/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
"Bu, sudah kabar tentang Bu Dedeh belum?"
Pagi-pagi suara Bu Niar terdengar dari kejauhan. Nuning yang sedang mencuci piring di dapur langsung menyiapkan diri mendengar gosip hari ini.
"Belum, Bu ada kabar apa?"
"Memang bu Dedeh kenapa, Bu?"
Ibu-ibu mulai mengerumuni Bu Niar.
Dari dapur Nuning terlihat Bu Niar berkacak pinggang merasa menang bisa menarik perhatian para ibu di komplek ini.
"Bu Dedeh ternyata mau pergi ke Madura," kata Bu Niar dengan nada dramatis, berhenti sejenak untuk menunggu reaksi ibu-ibu yang mengelilinginya.
"Dia mau menikah lagi," kata Bu Niar dengan nada yang lebih dramatis lagi, seperti mendesis setengah berbisik.
Kali ini berhasil, ibu-ibu menanggapi dengan teriakan tak percaya dan teriakan haaa, hooo, masak sih, dan sejenisnya. Nuning sudah terlalu sering melihat hal seperti itu.
"Lo, bukannya Bu Dedeh masih punya suami?"
"Eh, tapi suaminya kan ada di RSJ, ya?"
"Hush.. jangan keras-keras nanti keluarganya ada yang dengar."
Dan Bu Niar berhasil lagi membuat gosip pagi ini berkembang dengan hangat bahkan berubah menjadi sangat panas.
Nuning berusaha tidak mendengar dari balik tembok rumahku. Tapi mau gimana lagi, tembok rumahku tipis dan suara ibu-ibu begitu keras. Akhirnya Nuning memahami gosip pagi ini. Tentang Bu Dedeh.
**
"Jeng Nuning, Assalamualaikum, Jeng di rumahkah?"
Suara itu memecah keheningan pagi Nuning. Nuning bergegas melipat mukena.
"Ada, Bu. Sebentar," jawab Nuning sambil memakai jilbab dan keluar kamar.
"Eh, ini dia yang punya rumah," kata Bu Niar yang sudah masuk melalui pintu dapur.
"Baru apa, Jeng?"
"Baru sholat, Bu."
Bu Niar melongo.
"Sholat sesiang ini. Sudah jam sembilan lo ini, masak baru sholat subuh?" tanya Bu Niar setengah berteriak, pura-pura bertanya sambil mengejek. Nuning menghela nafas panjang.
"Maaf, saya baru sholat Dhuha," jawab Nuning setengah hati. Bu Niar tersenyum mencibir.
"Oh, sholat Dhuha biar banyak rejekinya, ya. Maklum belum kaya," katanya berbisik. Nuning pura-pura tidak dengar saja.
"Ada apa Bu Niar?" Tanya Nuning setelah menyilahkan Bu Niar duduk di ruang tengah.
"Gini, ya, Jeng. Sebelumnya minta maaf, lho kalau menyinggung, ya, Jeng. Ini anakku yang di Surabaya kemarin berobat ke sensei di Surabaya, eh, alhamdulillah sekarang sudah hamil," katanya, sepertinya memang dibuat berhenti di tengah, menggantung, dramatis sekali.
Nuning memaksakan sebuah senyum.
"Alhamdulillah kalau sudah hamil, ya bu, putrinya. Semoga sehat selalu sampai melahirkan," jawab Nuning. Bu Niar tersenyum lebar.
"Makasih, Jeng. Siapa tahu Jeng Nuning mau berobat ke sana juga. Cuma dua kali bisa langsung hamil, lo Jeng. Nggak mahal, kok. Gimana, menarik, kan?" Kata Bu Niar sambil memandang Nuning dengan pandangan setengah mengejek.
Nuning tersenyum lagi. Ya Allah pagi-pagi sudah membuat orang emosi.
"Sepertinya nggak dulu, Bu. Kami masih berusaha pengobatan medis," jawab Nuning.
"Wah, jangan medis terus. Kalau medis nggak berhasil dicoba yang alternatif, siapa tahu berjodoh," kata Bu Niar sambil berbisik.
Entah kenapa berbisik, seakan takut ada yang dengar.
"Ya, coba nanti saya tanya Mas Edwin dulu, Bu," jawab Nuning akhirnya.
"Nah, gitu dong. Saya nanti dikabari, ya," kata Bu Niar dan kemudian pamit pulang.
Nuning memandang Bu Niar yang keluar dari rumahnya. Ini bukan kali pertama beliau datang ke rumah Nuning dan mengutarakan hal yang sama. Katanya kasihan melihat Nuning sudah menikah lima tahun dan belum punya momongan. Sementara ini Nuning mencoba bersabar saja.
**
Setelah kedatangan Bu Niar rasanya hati Nuning terasa begitu panas sekaligus nelangsa. Apa tadi dia bilang 'sholat dhuha karena belum kaya'?, rasanya Nuning ingin mencakar saja itu pipinya. Air mata mengalir di pipi Nuning. Lima tahun belum punya keturunan, kan juga tidak apa-apa, to? Kenapa mesti tetangga yang repot, ya?
Edwin tersenyum.
"Mana Nuning yang kukenal dulu?" tanyanya menggoda, "Masak dibilangin kayak gitu saja sudah sedih? Dulu kamu jadi HRD, kan? Berapa kali dalam sehari orang mencemooh kamu, menghina kamu, mencibir kamu? Belum lagi yang mengancam kamu? Masak baru dibilangin gitu aja udah nangis?" tanya Edwin menggoda.
Nuning tersenyum juga. Sudah lama tidak bekerja membuatnya lupa suasana kantor yang membuat panas hati.
"Jangan sedih. Ingat pesan Mas Edwin. Jangan sampai orang lain menyetir mood mu, ya? Jangan sampai orang lain membuat marah, sedih, kecewa karena apa yang mereka lakukan atau mereka perbuat. Santai saja. Senyumin saja. Semua ada masanya."
Nuning mengangguk sambil menangis. Kenapa kalau dengan Mas Edwin semua begitu damai dan nyaman, ya? Nyaman sekali.
Edwin memeluk Nuning.
"Udah, lah, jangan nangis," bisik Edwin. Nuning tersenyum dan berusaha mengangguk.
**
"Jadi gini, lo, Jeng. Sebenarnya apa, sih yang dilakukan setiap hari? Di rumah terus, kok? Tapi duitnya bisa banyak!"
"Suaminya kan kerja di kota, Bu."
"Halah gaji karyawan itu paling berapa?"
"Eh, Bu Niar, gaji karyawan perusahaan itu besar, lho!"
"Eh.. eh...eh! Yah tergantung perusahaannya, lah? Kalau perusahaannya kecil? Perusahaannya hampir bangkrut?"
Mereka tertawa terbahak-bahak. Nuning tahu yang mereka maksud adalah Nuning. Nuning memang belum lama tinggal di perumahan ini. Nuning sudah tidak bekerja sejak Nuning menikah. Mas Edwin memang maunya seperti itu. Jadi Nuning hanya menghabiskan waktu di rumah. Tapi Nuning juga tidak diam saja, dari rumah Nuning memiliki beberapa bisnis online yang tidak membutuhkan banyak aktivitas keluar rumah.
Dengan menyiapkan mental, Nuning keluar rumah untuk bergabung dengan ibu-ibu yang sedang mengelilingi tukang sayur. Mereka langsung terdiam ketika melihat Nuning. Seorang ibu, yang kalau tidak salah namanya Bu Imas, tersenyum pada Nuning. Nuning membalas senyumnya.
"Sampun rampungan, Bu Edwin? (Sudah selesai, Bu Edwin?)" tanya Bu Imas.
Nuning mengangguk.
"Alhamdulillah sudah, Bu, tinggal masak," jawab Nuning ramah
"Mau masak apa, Jeng?" Ibu yang lain menanyai Nuning.
"Apa, ya? Pilih-pilih dulu, deh, Bu," jawab Nuning sambil tersenyum.
"Masaknya siang amat, Jeng? Emang tadi pagi Pak Edwin makannya apa?" tanya Bu Niar. Dia memprovokasi. Seorang ibu menegur Bu Niar.
"Eh, Bu! Mau makan apa, ya urusan Bu Edwin sama Pak Edwin, kok Bu Niar yang kepo!"
Bu Niar mencebik.
"Ya, kan, cuma pengen tahu aja. Emang nggak boleh?" Jawab Bu Niar dengan pertanyaan juga.
Pak Mamat, si tukang sayur menggelengkan kepalanya.
Nuning tidak mengindahkan pertanyaan Bu Niar dan mulai memilih belanjaan. Karena nanti sore ada beberapa teman yang akan mampir Nuning membeli sayuran dan daging dalam jumlah yang cukup banyak. Sekalian juga untuk stok di kulkas.
"Banyak amat belinya, Jeng? Kan, cuma berdua?" tanya Bu Niar sambil pura-pura berlagak keheranan. Nuning hanya tersenyum.
"Njih, Bu, nanti kebetulan ada tamu," jawab Nuning singkat. Bu Niar ber 'oh' panjang. Orang-orang sudah tidak memperhatikan Bu Niar lagi. Ibu-ibu itu sudah sibuk berbincang sendiri.
"Bu Edwin eh, Mbak Nuning, kalau ada waktu senggang, boleh, dong jadi sukarelawan jadi guru les di komplek ini," kata Bu RT pada Nuning.
Nuning berpikir-pikir sebentar. Bu Niar menunggu dengan penasaran. Hih! Gemas Nuning melihatnya.
"Boleh, Bu. Kalau boleh tahu lesnya apa dan kelas berapa, njih, Bu?"
"Ya, bisa, dong! Orang di rumah terus!" desis Bu Niar, sengaja suaranya dikeraskan agar semua orang mendengarnya. Nuning beristighfar dalam hati.
"Ada SD sampai SMA, Bu. Kata anak saya dulu Bu Edwin pernah mengajar di bimbel, kan, ya?" tanya Bu RT lagi. Nuning mengangguk. Nuning memang pernah mengajar di bimbel waktu awal menikah.
"Njih, Bu," jawab Nuning.
"Setelah selesai belanja mampir rumah saya saja, ya, Bu. Kita bicarakan di rumah saya," lanjut Bu RT karena melihat Bu Niar yang sudah hendak melontarkan kata-kata yang tidak menyenangkan lagi. Nuning mengangguk.
Bu Niar melanjutkan menggerutu panjang pendek, tapi Nuning tidak peduli. Nuning melanjutkan belanja lagi.
"Aku udah, Pak Mamat! Berapa totalnya?" Tanya Bu Niar.
Pak Mamat memeriksa belajaan Bu Niar.
"Kol, wortel, tahu, tempe, rolade, telur dua kilo, cabai keriting, ayam dua kilo, daun bawang, tauge, bayam, telur puyuh sekilo. Semua jadi delapan puluh ribu, Bu," jawab pak Mamat.
Bu Niar mendesah. Dia mengeluarkan uang.
"Ini buat bayar yang kemarin dulu, ya. Yang hari ini utang dulu, ya , Pak."
Pak Mamat menerima uang Bu Niar dengan kecewa. Tapi nampaknya Bu Niar tidak terlalu peduli dan dia berlalu begitu saja. Suasana jadi agak canggung, karena semua orang jadi tahu hutang Bu Niar.
"Maaf, ya, Bu. Bukannya saya mau buka aib orang lain, tapi Bu Niar setiap hari hutang terus. Jadi lama-lama saya jengkel," kata Pak Mamat.
"Iya, Pak. Nggak papa," jawab ibu-ibu.
Nuning jadi iba dengan Bu Niar. Jadi ketika pak Mamat kuminta membawakan belanjaanku ke rumahku Nuning bertanya pada pak Mamat.
"Utang Bu Niar berapa, Pak?"
Pak Mamat menelan ludah.
"Sudah tiga ratus ribuan, Bu, tambah sekarang jadi empat ratus ribuan. Dia selalu membayar setiap hari, tapi dicicil. Paling juga dua puluh ribu, tiga puluh ribu," jawab pak Mamat.
"Astaghfirullah, banyak sekali, ya, Pak?"
Pak Mamat mengangguk.
"Ya, kayak tadi Bu Nuning lihat sendiri. Belanja sekali aja bisa sampai seratus ribu."
Nuning mengangguk. Lalu buru-buru menambahi.
"Pak, biar saya bayarkan utang Bu Niar. Tapi saya mohon jangan bilang kalau yang bayar saya, ya, Pak," katNuning. Nuning kasihan pada Bu Niar.
Pak Mamak terlonjak.
"Jangan, Bu! Jangan!" Seru Pak Mamat, "Suaminya Bu Niar itu pegawai negri, kok, Bu. Dia juga sebenarnya orang kaya. Tapi dia itu pelit," kata Pak Mamat lagi. Nuning menjengit mendengarnya.
"Nggak papa, Pak. Biar saja. Pelit apa nggak pelit itu urusan Bu Niar. Yang penting sekarang saya bayarin utangnya Bu Niar, ya, Pak!" seru Nuning setengah memaksa. Pak Mamat menerimu uang Nuning dengan keheranan.
"Bu Nuning itu dibicarakan setiap hari sama Bu Niar, lo," kata Pak Mamat. Nuning tersenyum bijak.
"Saya sudah tahu, Pak. Biar saja. Sekali lagi itu urusan Bu Niar," jawabku diplomatis, dan kemudian mengucapkan terima kasih pada Pak Mamat.
Setelah menyimpan semua bahan makanan, Nuning segera ke rumah Bu RT, untuk membahas kegiatan belajar bersama tadi. Bu RT menyambut Nuning dengan senang hati.
"Matur nuwun, lho, Bu Edwin mau bergabung bersama kami. Di sini jarang yang pernah mengajar," kata Bu RT bersemangat.
"Wah, saya juga baru mengajar di bimbel aja kok, Bu. Belum pernah mengajar sungguhan," jawab Nuning.
"Iya, nggak papa, Bu. Yang penting ada yang mau dulu," kata Bu RT.
Mereka kemudian membahas rencana belajar bersama di komplek tempat tinggal mereka. Setelah semua beres dan fix, Nuning berpamitan pulang.
"Eh, Bu Edwin! Kok tadi belanja banyak banget, mau ada tamu, ya?" tanya Bu RT.
"Njih, Bu. Nanti ada acara pertemuan dengan rekan bisnis saya."
"Bisnis apa, to, Bu?"
"Saya bisnis kuliner dan kosmetik, Bu, tetapi hanya pemodal saja. Semua kerja sama dengan teman saya, Bu," jawab Nuning.
"Oalah! Makanya kok Bu Edwin ini, kok, kelihatan di rumah saja. Ternyata bisnis online, to?"
Nuning mengangguk.
"Njih, Bu."
"Saya boleh bergabung nggak, Bu?" tanya Bu RT.
"Wah, monggo, Bu. Dengan senang hati," jawab Nuning, "Nanti sore Bu RT ke rumah saya saja. Kita mau launching produk kosmetik baru," lanjut Nuning. Bu RT mengangguk.
/0/15069/coverorgin.jpg?v=f627d8e20ad21625d504229bc016b706&imageMogr2/format/webp)
/0/28642/coverorgin.jpg?v=33e58dc160bdafdaaddc4d38e8db641b&imageMogr2/format/webp)
/0/7996/coverorgin.jpg?v=4e5da07b45835d037ca084ecb2c1da9f&imageMogr2/format/webp)
/0/27059/coverorgin.jpg?v=5903509aada06024b89af520ef987f33&imageMogr2/format/webp)
/0/3272/coverorgin.jpg?v=08468a21c0b5f1dd7299039659a6d360&imageMogr2/format/webp)
/0/23723/coverorgin.jpg?v=464023131ef63f7e4423296e448da571&imageMogr2/format/webp)
/0/28803/coverorgin.jpg?v=cab87dccf8c2ff24e3c01ccd2cd8fe1c&imageMogr2/format/webp)
/0/15060/coverorgin.jpg?v=186205408f203f5ce4501784bff6c570&imageMogr2/format/webp)
/0/19941/coverorgin.jpg?v=66dd937413c31dce02d326289546be7f&imageMogr2/format/webp)
/0/21574/coverorgin.jpg?v=260e08441a1198d9cd3c993822272973&imageMogr2/format/webp)
/0/4194/coverorgin.jpg?v=e441912389ddbcbe208d5e9cd85c93f6&imageMogr2/format/webp)
/0/8081/coverorgin.jpg?v=65a4e1417a8c0bbadf2c2c66896ae835&imageMogr2/format/webp)
/0/6550/coverorgin.jpg?v=5b41ac97be06e1881ac068e4fdb1cdc7&imageMogr2/format/webp)
/0/15642/coverorgin.jpg?v=bae564930038a01bde1690b66bd7477b&imageMogr2/format/webp)
/0/15602/coverorgin.jpg?v=303f28642fd8a2b1177aa9e018a287ac&imageMogr2/format/webp)
/0/29791/coverorgin.jpg?v=c8f87fc91d6ffdd05b2ae06e30edaecd&imageMogr2/format/webp)
/0/18477/coverorgin.jpg?v=20240701114349&imageMogr2/format/webp)