Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KEMBALI DALAM SENJA

KEMBALI DALAM SENJA

NQ

5.0
Komentar
70
Penayangan
10
Bab

sebelum baca jangan lupa Subscribe dulu shobat NQ "Apakah aku hanya akan berdiam diri menunggunya yang tidak perduli akan keadaanku? tapi aku tidak kuasa menjauh" Rasanya tidak ada kata akhir. Mas Fairuz terus dan terus mendiamiku. apakah sebagai seorang istri aku tidak berhak bertanya. Dia hidup dengan kesenangannya sendiri. ____ "Mas. Boleh aku pergi kerumah orang tuaku. Aku sangat merindukan mereka" "Kenapa masih minta izin? aku tidak ngelarangmu kemana saja. Paham! jadi jangan sok menjadi istri yang sempurna. Aku tidak pernah bahagia dengan pernikahan tanpa landasan cinta" seraya meninggalkanku mematung. "Aku bertanya baik-baik kepadamu Mas, tapi kenapa jawabanmu membuatku--" air mataku tidak bisa dibendung lagi. Seperti ini ternyata hidup tanpa ada komitmen dalam rumah tangga. Aku terdiam sendiri, bertanya sendiri. Kenapa kehidupan rumah tanggaku seperti ini?

Bab 1 Demi Ayah Ibu

Sebelum baca jangan lupa subcribe Kak, kritik dan sarannya sangat NQ harapkan...

"Mana suamimu. Kok aku lihat tidak ada di sampingmu?" Pertanyaan dari temanku membuatku menelan saliva saja.

"Dia lagi menemui temannya Mbak. Sebentar lagi pasti datang kok." Aku tersenyum kecut menimpalinya, seraya tersenyum.

"Ya Allah, pernikahan bagaimana ini. Suamiku tidak berdiri di sampingku." Batinku.

Manaku tahu sekarang suamiku di mana, yang aku tahu, aku lagi sendirian tersenyum kala ada tamu, menjawab jika ditanya. "ah... Pengantin macam apa aku ini," gumamku lagi dalam hati. "kayak orang dakdung saja," Pikirku lagi sejenak sambil memilin-milin bunga yang ku pegang.

***

Pernikahan yang diinginkan orang tuaku, membuatku bingung sendiri, dan ini pernikahan yang tidak pernah diinginkan olehku.

"Kenapa harus aku yang berkorban?" lirihku dalam hati.

Tiba-tiba aku dirangkul seseorang dari belakang. Aku terperangah bukan kepalang. "apakah ini suamiku?" tanya batinku menerka-nerka.

"Sayang, kenapa hanya berdiri di sini?" Tanya suara perempuan membuatku sedikit lega dan kecewa. Aku mengharap suamiku datang memberi kejutan, tapi ternyata mertuaku yang datang, dan menuntunku menemui teman-temannya. Memperkenalkan mantu kesayangannya kepada mereka rekan-rekan busnisnya.

"Jeng. Cantik kali mantu kau." Puji salah seorang yang bergaun merah, tapi tatapan matanya membuatku pesimis. Mama yang melihat aura wajahku berubah tidak senang langsung merangkul dan menenangkannya.

"Jangan di pikir sayang. Biasa, orang yang merasa di bawah kita akan seperti itu."

Aku tersenyum mendengar penuturan Mama. "terima kasih Ma," balasku sambil memegang kedua tangannya.

"Yuk Mama kenalkan sama teman Mama yang lain."

Sambil menyapa teman mama juga kolega-kolega bisnisnya aku masih terus mengedarkan pandangan kesana-kemari, mencari sosok laki-laki berjas Tuksedo hitam. Ekor mataku berhenti ke arah sosok yang asik bercanda dengan temannya.

Diujung koridor sana aku melihat Mas Fairuz tersenyum berbicara dengan koleganya. Kelihatannya pembicaraan mereka santai dan seru. Sekali-kali teman-temannya melihatku dan tersenyum, Mas Fairuz hanya tersenyum tanpa menoleh kepadaku. Tangan kanannya memegang gelas, tangan kirinya dimasukkan kedalam saku celananya. "cool banget Mas Fairuz," gumamku. Hanya bisa melihat dari jauh tidak bisa berdekatan, hanya bisa berharap ia datang dengan gagahnya menghampiriku, tersenyum, meeaih tanganku dengan mesra, tapi sayang itu hanya berandai-andai.

***

Acara berlangsung dengan lancar, para undangan sudah banyak yang beranjak pergi, karena acara telah usai, hanya tinggal kerabat saja untuk menyempurnakan pertemuan bahagia malam ini.

Malam bahagia menurut mereka, tapi apakah bagiku ini kebahagianku, sedangkan sejak tadi aku tidak melihat suamiku, seperti apa dia sekarang, bagaimana penampilannya atau dia akan sama sepertiku mencari-cari pasangannya yang tidak muncul batang hidungnya.

Aku terdiam sendiri dalam kamar, memandang pantulan diriku di cermin. Bertanya-tanya, apakah aku istri yang diharapkannya, apakah aku istri idamannya.

"Aku sudah menikah. Aku sudah bersuami. Sekarang statusku berubah menjadi seorang istri. Istri dari Muhammad Fairuz Azam." Batinku sambil menarik nafas dalam-dalam.

Senyum terlihat jelas di kedua bibirku, senyum seorang puteri kecil yang tumbuh dewasa dengan menjadi seorang istri, bukan karena sudah menikah, akan tetapi semua ini dilakukan hanya karena demi Ayah dan Ibu, demi kebahagiaan mereka aku akan melakukan semuanya. Mungkin baktiku dengan mengikuti keinginan mereka.

"Demi kalian berdua aku korbankan perasaan, menikah dengan orang yang tidak dikenal dan aku pun tidak tahu seperti apa dirinya, namun aku bahagia bisa menolong kedua orang tuaku dalam kesulitan," pikirku sembari melangkah untuk ke luar kamar, namun langkahku terhenti dengan percakapan seseorang.

"Bukannya Zahwa nikah karena terpaksa?" Suara seorang prempuan membuka percakapannya.

"Pernikahan ini sudah direncanakan jauh sebelum Zahwa berumur lima tahun." Suara perempuan berikutnya menimpali.

"Apakah sejak tragedi itu?" Tanya perempuan yang membuka percakapan pertama kali.

"Iya. Tragedi itu sangat memukul Pak Halimi, untuk menjaga aset-aset yang sudah menjadi incaran orang-orang yang tidak menyukai Pak Halimi, maka Pak Rahmad dan Pak Halimi mengambil keputusan ini."

Percakapan dua perempuan itu menghentikan langkah kakiku. Mataku berkaca-kaca seketika mendengar kenyataan bahwa aku menikah sudah rencana dari awal.

"Terus. Hutang Ayah dan Ibu yang bermiliaran itu kabar apa?" Teriak batinku.

"Apakah aku telah di bohongi?" Tanyaku resah. "Apakah ayah dan ibuku rela membohongiku?" Tanyaku lagi. Air mata yang berusaha ku bendung tumpah ruah juga. Hatiku begitu sakit mendengar kebenarannya. Tidakkah dua perempuan itu sadar bahwa di balik pintu pemilik nama yang mereka bicarakan sedang mendengarkan pembicaraannya.

"Pernikahan apa ini." Lirihku pelan sambil bersimpuh di lantai, karena tidak kuat akan mendengar kebenarannya, aku kuatkan batinku, ragaku serta jiwaku. Akan aku ikuti apa jalan rencana mereka, meski pun kenyataannya mereka menyangka aku tidak tahu apa-apa, tapi aku punya rencana lain untuk mengetahui kebenarannya tanpa mereka sadari.

***

Aku kaget dengan suara ketokan pintu dari luar kamar. Hatiku was-was, ragu dan bimbang. Bertanya-tanya siapa yang datang. Selang dua langkah dari tempat ku berdiri seorang laki-laki dengan berpakaian jaz masuk. Ia sedikit pun tak menoleh kepadaku.

"Apakah ini Fairuz? Apakah ini suamiku? Tapi kenapa tidak menyapaku selayaknya pengantin baru. Kenapa ia bergerak seenaknya tanpa mempedulikan aku yang menatapnya." batinku bertambah ragu dan gusar.

Awalnya aku merasa deg degkan, gemetar karena dia masuk, namun melihat tingkahnya yang sangat cuek seperti itu membuatku dongkol dan menahan amarah.

"Mas Fairuz" dengan intonasi setenang mungkin ku menyapanya. Dia menoleh tapi tak menjawab panggilanku serta langsung pergi ke kamar mandi.

Aku bagaikan patung. Sontak ku hembuskan nafas pelan-pelan agar tidak marah, ku tahan amarahku sebisa mungkin.

"Mungkin seperti itu sifatnya ya?" Tanyaku pada diri sendiri. Mencoba berdamai dengan diri.

Pikiranku pun kemana-mana mendengar guyuran air dari kamar mandi membuatku tidak fokus saja.

"Apa yang akan dia perbuat setelah mandi? Apakah akan mendatangiku dan-- atau----. Ahhh! Aku tidak bisa membayangkannya. Tapi kenapa aku takut. Dia kan suamiku" tegasku lagi, menyemangati diri sendiri.

Tujuh menit usai. Mas Fairuz keluar dari kamar mandi. Dia benar-benar mendatangiku yang berdiri di depan cermin. Ia melangkah tanpa ragu. Bau wangi badannya mulai tercium dari jarak yang lumayan dekat. Kakinya dengan santai terus mendekat. Aku gemetar dan hatiku sudah tidak tahu apakah berada di tempatnya atau masih bisa bersuara.

"Mas Fairuz menghampiriku" batinku, seketika itu ku persiapkan diri sekuat aku berdiri.

"Aku tidak boleh menolak. Aku kan istrinya" kataku lagi, batinku berperang sendiri.

"Apa kau hanya akan mematung di sini?!" Katanya dengan dingin.

Sontak aku kaget mendengar perkatannya. Tatapan yang tajam menusuk hatiku, membuatku takut. Aku bergeser dua langkah kesamping menghindarinya.

Ternyata Mas Fairuz bukan menghampiriku, akan tetapi ia hanya berniat mengambil sisir yang berada tepat di belakangku. Ia menyisir rambutnya dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ku definisikan.

Malam pertama yang tertunda mungkin. Menerka-nerka sendiri, bertanya sendiri dan menjawab sendiri. Aku bak orang linglung tak tahu arah saja kala berhadapan dengan Mas Fairuz, sedangkan Mas Fairuz melihat pun tidak, dia hanya fokus pada dirinya sendiri tanpa menghiraukan aku yang di sini, seorang istri yang hanya bisa mengharap dan mengharap dari sang suami.

Untuk menghindari, aku pergi ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa make up. Bukan kesenangan dan bahagia ku dapat, tapi malam pengantin di mulai dari ketakutan kepadanya dan rasa malu yang amat mendera.

Apakah seperti ini hubungan pernikahan tanpa ada ikatan yang baik antara suami istri. Aku termangu di cermin fastafel dan terus berkaca dan bertanya-tanya sendiri.

"Apakah arti pernikahan ini?" Batinku.

"Apakah kebenarannya akan lebih sakit dari ini?" Tanyaku lagi dalam tangis pilu mendera.

***

Apakah Zahwa kuat dengan pernikahan yang tidak harmonis. Bertahankah kekagumannya yang selama ini di sembunyikan di pupuk dan ditanam akhirnya pupus juga. Suara hati istri yang tak dianggap.

😀🙈

Bagaimana ceritanya Kak. Yuk kita baca selanjutnya 😍

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku