Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
193
Penayangan
19
Bab

Kehidupan Senja awalnya biasa saja seperti remaja umumnya, hanya belajar, main, nonton drakor, penikmat cogan dan sebagainya. Namun ketika ia harus pindah dari Bandung ke Tangerang sampai kelulusan kelas 12, hidup Senja sudah tidak sama lagi. Gadis itu mengenal banyak cogan dan mengalami banyak kejadian yang membuat Utari cemas pada anak bungsunya itu. Jadi, bagaimana kisah seorang Senja Mahesa yang harus dihadapkan oleh banyak hal?

Bab 1 Pindahan rumah

Gadis yang sedang asyik menonton drama korea di kamar orangtuanya itu tak henti-hentinya menghembuskan nafas kasar. Tv di kamarnya baru saja rusak karena tak sengaja terlempar tempat pensil saat ia frustasi mengerjakan tugas fisika.

Telinganya benar-benar panas mendengar celotehan sang ibu sejak pagi tadi.

"Biru! Astaga! Kamu dengerin Bunda ngomong nggak sih?!"

"Denger, Bun! Ya ampun.."

"Sayang.. Sudahlah. Toh si Biru udah ngasih penjelasan kenapa baru pulang tadi pagi."

"Ya tapi–"

Gadis tadi membuka pintu kamar kuat. Matanya menatap anggota keluarganya kesal, "Kalian berisik banget sih! Senja tuh lagi nonton para cogan!" teriak gadis itu dengan dada yang naik turun akibat emosi.

Hening.

Seorang pria berusia 42 tahun itu berdehem. Ia melirik sang istri yang juga masih terkejut. Apalagi anak sulung mereka yang menganga.

Langit menekan dagu anak sulungnya agar mulutnya tertutup rapat. Biru yang sadar pun ikut berdehem. Begitu pula Utari, ia menyengir tanpa dosa menatap anak bungsunya.

"Adek? Udah laper? Ini Bunda tinggal nyiapin ke atas meja." kata Utari.

Senja mendengus. Tanpa membalas ucapan sang bunda, gadis itu kembali membanting pintu kamar kesal.

Ketiga manusia itu terjengit. Ketiganya saling melirik satu sama lain.

"Adek lagi pms ya, Bang?"

Biru menggeleng pelan, "Mana Abang tahu, Bun."

Langit tertawa pelan. Hal itu membuat Biru dan Utari menoleh, menatap Langit seakan bertanya.

"Persis kayak kamu, Bun. Galak." kata Langit. Biru mengangguk setuju, "Bener, Pa."

Utari menatap keduanya tajam. Tangannya sudah berkacak pinggang, "Kalian– HEI! SINI BALIK! JANGAN KABUR KALIAN YA!" seru Utari mengejar suami dan anaknya ke halaman belakang.

Sedangkan Senja kembali menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Ia mengerang kesal. Rumahnya selalu ramai. Entah karena dirinya, Biru, Utari, atau bahkan Langit sendiri.

...............

Senja Mahesa. Anak bungsu dari pasangan Langit Mahesa dan Utari Prameswari. Senja memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya berbeda satu tahun darinya yaitu Biru Mahesa.

Senja memiliki wajah cantik yang dibekali dengan hidung mancung, alis yang rapih, bulumata lentik, bibir tipis juga lesung pipi di kedua pipinya yang chubby. Gadis keturunan Bandung-Makassar itu sungguh mampu membuat semua orang terpesona.

Namun, sifatnya yang bar-bar dan berisik membuat semua orang meringis sambil mengusap telinga mereka bila berdekatan dengan Senja.

Lain Senja, lain pula Biru. Biru memang dapat dikatakan sebagai cogan. Terlebih wajahnya bak tokoh utama dalam setiap cerita. Seperti selalu saja ada lampu yang menyorot terang.

Biru terkenal dengan keramahannya. Apalagi saat masih bersekolah ia menjadi tim inti basket di SMA Dirgantara . Setelah kelulusannya, Biru melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas negeri terbaik di Kota Bandung.

Berbeda dengan Senja yang kelewat santai bahkan bisa dibilang bodoamat dengan sekolah, Biru justru sangat memiliki otak yang cerdas. Namun hal itu tidak membuat kedua orangtua mereka membedakan kedua anaknya. Tidak, lebih tepatnya Langit sudah pasrah bila salah satu anaknya memiliki otak dan kelakuan yang sama persis dengan sang pujaan hati.

Utari sedang berkutat di dapur bersama Langit. Semenjak menikah dengan Langit, ia belajar memasak dari suaminya itu. Ya, Langit lebih ahli ketimbang Utari.

"Pa, aku jadi keinget pas kita belum menikah." ujar Utari tiba-tiba.

Perasaan Langit sudah tak enak. Ia harus menjaga jawabannya mati-matian bila sang istri sudah berkata perihal masa lalu mereka. Salah omong sedikit, Utari akan merajuk dan berakhir tidak mau memberinya jatah. Itu bencana besar!

"Apa, Bun?" balas Langit meneguk salivanya susah payah.

Utari berhenti memotong wortel untuk sayur sop malam ini. Ia menoleh ke arah kanan.

"Dulu Papa bilang masakan Bunda itu enak."

Langit mengangguk, "Emang. Nasi goreng sosis buatan Bunda emang enak waktu itu." aku Langit.

Utari tersenyum lebar, "Lebih enakan nasi goreng aku atau dessert buatan Nada?"

Langit tersenyum lebar, "Bunda lah." jawab Langit penuh percaya diri. Ia tidak akan menjawab sejujurnya walaupun masakan mantan gebetannya dulu itu lebih enak.

"Bagus-bagus." balas Utari melanjutkan memotong wortel. Sedetik kemudian, Langit meringis saat jari Utari menarik daun telinganya ke atas.

"Bohong! Orang jelas-jelas waktu itu kamu banggain dessert buatan Nada daripada nasgor aku!" omel Utari kesal. Langit mendengus, "Ya kan dulu, Bun."

"Tetep aja kamu bohong!"

"Aw.. Bun.. Ya Allah, ampun sayang! Bunda! Ney! Ampun!"

Utari berhenti menjewer telinga Langit. Ia menyodorkan pisau ke depan wajah Langit, "Awas kamu bohong lagi!" kata Utari kemudian melanjutkan memasak.

Langit mengusap dadanya sabar. Memang serba salah. Jujur salah, bohong lebih salah. Untung cinta, kalau nggak, Langit pastikan Utari masih menjadi perawan tua.

Bukan, bukan karena tidak cantik atau menarik. Utari banyak yang sukai dulu. Bahkan Langit harus berjuang mati-matian. Tetapi sedikit sekali yang tahan dengan kelakuan Utari. Anggap saja Utari beruntung karena Langit masih mau dengannya.

Ah tidak, tepatnya Langit yang beruntung bisa mendapatkan Utari yang cantik dengan segala keunikannya. Langit akui Utari memang pintar, cantik, baik hati. Walaupun kelakuannya bar-bar dan tidak bisa diam sama sekali. Hanya Utari yang bisa menerima segala kekurangan dalam dirinya.

"Heh! Kenapa kamu senyum-senyum nggak jelas hah?! Mikirin cewek lain ya?!" kejut Utari yang membuat Langit mendelik.

"Suudzon mulu sama suami kamu!"

Utari mengendikan bahu, "Bukan suudzon. Kamu kan playboy dari dulu." balas Utari santai. Langit menghela nafas panjang, "Kan Bunda yang satu-satunya Papa cinta."

"Geli."

"Astaghfirullah. Salah mulu."

Utari menyengir. "Panggil Biru sama Senja gih, Pa. Bunda masih mau buat sirup."

Langit mengangguk. Setelah mengecup kening sang istri, Langit naik ke lantai dua untuk memanggil kedua anaknya makan malam.

Langit mengetuk pintu kamar berwarna biru langit itu. Tak menunggu waktu lama, pintu itu terbuka. Tentu saja dengan wajah bangun tidur milik Biru yang buat gadis mana saja akan memekik heboh.

Langit menatap Biru geli melihat tingkah anaknya yang sok kegantengan itu. Langit mendengus geli.

"Nggak usah sosoan kamu deh, Bang. Geli Papa liatnya." komentar Langit yang membuat Biru kesal. Padahal ia sudah bergaya sekeren mungkin walaupun masih setengah mengantuk!

"Cuci muka abis itu turun. Bunda udah selesai masak." kata Langit. Biru mengangguk langsung menutup pintu kamarnya.

Langit menatap pintu yang tertutup itu dengan pandangan kesal. Ia harus sabar memiliki anak yang sepertinya kurangajar akibat dirinya dulu juga seperti itu. Bahkan sifat playboynya menurun ke Biru.

Langit memutar badannya, ia mengetuk pintu kamar berwarna pink pastel yang berada tepat berhadapan dengan kamar Biru. Langit tidak mendengar adanya jawaban pun membuka pintu kamar itu.

Langit tersenyum kecil melihat Senja yang tertidur dengan gaya yang sangat tidak elit. Bantal jatuh ke lantai, kasur besar itu penuh karena Senja yang tidur seperti arah jarum jam. Kaki dan tangannya melebar tanpa takut akan copot dari engselnya!

Kalau Biru benar-benar mewarisi sifat dan sikap Langit. Semua orang akan setuju bila Senja mewarisi segala hal dari Utari.

Langit mengusap kepala Senja lembut. Ia mendengar Senja bergumam pelan.

"Ah Christ.. Senja juga mau kayak Anna.."

Langit mengerutkan dahinya, "Christ? Anna?" gumam Langit pelan. Namun kemudian matanya membulat saat sadar kalau itu adalah tokoh dari sebuah film yang pernah Biru tonton.

Saat itu Langit tidak sengaja masuk ke dalam kamar Biru saat anak itu sedang nobar bersama teman-temannya. Langit mengusap dadanya, "Apakah ini cobaan karena gue sama Utari dulu juga goblok ya?" gumam Langit.

Langit menepuk jidat Senja cukup keras yang membuat gadis itu tersentak kaget. Ia membuka matanya lalu menatap Langit sebal. Ia mengerang, "Papaaa!!! Ganggu aja sih.."

"Bangun. Makan malem."

"Hm.." gumam Senja kembali memeluk gulingnya erat membelakangi Langit.

Langit mendengus. Tanpa mendengarkan protesan anak bungsunya, pria itu mengangkat tubuh Senja layaknya karung beras memuju ruang majan.

"Papa!"

"Papa turunin Senja!"

"Papa!!" seru Senja kencang memukul punggung Langit kesal. Langit mengacuhkan teriakan kencang anaknya itu.

Senja menatap Langit dengan tatapan membunuh begitu diturunkan di salah satu kursi makan. Ia bersedekap kesal. Langit yang di tatap oleh anaknya itu hanya menyeruput santai teh yang mulai dingin.

Biru yang baru datang setelah membersihkan diri itu menatap Senja dan Langit bergantian. Ia berdiri di sebelah Utari yang sedang memotong buah strawberry untuk dimasukan ke dalam sirup.

"Mereka kenapa, Bun?"

Utari mendengus, "Kayak nggak tahu Adek sama Papa aja kamu." jawabnya enteng.

Utari menarik kursi di sebelah Langit. Sedangkan Biru di sebelah Senja. Keluarga kecil itu pun memakan menu makan malam mereka setelah berdoa bersama.

Senja melahap ayam bakar madu kesukaannya. Sesekali melirik Langit tajam. Sepertinya ayah dan anak itu masih belum berdamai.

"Setelah makan jangan langsung masuk kamar. Ada yang Bunda mau omongin bareng kalian." kata Utari tenang.

Biru mengangguk.

"Apa, Bun?" tanya Senja masih mengunyah nasi.

Langit melotot. "Telen dulu baru bicara, Senja!"

Senja hanya mengendikan bahu. Ia tahu, table manner sang ayah jauh lebih diatas bundanya. Mengenai kelakuan dan pelajaran bisnis, Senja dan Biru dapatkan dari sang ayah. Namun mengenai perasaan, sang bunda nomor satu.

Langit bisa dikatakan keras. Tak jarang Senja dan Biru mengadu pada Utari karena kekejaman ayah mereka dibalik kasih sayangnya.

Sejak dulu, Langit memang dikenal seseorang yang cuek dan jarang menunjukan ekspresi. Semua hal ia pendam sendiri. Setidaknya, setelah bertemu Utari, Langit sedikit meleleh dari julukan pangeran es.

Semua anggota keluarga Mahesa sudah berkumpul di ruang keluarga. Biru sedang menidurkan kepalanya di pangkuan sang bunda. Sedang Senja sibuk men-stalking cogan di atas karpet berbulu itu. Langit pun meluruskan tubuhnya di salah satu sofa lain.

"Ehem,"

Biru, Senja, juga Utari menatap Langit yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk menyender. Tatapannya cukup serius yang membuat ketiganya tidak berani membuat lelucon.

"Papa mau bicara sama Senja juga Biru." kata Langit menatap kedua anaknya bergantian. Kemudian beralih menatap Utari, wanita yang hanya berbeda satu bulan darinya itu mengangguk sambil tersenyum manis.

Langit menghembuskan nafas panjang, "Minggu depan kita bakal pindah ke Tangerang." kata Langit.

Biru mengernyitkan dahi.

"Kita?"

Utari terkekeh, "Maksud Papa, selain kamu tentu aja. Kamu tetep disini lanjutin kuliah kamu." balas Utari tenang.

Senja melotot tak suka. Ia menggelengkan kepalanya, "Nggak! Senja nggak mau!"

"Senja–"

Senja menggeleng, "Ini tahun terakhir Senja sekolah, Papa! Bahkan baru dua bulan Senja jadi anak kelas 12!" protes Senja. Ia sudah berdiri menatap Langit dan Utari sebal, "Senja bisa disini sama Abang. Kalian kalau mau pindah, pindah aja!"

"Sen–"

Langit menahan lengan Utari yang ingin mengejar anak bungsunya itu. Langit menggeleng, "Biar aku yang ngomong sama anak itu."

Utari mengangguk pelan. Biru tersenyum lembut, "Bunda nggak usah khawatir. Senja cuma kaget, Biru yakin." ujar Biru lembut.

Langit mengetuk pintu kamar Senja berkali-kali namun tak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar. Langit terkekeh, "Senja.. Sayang, buka pintunya dong."

"Nggak mau!"

"Papa mau bicara, Nak."

"Nggak!"

Langit menghembuskan nafas panjang. Ia tahu anak bungsunya sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri. Walau lebih banyak mirip Utari, sifat keras kepalanya itu menurun pada Senja ketimbang Biru.

"Senja, buka pintunya ya?" ujar Langit lembut.

Ceklek

Senja menubrukan tubuhnya ke dalam dekapan sang ayah erat. Langit tersenyum kecil, ia menggendong Senja layaknya koala kecil. Keduanya masuk ke dalam kamar gadis itu.

Beberapa menit kemudian, Senja sudah melepaskan pelukannya. Langit merapihkan rambut anak bungsunya yang sedikit berantakan. Ia mengusap jejak airmata di pipi Senja dengan lembut.

"Senja, dengerin Papa dulu."

Senja mengangguk.

"Papa juga tahu kamu nggak bakal mau pindah dari Bandung. Papa juga nggak mau, selain ini tempat kelahiran Papa, Bandung memang rumah dan masa depan Papa juga Bunda yang pernah kami rancang jauh sebelum menikah." ujar Langit. Bibirnya tersenyum kecil, "Kita cuma bakal pindah sementara, Senja. Papa janji, setelah kerjaan Papa selesai disana– kita bakal balik ke rumah ini."

Senja masih enggan berbicara. Ia mengalihkan pandangannya. Langit membawa Senja ke dalam pelukannya. Kehangatan kembali menguasai hati Senja. Sejak dulu, Langit memiliki pelukan yang menghangatkan seperti Utari.

"Kalau Senja masih ragu, Papa bakalan selesain kerjaan Papa secepat mungkin biar selepas kamu lulus, kita bisa balik ke Bandung." ujar Langit.

"Sampai kelulusan, Senja. Setelah itu kamu pilih universitas di Bandung dan kita tinggal bareng lagi di rumah ini." sambung Langit, "Harusnya Biru yang paling sedih karena sendiri di Bandung lho."

Senja mendengus, "Malah seneng dia bisa kelayapan."

Langit terkekeh. Ia melepaskan pelukannya lalu mengecup kening Senja cukup lama.

"Papa jamin, dia nggak berani macem-macem."

Senja menyengir.

"Senja juga jamin sih. Terakhir kali kalian baku hantam, akhirnya Bunda ngunciin kalian di gudang. Ewh.."

Langit meringis. Ia ingat itu. Sejak dulu, Utari memang paling tidak suka kekerasan. Apalagi kalau dirinya sudah main tangan pada anak sulungnya. Sudah dibilang, Langit sejak dulu sudah terbiasa kasar. Utari sedikit banyak mengubah hidupnya.

"Oke, minggu depan. Senja mau tidur. Selamat malam, Papa." kata Senja akhirnya lalu mencium pipi Langit.

Langit menarik selimut sampai ke dagu anak bungsunya. Setelah mencium kening Senja lagi, Langit menyalakan lampu tidur dan menutup pintu kamar Senja.

"Astaga!"

Utari menyengir, "Kamu kayak liat setan aja, Mas."

Langit mendelik. Mirip setan emang. Untung cinta.

"Ya kamu ngapain di depan sini? Mana maskeran! Kaget aku, Bun." kesal Langit. Utari hanya menyengir sambil memeluk lengan Langit.

"Senja gimana?"

"Mau kok,"

Keduanya beriringan menuruni anak tangga. Langit tiba-tiba berhenti, menatap mata Utari dalam. Utari yang ditatap seperti itu pun salah tingkah. Hei! Jangan salahkan dirinya. Langit sejak dulu sangat mempesona!

"Bun, tamu bulanan kamu udah pergi kan?"

Utari mengangguk, "Udah. Sebelum makan malam tadi aku mandi kan."

Langit menyeringai. Utaru bingung, kenapa dengan suaminya ini? Namun kemudian dia sadar. Utari berdehem, ia menjauhkan tubuh Langit dan berniat kabur.

Sayang sekali, Langit lebih gesit dan menggendong istrinya ala bridal. Utari hanya pasrah, habislah ia malam ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku