Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Baaridul Hubby (Cinta Si Dingin)

Baaridul Hubby (Cinta Si Dingin)

Lazuardi Senja

5.0
Komentar
545
Penayangan
45
Bab

Tahun 1998, awal era reformasi banyak gejolak terjadi, terutama terjadinya gelombang demonstrasi dari kalangan mahasiswa seluruh Indonesia, terutama kota yang dikenal dengan pendidikannya atau kota pelajar. Sepenggal kisah ini hadir di tengah sejarah awal reformasi, kisah yang berawal ketika diam-diam dia mulai jatuh cinta dengan perubahan penampilan, saat hidayah itu menyapanya. Dia memang berbeda dan harus siap dengan banyaknya batu-batu tajam yang terhampar di perjalanannya, termasuk menghadapi kenyataan bahwa Ayahnya tidak menyukai perubahan dirinya, bahkan terkesan membencinya. Mampukah Aruni bertahan dengan cinta diam-diamnya dengan tetap berada pada jalan yang dia yakini benar? Bagaimana perjuangannya agar diterima keluarga terutama Ayahnya? Lalu apakah cinta untuk seseorang yang dia kagumi dari kejauhan pun hanya cukup untuk dirasa saja? Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata (true story), nama tokoh dan latar kejadian sudah author samarkan untuk menjaga keikhlasan pemilik kisah hidupnya.

Bab 1 Cowok Aneh

Brak!!

"Bilang sama Bapak! Kamu ikut jaringan yang diberitakan di TV itu, kan?"

"Demi Allah, Aruni tidak ikut seperti itu, Bapak."

"Bapak tidak percaya, orang-orang kampung sini sekarang menatap kamu dengan pandangan sinis demikian juga ketika bertemu dengan Bapak. Pilihan ada di tanganmu, lepaskan baju-baju besarmu itu atau lebih baik Bapak kehilangan telur satu biji!

"Bapak!!"

"Istighfar, Aruni anak kita, Pak.

Aruni menatap Ibunya dengan wajah terharu, netranya sudah berkaca-kaca tak mampu mengucapkan sepatah katapun ketika Bapaknya dalam keadaan emosi. Hanya ibunya yang selalu membelanya di saat dia dimarahi Sang Bapak karena penampilannya, hanya Ibunya yang selalu menyela luapan amarah Bapaknya agar sedikit mereda.

"Pak, coba lihat sikap Aruni sekarang? Bukankah dia menjadi anak yang lebih penurut dibandingkan dulu? Aruni juga lebih santun dan sopan dengan kita, Bapak harusnya bersyukur, jangan memedulikan omongan orang."

"Bagaimana tidak perduli, lihat penampilannya sekarang isu bom meledak sedang merebak, dan Aruni oleh orang-orang kampung dianggap ikut jaringan itu! Bagaimana tidak menjadikan pikiranku? Belum lagi sikap sinis mereka ketika bertemu denganku!"

"Tapi Aruni tidak melakukan kesalahan Bapak, apa yang Aruni pakai adalah pakaian yang dianjurkan sebagai muslimah kafah."

"Bapak lebih ikhlas kamu pakai pakaian seperti dulu, jika itu bisa membuat status keluarga kita terjaga dari rasa malu! Lagi pula siapa yang akan menikahi kamu jika kamu tertutup begitu?

Aruni terhenyak, dia menatap wajah Bapaknya dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan, antara sedih, kecewa dan juga prihatin karena Bapaknya lebih memilih mengedepankan status sosial di masyarakat daripada melindungi keluarganya. Aruni tidak mampu mengatakan apapun selain air mata yang mulai menetes membasahi wajahnya, berikut jilbab yang dia kenakan.

Sebenarnya diamku adalah kemenangan di hadapan orang yang mengharapkan aku marah dan tegar adalah pilihan di hadapan orang yang mengharapkan aku menangis.

Aku harus bertahan, sebab aku sudah jatuh cinta dengannya ketika diam-diam dia menyapa lembut relung hatiku.

Dengannya, aku mulai merasakan manisnya iman, apapun rintangannya aku akan pertahankan atas apa yang aku cintai ini meskipun nyawaku akan tercabut karenanya.

(Aruni Prameswari)

===

"Run!"

"Astaghfirllah!

Aruni terlonjak kaget ketika pundaknya ditepuk tiba-tiba dari arah belakang, botol air mineral berukuran 300 ml yang dia pegang sampai terloncat dari tangannya, tetapi dengan sigap Aruni mampu menangkapnya kembali. Reflek dia menoleh dan matanya langsung membulat lebar ketika tahu siapa yang telah mengagetkannya.

Sila terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu, yang menurutnya sangat lucu.

"Silaaaa, rese banget, lo!" umpat Aruni sambil menaruh botol air mineral itu di atas meja makan kantin di samping selembar kertas yang tadi sempat dia baca sambil berdiri. Aruni dengan wajah cemberut kemudian menarik kursi dan duduk.

"Sory, habisnya kamu kelihatan serius banget. Tadi lagi baca apaan, sih?"

"Eitttttsss, gue belum selesai baca! Gak boleh lihat dulu!" seru Aruni gegas mengambil selembar kertas ketika Sila hendak membaca.

Sila nyengir kuda, "Alah palingan surat peringatan dari kampus agar segera melunasi uang semester, iya kan?"

"Enak aja, bukanlah ... Bapak gue udah bayar kali."

"Oo, surat dari calon suami pilihan Bapak, ya?" ujar Sila bernada pertanyaan sambil tertawa mengejek membuat Aruni melotot.

Suara tawa Sila mengundang beberapa mahasiswa yang sedang berada di kantin itu menoleh memperhatikan mereka.

"Ssstt, diem lo! Ketawa lo itu jadi bahan perhatian!" tegur Aruni.

Sila reflek menghentikan tawanya beralih dengan senyuman lebar kemudian menarik kursi dan duduk di depan Aruni.

"Jadi bener, itu kertas profil laki-laki pilihan Bapak?"

"Ngaco, bukanlah Bapak kan nggak ngebolehin aku nikah sebelum lulus kuliah."

"Eh, siapa tahu? Kan lo pernah bilang kalau misal tu cowok kerjaan bagus, dari keluarga yang jelas bobot, bebetnya dan sudah mapan, katanya boleh-boleh aja langsung mengiyakan ketika dilamar?"

"Enggaklah ... udah stop! Jangan bicarakan nikah! Lagian kita juga baru semester 3, pacar aja nggak punya!" sergah Aruni.

Sila terkikik geli mendengar perkataan Aruni tentang sosok pacar.

"Kasihan banget sih, lo. Mau punya cowok aja harus diseleksi ketat macam ikut pendidikan aja," ujar Sila masih tertawa membuat Aruni makin manyun bibirnya kek mulut teko.

"Bisa diem enggak? Gue cabut aja kalau masih mau ngeledekin gue."

"Upppsss, okey ... kasih tahu dong dapat surat apaan, sih?"

"Janji ya, jangan teriak dulu."

"Okey siap grak!!"

Aruni tertawa lirih melihat sahabatnya ini, meski mereka sering berantem tapi ni Sila nggak pernah tersinggung dan dia care banget sama dirinya, selalu sama-sama, jadi temen curhat dan rumah orang tuanya sering dijadikan rumah kedua baginya jika sedang berselisih dengan ibu terutama Bapaknya.

Aruni dan Sila sebenarnya sudah berteman sejak kecil karena mereka satu kampung hanya beda RT tetapi menjadi sahabat dekat setelah sama-sama satu kampus dan satu jurusan.

Aruni kemudian menyodorkan lembaran kertas pada Sila, Sila mulai membaca deret-deret kalimat cetak pada lembaran itu.

"Beneran, nih? Wah, selamat Run, ini beasiswa sampai nanti kelar kuliah, lho. Pingin juga dapat, tapi belum rezeki aku," ujar Sila dengan mata berbinar tapi kemudian bibirnya mengerucut.

"Lha, bukannya lo juga dapat dari PPA?"

"Mana? Belum ada kabar."

"Ajuin jalur yang lain coba."

"Ntar deh coba aku cari info, eh ... tapi kenapa muka lo kelihatan kurang respek gitu dapat beasiswa ini?"

"Iya pasti lah, kayak nggak tahu aja situasi negeri kita."

"Udah, nggak usah di pikirin, biar jadi bahasan mereka yang berkepentingan," ujar Sila sambil mengibaskan tangannya di depan muka Aruni yang hanya tersenyum mengiyakan.

"Eh, mau pesan apa? Biar aku yang traktir, tanda syukur dong."

"Asyik ... bakso aja deh sama es jeruk."

"Siap.

Aruni segera beranjak dari duduknya dan kemudian membalikkan badannya, tetapi tiba-tiba ...

Bruk!!

Tubuhnya menabrak seseorang, buku diktat kuliah berserakan di lantai keramik kantin.

"Astaghfirllah, maaf. Saya tidak sengaja," ujar Aruni kemudian berjongkok membantu cowok itu membereskan buku-bukunya.

"Tidak apa-apa, tidak usah dibantu, terima kasih," ujar cowok itu kemudian berdiri setelah buku-buku itu berhasil dia bereskan sendiri.

Aruni merasa bersalah, sejenak dia berdehem kemudian, "Maaf ya, tadi aku tidak sengaja langsung berbalik badan," ujar Aruni sambil mengulurkan tangannya untuk minta maaf.

Cowok itu hanya tersenyum tipis kemudian mengangguk tanpa menanggapi uluran tangannya dan berlalu meninggalkan Aruni yang masih termangu heran dengan cowok berkaca mata tadi.

"Eh, tangan gue najis kali, ya? Tuh cowok nggak mau sentuh tanganku ... dasar cowok aneh,"

"Cieee, dilihatin terus, awas lho entar jatuh cinta. Jangan heran ma dia, tipe-tipe cowok penghuni surga, hehe," ujar Sila membuat Aruni menoleh padanya.

"Lo kenal dia?"

"Kenal sih enggak, cuma tahu aja ... anak TP, paling anti tu sama cewek bawel seperti kita, jangan ngarep deh bakalan dekat dengan dia atau jadi pacarnya. Dia juga tipe-tipe ogah pacaran."

"Eh, katanya lo nggak kenal? Tapi kenapa bisa tahu tentang karakternya?"

Sila nyengir sambil garuk-garuk kepala, "Dia kan cakep, wajarlah akunya penasaran."

"Yeee, dasar!" ujar Aruni menjitak pelan kepala sahabatnya itu kemudian berlalu untuk memesan makanan.

***

Aruni berlari melalui lorong fakultasnya untuk menuju ruang laboratorium, "Duh, gue telat, nih. Sial, kenapa semalem nurutin saran Sila ... mana dia udah berangkat duluan lagi," gumam Aruni masih dengan berlari kecil sambil melihat arloji yang melingkar manis di lengan kirinya.

Brak! Auw!

Tiba-tiba kepalanya berdenyut saat dia terjerembab jatuh ke lantai. Pandangannya sedikit kabur, Aruni beberapa kali menggelengkan kepalanya untuk memulihkan kesadarannya. Buku diktat kuliah yang dia pegang terlempar agak jauh dari tubuhnya yang ambruk setengah berbaring.

"Mbak, nggak papa?"

Suara khas seorang cowok terdengar menegurnya dari arah depan, Aruni menoleh....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku