/0/13428/coverorgin.jpg?v=f5f1ee039192fbc2be110670d4476ba9&imageMogr2/format/webp)
Namaku Maya.
Aku bukan siapa-siapa di kampus ini. Hanya mahasiswi biasa dengan dunia kecil yang kutempati bersama buku, catatan, dan kopi sachet yang kuminum di sudut perpustakaan. Aku tak pandai bersosialisasi, tak menonjol, dan lebih nyaman memerhatikan dunia dari kejauhan.
Lalu ada Dimas.
Namanya saja sudah sering terdengar di aula, di kantin, di mading organisasi. Dia seperti magnet yang menarik perhatian semua orang. Tampan, cerdas, dan selalu tahu cara membuat orang tertawa. Dimas bukan hanya populer, dia juga seolah tak memiliki celah. Mahasiswa teladan, pemain basket kampus, dan entah bagaimana, selalu tampak ramah pada siapa saja.
Termasuk aku.
Kadang dia menyapaku saat kami berpapasan di lorong. "Hai, Maya."
Itu saja cukup untuk membuat detak jantungku melompat tak karuan.
Tapi aku tahu, dunia kami terlalu berbeda.
Dia cahaya terang. Aku hanya bayang-bayang yang bersembunyi di balik rak buku perpustakaan.
Tak banyak yang tahu bahwa diam-diam, aku mencintainya. Cinta yang tak pernah berani kutunjukkan. Tak pernah kuucap. Aku hanya mengaguminya dari jauh-saat dia tertawa dengan teman-temannya, saat dia berdiri di depan kelas memberi presentasi, atau saat dia menunduk membaca buku di taman kampus.
Kadang aku menulis namanya di pojok catatan, seolah itu bisa membuatnya nyata dalam hidupku. Tapi kenyataannya, aku bukan siapa-siapa baginya. Bukan seperti gadis-gadis yang terang-terangan menggoda dan menarik perhatiannya.
Aku hanya Maya. Gadis pendiam yang duduk di bangku paling belakang.
Namun hari itu berbeda.
Saat aku duduk sendirian di perpustakaan, tenggelam dalam buku, seseorang menarik kursi di depanku.
Dimas.
"Perpustakaan selalu sepi ya kalau udah sore," katanya, menatapku dengan senyum hangat.
Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.
"Aku sering lihat kamu di sini," lanjutnya. "Kamu suka baca, ya?"
Aku mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum. Dalam hati aku bertanya, apakah mungkin... dia memperhatikanku?
Dia tak mengatakan hal lebih lanjut, hanya membaca bukunya dalam diam bersamaku. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti dunia berhenti berputar sejenak. Mungkin dia tak akan pernah tahu perasaanku. Mungkin aku tak akan pernah cukup berani mengatakannya.
Tapi hari itu, duduk di hadapannya, untuk pertama kalinya aku merasa cukup.
Diam-diam mencintai tak selalu menyakitkan. Kadang, ia hanya butuh sedikit ruang untuk tumbuh walau hanya dalam diam.
***
Sejak hari itu, Dimas beberapa kali duduk bersamaku di perpustakaan. Awalnya aku pikir itu kebetulan, tapi semakin lama... rasanya terlalu sering untuk disebut kebetulan.
"Aku suka suasana tenang," katanya suatu sore, sambil membuka laptopnya di meja tempat aku biasa duduk. "Dan kamu, Maya... kamu tenang. Kayak tempat ini."
Aku menunduk, pura-pura membaca ulang baris yang sama di buku, padahal otakku berhenti bekerja.
Aku? Tenang?
Mungkin dia tidak tahu, bahwa dalam diriku sedang terjadi badai yang sulit kupadamkan. Kehadirannya saja sudah cukup membuatku gugup, apalagi ketika ia mulai membuka percakapan kecil.
"Kamu jurusan Sastra, ya?" tanyanya sekali waktu.
Aku mengangguk. "Iya..."
Dia tersenyum. "Aku sering lihat kamu baca novel. Rekomendasi dong, yang bisa bikin mikir tapi juga bikin baper."
Aku mengerjapkan mata, kaget karena dia begitu tertarik.
Akhirnya aku memberanikan diri merekomendasikan satu judul. Novel kesukaanku. Novel yang diam-diam pernah kubayangkan aku dan dia jadi tokohnya.
Dan sejak saat itu, dia mulai meminjam buku dari daftar yang kuberi. Kadang dia datang hanya untuk bertanya, kadang untuk diskusi kecil, kadang... hanya untuk duduk bersamaku dalam diam.
Satu-satunya yang tetap sama adalah aku. Tetap diam.
/0/24383/coverorgin.jpg?v=72ed771d7958beee676123b9e7ed4c83&imageMogr2/format/webp)
/0/17367/coverorgin.jpg?v=909647909d0e9d97dbec4136afd21463&imageMogr2/format/webp)
/0/5943/coverorgin.jpg?v=cb4b3b035738dc657ce33a839eaecb5e&imageMogr2/format/webp)
/0/5542/coverorgin.jpg?v=ed0a72fb1c2d57d54b144f64e261b8ce&imageMogr2/format/webp)
/0/28636/coverorgin.jpg?v=20251106165850&imageMogr2/format/webp)
/0/19193/coverorgin.jpg?v=f986943f535d9fe51207305383c8fc18&imageMogr2/format/webp)
/0/5790/coverorgin.jpg?v=9af903677fa8001e4c6d90e49bf62d0a&imageMogr2/format/webp)
/0/2578/coverorgin.jpg?v=ad31ffd413ad0812791fe8faddb2fba3&imageMogr2/format/webp)
/0/4708/coverorgin.jpg?v=219e2c0e9c5e3ce4008f3fc909e31b5d&imageMogr2/format/webp)
/0/12383/coverorgin.jpg?v=13a484c9a1f813a631c3a02ead7dde9f&imageMogr2/format/webp)
/0/3932/coverorgin.jpg?v=0e554cf90326848b7e7e02c72af4a172&imageMogr2/format/webp)
/0/14584/coverorgin.jpg?v=6eeb2d406232dd96c34b8a35bdd3238c&imageMogr2/format/webp)
/0/17548/coverorgin.jpg?v=1f20db3dfe241d84765d04acdb43e1b1&imageMogr2/format/webp)
/0/9741/coverorgin.jpg?v=20250122182521&imageMogr2/format/webp)
/0/28849/coverorgin.jpg?v=2f2595ff56f34333fcc897e32861b070&imageMogr2/format/webp)
/0/17549/coverorgin.jpg?v=20240401115210&imageMogr2/format/webp)
/0/12798/coverorgin.jpg?v=c40b06dd7737737029f1cda83d82fde5&imageMogr2/format/webp)
/0/13521/coverorgin.jpg?v=51151972fc58e27d14376c79704397b0&imageMogr2/format/webp)