Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CATATAN SENJA
5.0
Komentar
944
Penayangan
25
Bab

"Dia Senja. Meski indahnya sesaat, dia akan kembali di saat yang tepat." Langit Ananta. "Namanya Langit. Setiap saat memang ada. Tapi dia bakal pergi jika waktunya telah tiba." Senja Abhinaya. Senja Abhinaya dan Langit Ananta. Dua pribadi yang bertolak belakang tidak sengaja dipertemukan oleh Tuhan untuk menjalani takdir yang telah ditulis-Nya. Inilah kisah mereka. Langit, Senja dan semesta yang menyaksikannya.

Bab 1 1 | Pertemuan

Seorang gadis berjalan di koridor sekolah. Dia seperti sedang kebingungan mencari sesuatu. Sekolah memang sangat sepi, hanya ada suara beberapa guru dari dalam ruang kelas, karena KBM sedang berlangsung. Tampaknya, dia seorang murid baru. Terlihat dari penampilannya yang mengenakan seragam dari sekolah lain.

Melihat ada seorang lelaki sedang berjalan jauh di depannya, ia mempercepat langkah. Namun lelaki itu malah berbalik badan mengakibatkan mereka menjadi bertabrakan.

"Sorry," ucap lelaki tersebut. Sang gadis malah berdecak.

"Murid baru?" tanya lelaki itu lagi. Gadis yang ditanya hanya mengangguk.

"Langit," sergah cowok tersebut, lalu mengulurkan tangan.

"Naya," balas cewek tadi tanpa menerima uluran tangan dari Langit.

"Ke mana?" tanya Langit.

"Ruang administrasi," jawab Naya tanpa menatap Langit.

Langit hanya membalasnya dengan, "oh."

"Anterin," pinta Naya kemudian. Langit hanya berdehem. Setelahnya mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara.

"Udah sampe," kata Langit.

Tanpa sepatah kata, Naya masuk. Sedangkan Langit hanya menatapnya, lalu masuk ke ruang kantor guru. Jadi, ruang administrasi dan ruang kantor guru itu bersebelahan. Ruang administrasi terletak di sebelah kanan ruang kantor guru.

"Saya murid baru, Pak. Mau ngurus administrasi," jelas Naya setelah ditanya Pak Riswan tentang keperluannya datang ke sini.

"Oh, yang namanya Maya itu, ya?" tanya Pak Riswan sok tau.

"Naya," jawab Naya singkat.

"Hmm, iya iya saya salah. Wanita memang selalu benar," celetuk Pak Riswan sambil mengangguk-angguk kan kepalanya.

"Sinting," umpat Naya dalam hati.

"Oh iya. Ini, Pak, berkas yang mau dikumpulin." Naya menyodorkan map biru yang berisi berkas-berkas pendaftaran.

Pak Riswan menerimanya, Naya melepaskan genggamannya pada map. Namun Pak Riswan ikut melepaskan map itu, membuatnya jatuh dan berakhir berantakan di atas meja. Naya dengan sigap membereskan map tersebut, tetapi lagi-lagi Pak Riswan mengikuti gerakannya, sehingga tangan mereka saling bersentuhan. Otomatis Naya menarik tangannya. Sedangkan Pak Riswan tersenyum lalu mengedipkan sebelah mata ke arah Naya, kemudian membereskan map milik Naya yang berserakan diatas meja. Membuat Naya bergidik merinding.

"Pak, saya boleh keluar?" tanya Naya yang mulai risih dengan kelakuan Pak Riswan.

"Sebentar," sahut Pak Riswan.

"Nih, kamu tanda tangan di sini." Pak Riswan menunjuk sisi pojok kanan bawah kertas yang disodorkannya.

Tanpa bantahan, Naya pun melakukannya. Ternyata setelah ia amati, kertas itu berisi peraturan tata tertib yang harus ditaati oleh semua warga sekolah.

Naya menyerahkan kertas tatib yang telah ditanda tanganinya kepada Pak Riswan.

"Nah, setelah ngasih tanda tangan. Kamu ngasih tanda di sini ya," cetus Pak Riswan sambil menunjuk ke arah lehernya sendiri.

Mata Naya di buat melotot oleh kelakuan Pak Riswan tersebut. Sedangkan Pak Riswan hanya tertawa.

"Brengsek banget lo jadi guru!" emosi Naya meluap.

"Santai kali, becanda doang. Ini ada peraturan sekolah, jangan lupa nanti dibaca dan dipelajari.

Administrasinya udah diurus sama wali kamu. Untuk seragam nanti menyesuaikan yang lainnya, ya," jelas Pak Riswan panjang lebar tanpa menghiraukan amarah Naya. Naya menerima kertas yang diberikan oleh Pak Riswan dengan kasar.

"Nanti seragamnya ambil di koperasi aja sekalian atributnya. Bilang sama yang jaga, kalau seragamnya udah dibayar ke Pak Riswan." Naya berdiri setelah mendengar ocehan Pak Riswan. Membalikkan badan, ia berjalan keluar dari ruangan laknat itu.

"Mau kemana?" tanya Pak Riswan. Sontak membuat langkah Naya terhenti.

"Ke kelas lah," jawab Naya yang sudah membalikkan badannya menghadap Pak Riswan.

"Emang kamu tau kelas kamu di mana?" tanyanya sambil menaik turunkan alisnya.

Naya kicep. Memalukan. Bagaimana bisa dia melupakan fakta bahwa dirinya adalah murid baru di sini.

"Naya!" panggil seseorang dari luar ruangan yang membuat Naya menoleh ke belakang.

"Apa?" tanya Naya bingung karena tiba-tiba Langit memanggilnya.

Tanpa permisi, Langit masuk ke dalam ruangan itu, untuk menemui Naya pastinya.

"Udah?" tanyanya kepada Naya. Naya menautkan alisnya.

"Apany--" ucapannya terpotong ketika mendengar deheman.

"Eh, Pak Riswan." Langit menyapa lalu menghampiri Pak Riswan.

"Jadi gimana? Ini anak urusannya udah beres?" tanya Langit kepada Pak Riswan.

"Udah. Bawa pacar lo itu ke kelas dia," jawab Pak Riswan.

"Lah, kelasnya yang mana?" tanya Langit.

"Ya ke kelas lo lah. Dimana lagi? Kursi MIPA yang kosong kan cuma kelas lo doang," jawab Pak Riswan.

"Oh, iya. Bener juga," balas Langit lalu keluar dari ruangan tanpa menunggu balasan Pak Riswan, dan menghiraukan Naya yang berdiri mematung di tempatnya.

"Keren ya, guru bisa seakrab itu sama muridnya," pikir Naya.

Setelah sadar dari pikirannya sendiri, dia yang sudah tertinggal dari Langit langsung lari keluar ruangan.

"Laaang, tungguin gue!" teriak Naya yang tertinggal cukup jauh. Yang dipanggil berhenti. Naya pun berlari-lari kecil dan mensejajarkan langkahnya dengan Langit.

"Santai dong. Jangan ngebut," ucap Naya sambil mengatur nafasnya.

"Lo aja yang jalannya lemot. Cilik," balas Langit.

"Gue gak kecil. Lo aja yang kegedean," sahut Naya tak terima dengan ledekan Langit.

Sebenarnya Naya bingung, bagaimana bisa Langit tau julukannya waktu masih kecil. Tiba-tiba sekelebat ingatan masa lalu lewat di kepalanya. Padahal sudah lama ia menguburnya. Tapi entah kenapa ingatan itu datang lagi.

♠♠♠

"Lala! Tunggu!" aku melirik ke belakang, ternyata Anan sedang mengejarku.

Entah apa yang kupikirkan, aku semakin cepat berlari. Padahal aku melihat dia sudah sangat berkeringat.

"Lala! Tunggu aku, cilik!" teriaknya dari belakang. Aku semakin cepat berlari.

Aku mulai lelah, kulirik di belakang, Anan sudah tidak mengejarku. Aku duduk di tepi danau yang berada di taman kota. Memandang langit yang berwarna oren dengan semburat merah jambu, kupikir langit telah luntur terbakar sinar matahari terlalu lama. Sehingga yang tadi siang berwarna putih penuh dengan awan, sekarang menjadi oren kemerahan karena terbakar sinar matahari. Indah sekali suasana sore hari di kota Bandung.

"Dorrr!" aku terlonjak kaget saat ada seseorang yang menepuk pundakku sambil meneriakkan itu.

Aku menoleh, ternyata Anan. Dasar usil.

Dia duduk di sampingku. Menatapku, lalu menatap langit, kembali menatapku dan menatap langit lagi.

"Cilik, kamu ngapain?" tanyanya. Entah sejak kapan dia memanggilku cilik, padahal tubuh kami sama kecilnya. Tapi dia memanggilku cilik, dan itu sudah berlangsung lama sekali.

"Aku liat langitnya terbakar," jawabku seadanya. Dia tampak bingung.

"Mana langit terbakar?" tanya Anan dengan melihat seluruh bagian langit.

"Itu yang kaya api," jawabku dengan menunjuk arah matahari terbenam.

"Itu langit sore, Cilik," ucapnya dengan nada greget.

"Iya, tadi siang kan panas. Pas udah sore langitnya mulai terbakar matahari siang," sanggahku.

"Itu bukan terbakar, itu tanda-tanda matahari mulai terbenam, nanti langitnya ganti jadi ada bulan sama bintang. Aku lupa namanya. Nanti aku tanya ke mama. Besok kita ketemu lagi di sini, aku kasih tau," jelas Anan panjang lebar. Kemudian dia berdiri.

"Anan mau ke mana?" tanyaku.

"Pulang," jawab Anan, lalu mengulurkan tangannya.

Aku menerima uluran tangannya, dan berdiri. Kami pun berjalan bersama, bergandengan tangan dan melompat-lompat sambil bernyanyi.

Kami sangat senang, hingga kami berpisah di perempatan jalan. Aku berjalan ke arah kiri, dan dia ke kanan.

"Besok kita ketemu di tempat tadi ya! Aku bawain kue sama susu coklat kesukaanmu!" teriakku saat Anan sudah berjalan cukup jauh dariku.

Sepertinya Anan mendengar, dia mengacungkan jempolnya kepadaku tanpa menolehkan kepalanya.

**

Esok harinya, aku dengan riang berjalan ke taman kota. Tepatnya di tempat aku dan Anan melihat matahari sore. Kali ini aku membawa kue yang kubuat bersama mama dan susu coklat hangat kesukaan Anan. Meski mama tidak kenal keluarganya Anan, tapi mama sangat menyayangi Anan. Seperti menyayangiku.

Aku menunggu Anan sangat lama. Dia bilang dia akan memberitahu nama langit sore itu, tapi dia dimana?

Langit terlihat belum memerah, dia masih memancarkan sinarnya. Jadi kuputuskan untuk tetap menunggu.

Lama-lama langit mulai memerah. Seperti terbakar, tapi kata Anan itu adalah tanda-tanda matahari tenggelam dan berganti menjadi bulan.

Aku tetap menunggu Anan, sampai langit menjadi gelap. Aku tahu, ini namanya malam. Seperti kata Anan, bulan dan bintang jauh lebih bagus daripada langit sore.

Aku tetap menunggunya, aku melihat begitu banyak bintang dan satu bulan yang berbentuk bulat juga bercahaya.

Memang bagus, tapi udara malam yang sangat dingin membuatku lapar. Aku ingin memakan kue yang kubawa, tapi teringat itu untuk Anan. Jadi aku menahannya.

Aku sudah tidak kuat lagi, aku hampir pingsan sebelum aku mendengar teriakan Mama.

"Lalaa!" teriak Mama yang tidak kutahu dari mana, karena sangat gelap.

"Mamaaa!" teriakku. Sepertinya Mama mendengar.

Tak lama kemudian dia datang, lalu membawaku pulang. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu Anan lagi. Setiap aku mendatangi rumahnya, selalu sepi. Aku benar-benar kesal pada Anan. Aku membencinya, apa pun yang terjadi.

♠♠♠

Tiba-tiba Langit berhenti. Naya yang sedang beradu dengan memorinya pun menabrak punggung Langit yang ada di depannya.

"Ck, tabrak terus!" sinis Langit. Naya tidak membalasnya, ia menatap Langit bingung.

"Kenapa berhenti?" tanya Naya. Tanpa menjawab, Langit memasuki ruangan. Naya berdecak, dan mengikuti Langit ke dalam ruangan itu yang ternyata ruang kelas mereka.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku