Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gita Sukma : Lagu Dari Jiwa

Gita Sukma : Lagu Dari Jiwa

oceanisa

5.0
Komentar
29
Penayangan
34
Bab

❝ I fall in love with the way you touch me with your music. ❞ Sebuah lagu misterius mengusik algoritma kehidupan Narendra Wilaga. Ada daya magis yang memaksanya untuk menemukan si penggubah nada, gadis bagian dari masa lalunya, Oceana Bluesha. Tak disangka, pertemuannya dengan penggubah nada adalah pembuka simpul takdir semesta, kesalahpahaman masa lalu, nasib masa depan, dan petulangan yang bersentuhan dengan barang gaib.

Bab 1 1 | Tarot Reader

TAHUNAN menjomblo kuat, giliran mengantri nasi goreng lima belas menit saja, Oceana sudah muntab.

Gadis dengan surai karamel itu berkali-kali berdecak sembari menilik arloji tuanya. Menit-menit berharga yang seharusnya bisa ia habiskan untuk menonton Run BTS justru dibuang untuk mengantri nasi goreng yang selalu lewat depan kost kakak sepupunya yang lambe turah --Jisha Kalila.

Baru tiba di Surabaya sejam lalu, Oceana kelaparan. Jisha tak menyediakan makanan lain di kost kecuali Indomie ayam geprek. Oceana pecinta Indomie garis keras tapi sudah seminggu ini ia makan makanan instan kaya monosodium glutamat alias micin itu. Oceana tak menyebut ini bosan karena haram hukumnya menaruh kata bosan dan Indomie dalam satu kalimat. Ia hanya butuh menu lain malam ini, besok pagi barulah makan Indomie lagi.

"Pak, nasi goreng pesenan saya pedes banget ya!" ingat Oceana pada bapak penjual nasi goreng yang tengah memberikan pesanan pada antrian depannya, pemuda seusianya yang sepertinya baru pulang kerja.

Bapak penjual tak menyahut ucapan Oceana, tapi ia membuka tempat bumbu yang disinyalir gadis itu sebagai wadah cabai. "Waduh Mbak, *lombok-nya habis."

*cabai

Oceana ingin memaki sekarang.

"Ya gak enak dong kalo gak ada cabenya, Pak."

Bapak penjual menggaruk kepala, "Tak beli dulu nak warung *cedak tikungan iku ya, Mbak."

*dekat

Otaknya menimbang, daripada makan nasi goreng tanpa cabai sepertinya menunggu beberapa menit lagi tak apa. Oceana lantas mengangguk, "Yaudah deh, tapi jangan lama-lama ya, Pak!"

"Siap Mbak, tak lari-lari kayak Naruto," ucap si bapak sembari mengambil beberapa uang pecahan ribuan di kotak penyimpanan uang dan bergegas membeli cabai.

Oceana menghela napas, gadis itu memasang airpods-nya sembari mengedar pandang, meneliti setiap jengkal lingkungan indekost kakak sepupunya.

Aneh.

Biasanya suasana di daerah sini masih ramai dengan aneka kegiatan masyarakat hingga tengah malam.

Ia melihat arlojinya lagi.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Masih satu jam setengah lagi tapi daerah sini telah sunyi. Gadis itu menatap langit malam, cahaya lampu jalanan membuat bias kuning oranye menyelimuti gelap cakrawala.

Temaram.

Membuat bulu kuduk gadis itu meremang sejemang.

"Anjir, lama banget sih beli cabenya. Apa gue cabut aja ya?" monolognya seperti pasien rumah sakit jiwa.

Netranya lantas menyisir area pertokoan di sebelah utara, semua toko tutup. Gelap gulita, kecuali sebuah toko di pojokan yang memancarkan cahaya lampu bohlam kuning.

Plang kayu dengan lampu tumblr terpasang, menggantung di atas jendela. Plang itu bertuliskan nama toko:

S O U L - R I V E R

"Sejak kapan ada toko barang antik?" Oceana melepas airpods-nya, "Seinget gue empat bulan lalu gak ada toko beginian."

Empat bulan yang lalu ia mengunjungi Surabaya, kota kelahirannya. Gadis itu menetap di Jakarta, tapi ia sering mengunjungi tempat yang mendapat julukan kota pahlawan ini untuk melepas penat atau sekedar ingin kabur dari rutinitas ibu kota.

Gadis itu menimbang sejenak sembari menggigit bibirnya. Menunggu itu membosankan. Dari pada gabut, ia pun melangkahkan tungkainya menuju toko itu.

Kaki rampingnya melangkah pelan seiring dengan hembusan angin malam yang menerbangkan sebagian rambutnya, peristiwa alam yang jarang sekali terjadi di kota besar padat penduduk seperti Surabaya. Angin itu membawa aura yang tak dapat Oceana jelaskan. Aura seperti yang kerap kali ia rasakan kala mata batinnya masih terbuka, bertahun-tahun silam saat ia menginjak remaja.

Dari toko, sayup-sayup lagu Danilla Riyadi menyahut. Gadis itu mengintip lewat jendela, nampak sosok tampan dengan tengah bersenandung mengikuti lagu "Kalapuna". Di tangannya terdapat setumpuk kartu yang tengah ia kocok.

Pintu dengan ornamen kaca dan kelambu tembus pandang milik toko terpasang tanda 'buka', Oceana pun membuka daun pintu dan masuk.

Senyum terkembang lengkap dengan dua deret gigi kelinci milik pemuda tampan itu menyambut dirinya, "Pelanggan terakhir kami hari ini, selamat datang!" serunya dari balik meja kasir.

Oceana hanya tersenyum tipis lantas menilisik seisi ruangan. Ada barang unik di sana, mulai dari buku-buku kuno dengan kertas usang kecoklatan, mainan anak tahun '90, piringan hitam musik lengkap dengan printilan alat tulis dengan model klasik namun estetik.

Sebuah piano hitam di sudut ruangan menarik perhatian gadis itu. Oceana duduk dan mulai menjentikan jemarinya di tuts hitam putih, mencipta nada indah di udara.

Satu-satunya lagu yang ia ciptakan di tahun ke dua SMA.

"Maaf, tapi Anda tidak boleh memainkan piano ini," tegur si pemilik gigi kelinci. "Ini barang istimewa toko yang tak ternilai harganya," tambahnya, kilat biru safir menyala di netranya.

Oceana tersentak menatap obsidian si gigi kelinci, tapi entah bagaimana ia tak bisa menanyakan keanehan barusan. Lidahnya kelu saat hendak bersuara.

"Sebagai gantinya, mari Anda coba kartu tarot di meja," tawar Gigi Kelinci sembari menunjuk mejanya tadi. Tak bisa ditolak, Oceana mengekori pemuda itu ke meja kayu.

"Sudah pernah diramal dengan tarot, Oceana?"

Oceana mengernyit, "Kok tau nama gue?"

"Magic, sihir bisa menuntaskan masalah," ucapnya lantas tertawa kecil.

Oceana ngeri, ia curiga dengan si gigi kelinci ini. Apakah ia sejenis dengan, Harry Potter, Roy Kiyoshi atau mama Lauren?

"Your phone case, young lady, ada nama Anda di sana," tunjuk Gigi Kelinci pada ponsel dalam genggaman Oceana dengan dagunya. "Oceana Bluesha, nama yang cantik."

Fiuuhhh.

Oceana bernapas lega, ia kira jika Gigi Kelinci ini anak indigo. Gadis itu sudah jera berhubungan dengan dunia ghaib dan seisinya, cukup masa remajanya saja. Oceana sudah tenang sekarang, tak ingin berurusan dengan makhluk tak kasat mata lagi.

"Tarot card is," ucap si gigi kelinci dengan senyum misterius memikat, "beautiful and mystical experience that can help you better understand your unique journey through the spiritual, emotional, and physical world. It gives you a glimpse within, offering you a mirror into your own soul."

Oceana tak bergeming, tentang hal itu tentu ia tahu. Kartu tarot memang terkadang sering digunakan sebagai alat untuk melihat kedalaman jiwa, segala hal yang berhubungan dengan prediksi nasib, masa lalu, masa kini, atau bahkan masa depan.

"Ceritakan pada saya alasannya."

"Hah?"

Giigi Kelinci berhenti mengocok kartunya sejenak, lantas tersenyum dan melanjutkan lagi "Apa yang membawa Anda kemari?" tanyanya. "Saya tau ada sesuatu yang mengusik Anda."

Oceana mengerjap, otaknya memproses ucapan si gigi kelinci barusan. Benar, ia memamg sedang lari dari perasaan itu. Kekosongan yang selama berbulan-bulan terakhir menggerogoti semangatnya, mengacaukan banyak ritme kehidupannya.

"Kosong," tebak Gigi Kelinci tepat. Ia lantas menyiapkan deck tarotnya, menebar kartu yang ia kocok sedari tadi hingga berjejer rapat rapi. "Mari kita pahami kekosongamu."

Oceana menelan salivanya ada gelenyar cemas dalam dadanya.

Giigi kelinci menjentikkan jari telunjuknya di meja membuat ketukan beritme yang menambah aura mistis yang semakin terasa sekarang. "Kita mulai dari Major Arcana, resapi kekosongamu lantas pilih tiga kartu yang menarik hatimu!" titahnya.

Oceana menutup netranya, menyelami segala perasaan hampa yang ia rasakan akhir-akhir ini. Degub jantungnya berpacu cepat, keringat dingin menetes di dahi dan punggungnya. Kedua tangannya mengepal. Kehampaan dan kosong itu terasa.

"Apa ada seseorang yang hadir di benakmu, Oceana?"

Oceana tak menjawab karena ia kini sedang fokus dengan bayangan lelaki dengan senyuman sehangat mentari pagi yang pernah ia simpan namanya di hati.

Senyum sebening embun pagi yang tak pernah ia miliki.

Senyum secerah rembulan malam yang hanya bisa ia pandang dari kejauhan.

Kosong itu berganti sesak kala memori dan bayang si pemilik senyum itu menyeruak dalam benak. Memanggil segala memori masa putih abu-abu yang tersimpan rapat dalam alam bawah sadar.

Air mata mengalir perlahan seiring Oceana membuka mata.

"Jangan menangis!" ujar Gigii Kelinci sembari menyodorkan tissue yang ada di meja, "sudah siap mengambil kartu?"

Oceana mengangguk, ia menghapus air matanya dengan tissue. Beberapa jenak setelahnya, tangan gadis itu terulur memilih tiga kartu yang menarik hatinya.

"Mari kita buka kartu pertama, simbol masa lalu." tukas gigi kelinci membuka kartu pilihan pertama Sean. "The Death." Ia menyodorkan kartu itu pada Oceana.

"Akhir, mengulang kembali, berubah, rugi, keniscayaan, transisi."

Oceana sedikit gusar, the death 'kan kematian.

"Dua arti Oceana, di masa lalu Anda telah melepas diri, akhir dari sebuah era. Arti kebalikannya menghadapi rasa takut akan ketetapan."

"Ah, gue emang pernah lepas dari masa kelam gue, but now, I'm totally fine."

"Glad to know that, Oceana!" Gigi kelinci lantas membuka kartu kedua. "The Strength." Gigi Kelinci menyodorkan kartu itu pada Oceana.

"Kekuatan batin, kebijaksanaan, keberanian, keyakinan, kemauan dan ketabahan."

"Gue gak merasakan itu semua."

Gigi kelinci merotasikan matanya, "Let me explaine, first, Oceana." Ia bersidekap, "The Strength adalah bukti bahwa Anda kuat sebenarnya. Semua ujian yang sedang Anda rasakan justru menjadi jalan pembuka untuk menemukan diri sendiri, mengatasi tantangan hidup yang menjatuhkan."

"Sumpah, gue gak ngerti."

"Saya kira manusia sekarang sudah pintar," gerutu Gigi Kelinci. "Pikir ulang jika Anda tidak mengalami kekosongan itu, Anda tidak akan menemukan tempat ini sekarang."

Oceana mengernyit, kok ngegas?

"Kita menuju kartu terakhir," kata Gigi Kelinci sembari membuka kartu, senyum dingin menyerupai seringai muncul lagi. "The Fool."

"Kesucian, awal, kemurnian, kebebasan, potensi, semangat, resiko."

"Kebodohan, maksudnya?"

Seringai terbit di wajah rupawan Gigi Kelinci "Kebodohan bukan kebodohan. Kau akan memulai hubungan baru Oceana. Awal baru dengan seseorang."

"Hubungan apa nih, kalo cuma FWB ya *kecut lur!" kata Oceana. "Siapa juga yang mau berhubungan sama gue?"

*Kiasan : gak asik

"Ada Oceana, mungkin sosok melintas di benakmu tadi."

Oceana membeku.

Apakah benar ia?

Si pemilik senyum sehangat mentari?

"Gak ... mungkin." Oceana terbata-bata.

"Semua mungkin jika Tuhan menghendaki."

"Apa mungkin gue ketemu dia lagi?" desisnya

"Apa bisa gue ketemu Kak Narendra Wilaga?"

🌊🌊🌊

Mau dikata apalagi?

Wilaga si keyboardist Echo Sound terjebak hal klise yang dialami pekerja seni.

Kehabisan ide -jawaban konyol yang sontak membuat Mister Park atasannya murka.

Ia sadar penuh jika lirik buatannya mainstream. Lirik gubahannya ampas, seperti puisi buatan anak taman kanak-kanak. Tak ada sesuatu yang mampu membuat hati teriris pun bergemuruh. Tak ada yang membangkitkan getar dalam dada atau ratusan kupu-kupu menggelitiki perut. Liriknya tak bernyawa dan tak menyentuh sama sekali. Hanya deret kalimat biasa, ibarat kata hanya raga tanpa jiwa.

Wilaga tak tahu bagaimana membuat lirik yang menyentuh hati.

"Cuk, gini terus gue beneran dipecat Mister Park!" umpatnya seraya mengangkat badan dan terduduk.

Ia memasang kasar tudung hoodie hitamnya lantas meraih gawai mahal yang sedari tadi tergeletak di sisi kanannya.

Wilaga butuh itu sekarang.

Racun sekaligus obat segala rasa kosongnya.

Pereda sejenak kebuntuan yang ia rasakan sekaligus yang mengacaukan algoritma hidupnya.

Penyebab dirinya menemukan gersang ide dan hilang imajinasi.

Lagu dan musik sialan.

Melodi yang menggali rasa hampa dan kerinduan yang seakan tak menemui kata sirna.

Wilaga buru-buru memutar musik yang ia unduh dari aplikasi Soundcloud beberapa bulan lalu. Lagu yang mengirim kutukan sekaligus anugrah pada dirinya.

Musik itu mengalun, sayup-sayup meraba indera rungu lewat udara.

Wilaga memejamkan kedua obsidiannya. Meresapi makna yang tertuang dalam melodi dan nada. Perlahan sesak dan rindu merasuki jiwanya.

I'm blinded by the night you left behind

Found myself in everything you are

Maybe some time later I'll be fine

But I'll let you go some other night

I'm blinded by your night

If only I knew how to let this go

If only I didn't know you at all

I wish I never have sung this song

But I'll let you go some other night

You have me in dark and you stole my night

I wish for the day to never light

Entah, ada sakit dan rindu yang membawa candu di lagu itu.

Sejatinya, pemuda itu menyukai lagu emosional dengan melodi menyedihkan. Namun tak pernah ia menjadi tak berdaya dan kehilangan arah jika lagu telah usai.

Ia menangis menyanyikan lagu dengan lirik yang mengiris, namun tak pernah semua itu ikut terbawa seusai menyanyikannya.

Ada ruang kosong di hatinya yang mendadak terbuka saat mendengar nada-nada barusan.

Menuntut seseorang segera mengisi dan hidup di dalamnya.

Bodohnya, Wilaga tak tahu siapa.

Perlahan tangannya terayun meraba pipinya yang basah dengan air mata.

Ia tersenyum miris memandang ke luar jendela yang menampakan panorama malam.

Ada yang menghancurkan sudut hatinya acap kali lagu itu terdengar. Namun, keindahan dalam sakit itu menjadi sesuatu yang selalu ingin ia nikmati.

Magis benar lagu ini.

Tanpa judul, tanpa nama penyanyi atau penggubahnya.

Membuat Wilaga merasa tak berdaya menulis lirik dan nada. Ia yakin tak akan bisa menyaingi lagu seindah ini.

Ia merasa kerdil, lagunya hanyalah remahan dibandingkan lagu yang ia dengar.

Wilaga kagum sekaligus insecure.

Tiba-tiba sakit itu kembali.

Napasnya tersengal.

Leher Wilaga serasa tercekik.

"Sebenernya gue kenapa?" desisnya kesakitan.

[]

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku