup jaket merah berlengan putih. Tak lupa kacamata besar bertengger di hidung mancungnya. Kamera menggantung di lehernya serta tas ransel bergambar Spongebob membuat Agni tergelitik ingin tertawa. Penampilan unik dan nyeleseh, tapi mengundang rasa penasarannya. Agni pun akhirnya berjalan mendekat ke arah lelaki itu.

"Mau nyebrang?" tanya Agni sembari menepuk pundak cowok itu membuatnya terkaget dan mundur selangkah darinya.

Agni menaikkan sebelah alisnya bingung. Ia menatap cowok itu yang menatapnya dengan penuh selidik. Agni kemudian menengok ke kanan dan kiri, apa mungkin ini karena dandanannya? Tapi mana mungkin, menurutnya ia biasa saja berdandan. Yah, mungkin dandanan Agni biasa saja untuknya, tapi untuk cowok di depannya?

Cewek dengan rambut acak-acakan seperti tidak pernah menyisir, mata hazel yang menatap penuh tanya dengan sepatu hitam berjenis boots, celana robek-robek dan jaket hitam press body. Siapa yang tidak akan curiga dengan cewek seperti itu.

"Lo mau nyebrang?" tanya Agni lagi dan cowok itu menggeleng samar membuat Agni mengerutkan kening.

"Duluan aja," ucapnya dengan suara lembut yang terasa manis menggelitik melewati gendang telinga Agni yang pada akhirnya bersarang di otaknya.

Agni menyebrang jalan pada akhirnya dengan dengungan suara lembut cowok itu menggantikan suara gelas dan piring yang pecah. Agni mengangkat sebelah tangannya kemudian memegang bibir tipisnya dan ia mengerutkan keningnya bingung.

"Kenapa gue senyum?" tanyanya pada diri sendiri yang lantas berjalan mengitari tempat-tempat sekitar kampus.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Nervin Dirgantara

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku