/0/15338/coverorgin.jpg?v=9578c57538e9e84fc22a65836f29ed9c&imageMogr2/format/webp)
Langit Jakarta pagi itu berwarna kelabu, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Aurora Elenna.
Langkah kakinya terdengar mantap di lantai marmer lobi Dirgantara Group, gedung 62 lantai yang menjulang gagah di tengah hiruk pikuk ibu kota.
Enam tahun.
Enam tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini-bukan sebagai karyawan, tapi sebagai kekasih yang ditinggalkan tanpa penjelasan.
Kini, ia kembali.
Bukan untuk meminta penjelasan.
Bukan pula untuk menuntut balas.
Tapi untuk menuntaskan permainan yang dulu dimulai tanpa izin darinya.
"Selamat pagi, Bu..." sapa resepsionis dengan senyum profesional. "Nama dan divisi tujuan?"
Aurora membalas dengan senyum sopan. Rambutnya kini hitam gelap, bukan cokelat karamel seperti dulu. Wajahnya yang dulu manis kini memancarkan ketenangan dingin.
"Elenna Arista," jawabnya pelan, menyebut nama samarannya. "Divisi Eksekutif, Sekretaris CEO."
Senyum si resepsionis menegang sedikit, jelas kaget. "Sekretaris CEO? Wah... selamat datang, Bu Elenna. Silakan langsung ke lantai 58, ruang tunggu eksekutif. Asisten pribadi Pak Kaelan sudah menunggu."
Aurora mengangguk dan melangkah ke lift.
Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Nama itu-Kaelan Dirgantara-masih punya daya aneh untuk mengguncang hatinya, meski ia sudah bersumpah tak akan goyah lagi.
Saat pintu lift tertutup, pantulan wajahnya di dinding logam terlihat sempurna: tegas, terlatih, tak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Ia menatap bayangan itu lama.
"Tenang," bisiknya pada diri sendiri. "Kau bukan Aurora yang dulu. Sekarang kau yang memegang kendali."
Lantai 58 menyambutnya dengan aroma kopi mahal dan parfum maskulin.
Langit-langit tinggi, kaca besar membingkai pemandangan Jakarta, dan suasana hening khas ruang eksekutif-semuanya membuatnya sedikit mual. Tempat ini tak banyak berubah.
Yang berubah hanyalah dirinya.
"Selamat pagi, Bu Elenna." Seorang pria muda dengan jas hitam menghampiri, senyumnya ramah tapi kaku. "Saya Daryl, asisten pribadi Pak Kaelan. Beliau sedang rapat dengan dewan direksi. Tapi beliau meminta saya memastikan Ibu merasa nyaman sebelum wawancara singkat nanti."
Aurora mengangguk. "Terima kasih, Daryl. Saya tidak keberatan menunggu."
Daryl menawarkan secangkir kopi, lalu pamit sejenak.
Begitu ia pergi, Aurora menarik napas panjang dan memejamkan mata.
Ia tahu betul, Kaelan bukan pria yang mudah percaya pada siapa pun-terutama wanita. Apalagi setelah pengkhianatan masa lalu yang, di matanya, dilakukan oleh Aurora sendiri.
Senyum tipis terlukis di bibirnya.
Ia masih ingat bagaimana enam tahun lalu, tuduhan itu menghancurkannya-dan bagaimana ia pergi membawa rahasia yang bahkan Kaelan tak sempat mengetahuinya: ia mengandung anaknya.
Ravi.
Putra kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia masih berdiri.
Pintu ruang rapat terbuka.
Langkah-langkah berat terdengar keluar. Suara sepatu pantofel, percakapan singkat, lalu keheningan lagi.
Aurora menegakkan punggung. Ia tahu siapa yang akan keluar terakhir.
Dan benar-beberapa detik kemudian, Kaelan Dirgantara muncul di ambang pintu.
Waktu tampaknya memperlakukannya dengan istimewa. Tubuh tegap itu kini semakin berisi, wajahnya lebih tajam, rahang tegasnya tampak lebih kokoh dari dulu. Jas hitamnya pas di tubuh, kemeja putihnya licin tanpa cela. Tapi yang paling membuat Aurora tersentak adalah tatapan itu-tatapan dingin penuh kuasa yang dulu pernah ia kenal dari jarak yang terlalu dekat.
Kaelan meliriknya sekilas, lalu berhenti.
Tatapan mereka bertemu.
Dalam sepersekian detik, waktu seperti berhenti.
Aurora menahan napas, tapi wajahnya tetap datar. Ia memastikan tak ada satu pun ekspresi yang bocor.
Kaelan menatap lebih lama. Alisnya sedikit berkerut.
"Mengapa wajahmu terasa familiar..." gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Aurora segera berdiri dan menunduk sopan. "Selamat pagi, Pak Dirgantara. Saya Elenna Arista, sekretaris baru Anda."
Nama samaran itu menembus udara di antara mereka seperti tameng.
Kaelan mengangguk tipis, ekspresinya datar lagi. "Elenna Arista. Baik. Ikuti saya."
Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan masuk ke ruangannya.
Aurora menahan diri agar tak menatap punggung pria itu terlalu lama.
Dunia memang punya selera humor aneh-menempatkannya kembali di bawah kendali pria yang dulu menghancurkan hatinya.
Ruang kerja Kaelan besar, minimalis, dan dingin.
Dinding kaca menampakkan seluruh cakrawala Jakarta. Di sisi lain, meja kerja besar dari kayu hitam menguasai ruangan, dengan tumpukan dokumen rapi dan monitor besar.
"Duduk," ucap Kaelan tanpa menatapnya.
Aurora duduk dengan tenang. Tangannya diletakkan di pangkuan, sementara tatapannya diam-diam mempelajari pria di depannya.
"Daryl mengatakan Anda direkomendasikan langsung oleh HR pusat di London?" Kaelan membuka map, membaca data. "Rekam jejak Anda bagus. Efisien, terorganisir, multibahasa, dan... tidak banyak bicara. Saya suka itu."
Aurora menahan diri untuk tidak tersenyum.
Ia tahu data yang ia susun sempurna-identitas palsu dengan latar pendidikan fiktif di Inggris, semua tersamarkan rapi di bawah nama Elenna Arista.
"Saya hanya ingin bekerja sebaik mungkin, Pak," ucapnya datar.
Kaelan menatapnya sekilas, tatapan matanya menelisik seperti hendak menembus dinding samaran itu. "Bagus. Karena bekerja untuk saya bukan hal mudah. Saya tidak suka kesalahan, apalagi alasan."
"Saya mengerti."
"Dan satu hal lagi," lanjut Kaelan, suaranya turun satu oktaf. "Saya tidak mencampur urusan pribadi dengan profesional. Jadi, jangan mencoba menarik perhatian dengan cara apa pun. Saya sudah terlalu sering menghadapi sekretaris yang-berambisi lebih."
Nada itu tajam, bahkan sedikit sinis.
Aurora menatapnya tenang, meski dalam hati ada getaran aneh.
"Tidak perlu khawatir, Pak. Saya tidak tertarik pada apa pun selain pekerjaan."
Untuk sesaat, Kaelan menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya-ragu, penasaran, tapi juga terpesona samar.
Namun detik berikutnya, ia sudah kembali ke mode dingin khasnya.
"Baik. Anda bisa mulai hari ini. Daryl akan memberi daftar tugas. Dan tolong, jangan sampai saya menyesal merekrut Anda."
"Baik, Pak Dirgantara."
Kaelan menatapnya sekali lagi sebelum berjalan ke arah jendela. "Anda boleh pergi."
Aurora berdiri, lalu berjalan pelan ke pintu.
Tepat sebelum keluar, Kaelan berkata tanpa menoleh, "Elenna."
Aurora berhenti. "Ya, Pak?"
"Saya tidak tahu kenapa," Kaelan menatap pantulan dirinya di kaca, "tapi suara Anda... mengingatkan saya pada seseorang."
Aurora menahan napas, tapi suaranya tetap tenang. "Mungkin hanya kebetulan, Pak."
Kaelan menoleh perlahan, menatapnya lurus.
"Kebetulan jarang terjadi di dunia saya, Nona Arista."
/0/28864/coverorgin.jpg?v=ea2dee007ad4e0ae33ded56bdb1cfb1d&imageMogr2/format/webp)
/0/29395/coverorgin.jpg?v=dcfb7aaab60b671da9ef4d6eecb60e1f&imageMogr2/format/webp)
/0/24606/coverorgin.jpg?v=994e4596e20ab94cb8758451e031c0e5&imageMogr2/format/webp)
/0/5784/coverorgin.jpg?v=a20ebc9444f170047b3978209633f377&imageMogr2/format/webp)
/0/15266/coverorgin.jpg?v=a570653ca3a563e8ad01e9ab7b30b776&imageMogr2/format/webp)
/0/17339/coverorgin.jpg?v=4775793b536d9cf0cf7aabce74fa9b9a&imageMogr2/format/webp)
/0/2937/coverorgin.jpg?v=9dc443fd9e7180fe77a94c7c5124e558&imageMogr2/format/webp)
/0/2169/coverorgin.jpg?v=bc86ddb37015704947772ba8b283348d&imageMogr2/format/webp)
/0/10417/coverorgin.jpg?v=8155f48e04c97d07c0dc0f90cdce099a&imageMogr2/format/webp)
/0/23737/coverorgin.jpg?v=598e30d8e758d849123fa70fb1ffdd77&imageMogr2/format/webp)
/0/23823/coverorgin.jpg?v=cf6334aedc73a00bf42177cc58610778&imageMogr2/format/webp)
/0/2688/coverorgin.jpg?v=1ab12dca281f711783f15f8596fab2fb&imageMogr2/format/webp)
/0/25861/coverorgin.jpg?v=f80359e424c84652be19698828189ab3&imageMogr2/format/webp)
/0/2293/coverorgin.jpg?v=3aba0b5652bff0bfcf4c0a9f5ed90165&imageMogr2/format/webp)
/0/23514/coverorgin.jpg?v=a9b1bb7c6b3467e7f12291528ae7be07&imageMogr2/format/webp)
/0/18405/coverorgin.jpg?v=eba93979e9cd1f3b9657cb9be96177fa&imageMogr2/format/webp)
/0/19430/coverorgin.jpg?v=3bb9ee9327cc3ca3fceda12011ae3123&imageMogr2/format/webp)
/0/5427/coverorgin.jpg?v=5c98c390153178972cc76f6842603e36&imageMogr2/format/webp)