Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Bagaimana dengan kuliahmu? Jika kau memerlukan sesuatu katakan saja dengan paman dan bibi, kami akan berusaha untuk memenuhinya," ucap Audrey pada Naara.
"Semuanya berjalan dengan baik, Bi. Aku tidak memerlukan apa pun untuk saat ini. Jangan khawatir, jika aku membutuhkan sesuatu, aku pasti akan mengatakannya padamu," kata Naara sambil mengelus pipi Audrey lembut.
Wanita paruh baya itu tersenyum mendengar ucapan sang keponakan yang sudah ia anggap anak kandungnya sendiri.
"Baiklah kalau begitu." Audrey tersenyum hangat pada gadis cantik di hadapannya.
Naara berdiri dari tempat duduknya, mengambil tas serta segera memakai flat shoes murahan kesayangannya yang ia beli lima bulan lalu dari hasil kerja paruh waktu di sebuah toko kue.
"Aku harus pergi sekarang. Aku ada janji bertemu dosenku. Aku mencintaimu, Bi." Naara mengecup kedua pipi Audrey dan bergegas pergi ke kampusnya.
Naara Kiva, gadis muda berusia dua puluh satu tahun yang saat ini sedang berkuliah di salah satu Universitas terbaik di kota Bonn, di utara Rhine-Westphaliaang, Jerman mengambil jurusan Art and Humanities, tahun ketiga. Gadis itu berdarah Australia dan Inggris yang kini sedang menetap di Jerman. Ia pindah ke Jerman dikarenakan kedua orang tuanya meninggal dunia kecelakaan pesawat dan akhirnya ia dirawat oleh bibi dan pamannya, Audrey dan Kenneth saat masih duduk di bangku Junior High School.
Beruntungnya Naara diterima di salah satu Universitas Negeri yang menggratiskan beberapa biaya kuliah untuk penduduk lokal di sana. Ia hanya perlu membayar biaya administrasi yang kecil, jumlah total untuk belajar di sebuah universitas. Naara juga merupakan salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya. Ia selalu bisa mempertahankan nilainya dengan baik. Meskipun begitu, ia termasuk mahasiswa yang sering berinteraksi dengan mahasiswa lainnya. Bukan kutu buku yang hanya fokus belajar tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya.
Biaya hidup yang cukup tinggi membuat Naara memanfaatkan waktu luangnya untuk bekerja paruh waktu di toko kue dan menjadi model freelance temannya.
"Naara ...," teriak seseorang dari arah belakang Naara.
Naara mendengar panggilan itu, tapi ia memilih untuk mengabaikannya. Sesekali menjahili orang lain sepertinya tidak masalah. Gadis itu terus melangkahkan kakinya.
Tepukan di pundaknya membuat langkah kaki Naara terhenti. Sebuah telapak tangan lebar menempel di pundaknya dan gadis itu menahan senyumnya.
"Oh, sial. Kau mengerjaiku ya? Teriakanku cukup keras, tidak mungkin kau tidak mendengarnya," gerutu pria berwajah oriental di samping Naara.
"Aku tidak mendengar apa pun," jawab Naara berakting dengan wajah tanpa ekspresi.
Pria itu menyugar rambut dan mengatur napasnya yang terengah-engah akibat berjalan tergesa untuk menyamai langkah kaki Naara.
Naara tersenyum tertahan melihat raut wajah kesal sahabat sekaligus pria yang ia sukai diam-diam. Gadis cantik itu menyodorkan beberapa lembar tisu pada Xion dari tasnya.
"Maaf, sudah membuatmu berkeringat pagi-pagi," ucap Naara dengar cengiran jahilnya.
"Sudah kuduga, kau menjahiliku," keluh Xion tersenyum sambil mengelap dahinya.
Tibra Xion, pria tampan berwajah perpaduan Chinese - Perancis, sahabat Naara sejak dari Senior High School. Xion adalah orang pertama yang berteman dengan Naara ketika pindah ke Jerman dan akhirnya mereka semakin akrab menjadi sahabat.
"Jadi, kau marah padaku?" tanya Naara pada Xion.
Pria itu menoleh lalu menggeleng pelan, "tidak. Aku hanya sedang malas berbicara denganmu karena kau usil sekali.”
"Ck! Pria tukang merajuk," ejek Naara dan gadis cantik berambut cokelat terang itu melangkah lebih cepat meninggalkan Xion sendirian.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Naara menangkap suara gadis-gadis kampusnya yang menyapa Xion dengan genit dari arah belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, Xion merupakan salah satu pria yang diminati para wanita di kampusnya. Pria itu cukup ramah dan juga terkenal suka membantu sesama.
Rasa kesal dan cemburu menghinggapi relung hati Naara, tapi ia tidak bisa melakukan apa pun selain diam. Ia tidak ingin merusak hubungan persahabatan yang sudah terjalin bertahun-tahun.
Xion merangkul Naara dari belakang secara tiba-tiba membuat wanita itu terperanjat. Semburat merah muncul di pipi Naara. Gadis itu sesegera mungkin melepas rangkulan Xion dan memasang raut wajah datar, menutupi ekspresi yang sebenarnya.
Xion menunjukkan sekotak cokelat dalam genggamannya pada Naara.
"Cokelat dari fans?" tanya Naara dan Xion mengangguk.
"Aku tidak tega untuk menolaknya," kata Xion dan Naara hanya ber-oh ria menanggapinya.
"Kau sudah berbicara dengan bibimu mengenai study banding kita, yang ditawarkan oeh Mr. Kellan?" tanya Xion.
Naara duduk di salah satu kursi yang ada di koridor kampusnya sambil menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Xion.
"Aku belum mengatakan apa pun," kata Naara sambil memilin jarinya.
Pria bermata sipit itu dengan cepat mengambil tempat duduk di samping Naara. "Kenapa? Bukankah itu gratis? Kita tidak mengeluarkan sepeser pun uang untuk belajar di sana," kata Xion.
Naara memandang lekat Xion dengan ekspresi bingung dan penuh pertimbangan.
"Aku tidak ingin membebani paman dan bibiku untuk membiayai hidupku selama tiga bulan di Berlin. upah pemotretanku baru akan dibayar setelah dua bulan ke depan, minggu lalu aku sudah membelanjakan upah kerja paruh waktuku untuk membeli beberapa buku,” ungkap Naara.
Xion menggenggam telapak tangan Naara dan perlakuan itu membuat jantung Naara kebat kebit.
"Aku akan membantumu selama di Berlin. Tidak perlu risau, Naara sayang," ucap Xion lembut.
"Aku tidak ingin belajar sendirian di sana. Aku akan rindu berat jika berjauhan darimu. Aku akan membantumu berbicara dengan paman dan bibimu jika mereka tidak mengizinkanmu,"
"Di sana kita akan mendapatkan teman-teman baru serta pengalaman baru. Oh, ayolah bersemangat. Bukankah kau sangat bermimpi bisa mencicipi kuliah di kampus terbaik di Negara itu, apalagi ini secara gratis," bujuk Xion.
Naara berdecih. "Kau pintar sekali merayu dan menghasut orang. Bukankah kau ingin tebar pesona di sana?" sindir Naara.
Xion menarik hidung Naara membuat gadis itu mendelik kesal. "Kau cemburu? Kau takut tersaingi? Oh, come on, kau selalu berada di tempat paling istimewa di hatiku, Naara sayang,"
"Ucapanmu menjijikkan sekali.” Naara pura-pura bergidik geli padahal di dalam hatinya senang bukan kepalang mendengar ucapan Xion.
"Jadi, kau mau ‘kan, terima tawaran itu?" rengek Xion.
Naara tertawa geli melihat tingkah konyol Xion yang kekanakan padanya.
"Kita lihat saja nanti," ucap Naara akhirnya.
Setelah berbicara dan berdiskusi panjang dengan paman dan juga bibinya. Naara memutuskan untuk menerima tawaran yang diberikan Mr. Kellan.
Di luar dugaan, keluarganya itu begitu antusias dan semangat mendengar jika Naara mendapatkan kesempatan langka itu. Mereka segera pergi ke Berlin dengan mengendarai mobil Kenneth, paman Naara dan mencari tempat tinggal untuk Naara selama di Berlin nanti. Meskipun bukan sebuah apartemen mewah yang disewakan, melainkan hanya sebuah flat kecil sederhana, tapi cukup membuat Naara bahagia serta begitu berterima kasih.
Frei Universitat Berlin, menjadi universitas terpilih yang akan menjadi tempat belajar Naara dan Xion selama tiga bulan ke depan. Sungguh bagi Naara ini adalah kesempatan emas yang tidak bisa dirinya sia-siakan. Untuk bisa masuk ke universitas ini dengan jalur beasiswa tentu harus melewati perjalanan yang sulit. Sedangkan kali ini, dirinya diberikan kesempatan gratis oleh Universitasnya untuk merasakan pendidikan di sana. Bagaikan mimpi yang jadi kenyataan.
"Wow ... rasanya seperti mimpi bisa menginjakkan kakiku kemari. Amazing place!" seru Naara antusias saat memasuki gedung kampus yang cukup besar dan megah.