Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
565
Penayangan
32
Bab

Kecemburuan dan keirian seseorang pada kesuksesan orang lain ternyata bisa sangat mematikan ....

Bab 1 Bagian 1

"Bu, sudah kabar tentang Bu Dedeh belum?"

Pagi-pagi suara Bu Niar terdengar dari kejauhan. Nuning yang sedang mencuci piring di dapur langsung menyiapkan diri mendengar gosip hari ini.

"Belum, Bu ada kabar apa?"

"Memang bu Dedeh kenapa, Bu?"

Ibu-ibu mulai mengerumuni Bu Niar.

Dari dapur Nuning terlihat Bu Niar berkacak pinggang merasa menang bisa menarik perhatian para ibu di komplek ini.

"Bu Dedeh ternyata mau pergi ke Madura," kata Bu Niar dengan nada dramatis, berhenti sejenak untuk menunggu reaksi ibu-ibu yang mengelilinginya.

"Dia mau menikah lagi," kata Bu Niar dengan nada yang lebih dramatis lagi, seperti mendesis setengah berbisik.

Kali ini berhasil, ibu-ibu menanggapi dengan teriakan tak percaya dan teriakan haaa, hooo, masak sih, dan sejenisnya. Nuning sudah terlalu sering melihat hal seperti itu.

"Lo, bukannya Bu Dedeh masih punya suami?"

"Eh, tapi suaminya kan ada di RSJ, ya?"

"Hush.. jangan keras-keras nanti keluarganya ada yang dengar."

Dan Bu Niar berhasil lagi membuat gosip pagi ini berkembang dengan hangat bahkan berubah menjadi sangat panas.

Nuning berusaha tidak mendengar dari balik tembok rumahku. Tapi mau gimana lagi, tembok rumahku tipis dan suara ibu-ibu begitu keras. Akhirnya Nuning memahami gosip pagi ini. Tentang Bu Dedeh.

**

"Jeng Nuning, Assalamualaikum, Jeng di rumahkah?"

Suara itu memecah keheningan pagi Nuning. Nuning bergegas melipat mukena.

"Ada, Bu. Sebentar," jawab Nuning sambil memakai jilbab dan keluar kamar.

"Eh, ini dia yang punya rumah," kata Bu Niar yang sudah masuk melalui pintu dapur.

"Baru apa, Jeng?"

"Baru sholat, Bu."

Bu Niar melongo.

"Sholat sesiang ini. Sudah jam sembilan lo ini, masak baru sholat subuh?" tanya Bu Niar setengah berteriak, pura-pura bertanya sambil mengejek. Nuning menghela nafas panjang.

"Maaf, saya baru sholat Dhuha," jawab Nuning setengah hati. Bu Niar tersenyum mencibir.

"Oh, sholat Dhuha biar banyak rejekinya, ya. Maklum belum kaya," katanya berbisik. Nuning pura-pura tidak dengar saja.

"Ada apa Bu Niar?" Tanya Nuning setelah menyilahkan Bu Niar duduk di ruang tengah.

"Gini, ya, Jeng. Sebelumnya minta maaf, lho kalau menyinggung, ya, Jeng. Ini anakku yang di Surabaya kemarin berobat ke sensei di Surabaya, eh, alhamdulillah sekarang sudah hamil," katanya, sepertinya memang dibuat berhenti di tengah, menggantung, dramatis sekali.

Nuning memaksakan sebuah senyum.

"Alhamdulillah kalau sudah hamil, ya bu, putrinya. Semoga sehat selalu sampai melahirkan," jawab Nuning. Bu Niar tersenyum lebar.

"Makasih, Jeng. Siapa tahu Jeng Nuning mau berobat ke sana juga. Cuma dua kali bisa langsung hamil, lo Jeng. Nggak mahal, kok. Gimana, menarik, kan?" Kata Bu Niar sambil memandang Nuning dengan pandangan setengah mengejek.

Nuning tersenyum lagi. Ya Allah pagi-pagi sudah membuat orang emosi.

"Sepertinya nggak dulu, Bu. Kami masih berusaha pengobatan medis," jawab Nuning.

"Wah, jangan medis terus. Kalau medis nggak berhasil dicoba yang alternatif, siapa tahu berjodoh," kata Bu Niar sambil berbisik.

Entah kenapa berbisik, seakan takut ada yang dengar.

"Ya, coba nanti saya tanya Mas Edwin dulu, Bu," jawab Nuning akhirnya.

"Nah, gitu dong. Saya nanti dikabari, ya," kata Bu Niar dan kemudian pamit pulang.

Nuning memandang Bu Niar yang keluar dari rumahnya. Ini bukan kali pertama beliau datang ke rumah Nuning dan mengutarakan hal yang sama. Katanya kasihan melihat Nuning sudah menikah lima tahun dan belum punya momongan. Sementara ini Nuning mencoba bersabar saja.

**

Setelah kedatangan Bu Niar rasanya hati Nuning terasa begitu panas sekaligus nelangsa. Apa tadi dia bilang 'sholat dhuha karena belum kaya'?, rasanya Nuning ingin mencakar saja itu pipinya. Air mata mengalir di pipi Nuning. Lima tahun belum punya keturunan, kan juga tidak apa-apa, to? Kenapa mesti tetangga yang repot, ya?

Edwin tersenyum.

"Mana Nuning yang kukenal dulu?" tanyanya menggoda, "Masak dibilangin kayak gitu saja sudah sedih? Dulu kamu jadi HRD, kan? Berapa kali dalam sehari orang mencemooh kamu, menghina kamu, mencibir kamu? Belum lagi yang mengancam kamu? Masak baru dibilangin gitu aja udah nangis?" tanya Edwin menggoda.

Nuning tersenyum juga. Sudah lama tidak bekerja membuatnya lupa suasana kantor yang membuat panas hati.

"Jangan sedih. Ingat pesan Mas Edwin. Jangan sampai orang lain menyetir mood mu, ya? Jangan sampai orang lain membuat marah, sedih, kecewa karena apa yang mereka lakukan atau mereka perbuat. Santai saja. Senyumin saja. Semua ada masanya."

Nuning mengangguk sambil menangis. Kenapa kalau dengan Mas Edwin semua begitu damai dan nyaman, ya? Nyaman sekali.

Edwin memeluk Nuning.

"Udah, lah, jangan nangis," bisik Edwin. Nuning tersenyum dan berusaha mengangguk.

**

"Jadi gini, lo, Jeng. Sebenarnya apa, sih yang dilakukan setiap hari? Di rumah terus, kok? Tapi duitnya bisa banyak!"

"Suaminya kan kerja di kota, Bu."

"Halah gaji karyawan itu paling berapa?"

"Eh, Bu Niar, gaji karyawan perusahaan itu besar, lho!"

"Eh.. eh...eh! Yah tergantung perusahaannya, lah? Kalau perusahaannya kecil? Perusahaannya hampir bangkrut?"

Mereka tertawa terbahak-bahak. Nuning tahu yang mereka maksud adalah Nuning. Nuning memang belum lama tinggal di perumahan ini. Nuning sudah tidak bekerja sejak Nuning menikah. Mas Edwin memang maunya seperti itu. Jadi Nuning hanya menghabiskan waktu di rumah. Tapi Nuning juga tidak diam saja, dari rumah Nuning memiliki beberapa bisnis online yang tidak membutuhkan banyak aktivitas keluar rumah.

Dengan menyiapkan mental, Nuning keluar rumah untuk bergabung dengan ibu-ibu yang sedang mengelilingi tukang sayur. Mereka langsung terdiam ketika melihat Nuning. Seorang ibu, yang kalau tidak salah namanya Bu Imas, tersenyum pada Nuning. Nuning membalas senyumnya.

"Sampun rampungan, Bu Edwin? (Sudah selesai, Bu Edwin?)" tanya Bu Imas.

Nuning mengangguk.

"Alhamdulillah sudah, Bu, tinggal masak," jawab Nuning ramah

"Mau masak apa, Jeng?" Ibu yang lain menanyai Nuning.

"Apa, ya? Pilih-pilih dulu, deh, Bu," jawab Nuning sambil tersenyum.

"Masaknya siang amat, Jeng? Emang tadi pagi Pak Edwin makannya apa?" tanya Bu Niar. Dia memprovokasi. Seorang ibu menegur Bu Niar.

"Eh, Bu! Mau makan apa, ya urusan Bu Edwin sama Pak Edwin, kok Bu Niar yang kepo!"

Bu Niar mencebik.

"Ya, kan, cuma pengen tahu aja. Emang nggak boleh?" Jawab Bu Niar dengan pertanyaan juga.

Pak Mamat, si tukang sayur menggelengkan kepalanya.

Nuning tidak mengindahkan pertanyaan Bu Niar dan mulai memilih belanjaan. Karena nanti sore ada beberapa teman yang akan mampir Nuning membeli sayuran dan daging dalam jumlah yang cukup banyak. Sekalian juga untuk stok di kulkas.

"Banyak amat belinya, Jeng? Kan, cuma berdua?" tanya Bu Niar sambil pura-pura berlagak keheranan. Nuning hanya tersenyum.

"Njih, Bu, nanti kebetulan ada tamu," jawab Nuning singkat. Bu Niar ber 'oh' panjang. Orang-orang sudah tidak memperhatikan Bu Niar lagi. Ibu-ibu itu sudah sibuk berbincang sendiri.

"Bu Edwin eh, Mbak Nuning, kalau ada waktu senggang, boleh, dong jadi sukarelawan jadi guru les di komplek ini," kata Bu RT pada Nuning.

Nuning berpikir-pikir sebentar. Bu Niar menunggu dengan penasaran. Hih! Gemas Nuning melihatnya.

"Boleh, Bu. Kalau boleh tahu lesnya apa dan kelas berapa, njih, Bu?"

"Ya, bisa, dong! Orang di rumah terus!" desis Bu Niar, sengaja suaranya dikeraskan agar semua orang mendengarnya. Nuning beristighfar dalam hati.

"Ada SD sampai SMA, Bu. Kata anak saya dulu Bu Edwin pernah mengajar di bimbel, kan, ya?" tanya Bu RT lagi. Nuning mengangguk. Nuning memang pernah mengajar di bimbel waktu awal menikah.

"Njih, Bu," jawab Nuning.

"Setelah selesai belanja mampir rumah saya saja, ya, Bu. Kita bicarakan di rumah saya," lanjut Bu RT karena melihat Bu Niar yang sudah hendak melontarkan kata-kata yang tidak menyenangkan lagi. Nuning mengangguk.

Bu Niar melanjutkan menggerutu panjang pendek, tapi Nuning tidak peduli. Nuning melanjutkan belanja lagi.

"Aku udah, Pak Mamat! Berapa totalnya?" Tanya Bu Niar.

Pak Mamat memeriksa belajaan Bu Niar.

"Kol, wortel, tahu, tempe, rolade, telur dua kilo, cabai keriting, ayam dua kilo, daun bawang, tauge, bayam, telur puyuh sekilo. Semua jadi delapan puluh ribu, Bu," jawab pak Mamat.

Bu Niar mendesah. Dia mengeluarkan uang.

"Ini buat bayar yang kemarin dulu, ya. Yang hari ini utang dulu, ya , Pak."

Pak Mamat menerima uang Bu Niar dengan kecewa. Tapi nampaknya Bu Niar tidak terlalu peduli dan dia berlalu begitu saja. Suasana jadi agak canggung, karena semua orang jadi tahu hutang Bu Niar.

"Maaf, ya, Bu. Bukannya saya mau buka aib orang lain, tapi Bu Niar setiap hari hutang terus. Jadi lama-lama saya jengkel," kata Pak Mamat.

"Iya, Pak. Nggak papa," jawab ibu-ibu.

Nuning jadi iba dengan Bu Niar. Jadi ketika pak Mamat kuminta membawakan belanjaanku ke rumahku Nuning bertanya pada pak Mamat.

"Utang Bu Niar berapa, Pak?"

Pak Mamat menelan ludah.

"Sudah tiga ratus ribuan, Bu, tambah sekarang jadi empat ratus ribuan. Dia selalu membayar setiap hari, tapi dicicil. Paling juga dua puluh ribu, tiga puluh ribu," jawab pak Mamat.

"Astaghfirullah, banyak sekali, ya, Pak?"

Pak Mamat mengangguk.

"Ya, kayak tadi Bu Nuning lihat sendiri. Belanja sekali aja bisa sampai seratus ribu."

Nuning mengangguk. Lalu buru-buru menambahi.

"Pak, biar saya bayarkan utang Bu Niar. Tapi saya mohon jangan bilang kalau yang bayar saya, ya, Pak," katNuning. Nuning kasihan pada Bu Niar.

Pak Mamak terlonjak.

"Jangan, Bu! Jangan!" Seru Pak Mamat, "Suaminya Bu Niar itu pegawai negri, kok, Bu. Dia juga sebenarnya orang kaya. Tapi dia itu pelit," kata Pak Mamat lagi. Nuning menjengit mendengarnya.

"Nggak papa, Pak. Biar saja. Pelit apa nggak pelit itu urusan Bu Niar. Yang penting sekarang saya bayarin utangnya Bu Niar, ya, Pak!" seru Nuning setengah memaksa. Pak Mamat menerimu uang Nuning dengan keheranan.

"Bu Nuning itu dibicarakan setiap hari sama Bu Niar, lo," kata Pak Mamat. Nuning tersenyum bijak.

"Saya sudah tahu, Pak. Biar saja. Sekali lagi itu urusan Bu Niar," jawabku diplomatis, dan kemudian mengucapkan terima kasih pada Pak Mamat.

Setelah menyimpan semua bahan makanan, Nuning segera ke rumah Bu RT, untuk membahas kegiatan belajar bersama tadi. Bu RT menyambut Nuning dengan senang hati.

"Matur nuwun, lho, Bu Edwin mau bergabung bersama kami. Di sini jarang yang pernah mengajar," kata Bu RT bersemangat.

"Wah, saya juga baru mengajar di bimbel aja kok, Bu. Belum pernah mengajar sungguhan," jawab Nuning.

"Iya, nggak papa, Bu. Yang penting ada yang mau dulu," kata Bu RT.

Mereka kemudian membahas rencana belajar bersama di komplek tempat tinggal mereka. Setelah semua beres dan fix, Nuning berpamitan pulang.

"Eh, Bu Edwin! Kok tadi belanja banyak banget, mau ada tamu, ya?" tanya Bu RT.

"Njih, Bu. Nanti ada acara pertemuan dengan rekan bisnis saya."

"Bisnis apa, to, Bu?"

"Saya bisnis kuliner dan kosmetik, Bu, tetapi hanya pemodal saja. Semua kerja sama dengan teman saya, Bu," jawab Nuning.

"Oalah! Makanya kok Bu Edwin ini, kok, kelihatan di rumah saja. Ternyata bisnis online, to?"

Nuning mengangguk.

"Njih, Bu."

"Saya boleh bergabung nggak, Bu?" tanya Bu RT.

"Wah, monggo, Bu. Dengan senang hati," jawab Nuning, "Nanti sore Bu RT ke rumah saya saja. Kita mau launching produk kosmetik baru," lanjut Nuning. Bu RT mengangguk.

"Njih, Bu. Nanti insya Allah saya tak mampir ke rumah Bu Edwin."

**

Siang itu dua orang reseller Nuning datang ke rumah Nuning untuk membantu Nuning masak. Sore nanti ada acara pertemuan bisnis di rumah Nuning. Jadi Nuning memasak cukup banyak. Setelah Ashar acara pertemuan pun dimulai. Nuning sangat senang karena yang datang cukup banyak. Bu RT pun datang. Beliau datang dengan beberapa ibu yang lain. Mereka antusias dengan bisnis online yang kujalani. Dan setelah acara selesai, Bu RT dan Bu Imas mendekati Nuning.

"Bu, saya mau gabung bisnisnya, ya," kata Bu Imas.

"Njih, Bu. Insya Allah. Dengan senang hati," jawab Nuning.

"Saya juga, Bu Edwin. Saya tertarik dengan kosmetiknya. Itu, kan, yang sudah ada di mal-mal, kan?" tanya Bu RT. Nuning mengangguk.

"Masak, Bu RT?"

"Iya, Bu Imas. Saya dulu pernah ditawari kosmetik itu. Harganya waduh! Bikin ngeri!"

Nuning hanya tertawa.

"Nggak tahunya, salah satu ownernya tetangga kita. Seneng, deh!" Seru Bu RT. Nuning hanya tersenyum.

"Monggo, bu. Nanti saya uruskan pendaftarannya," jawab Nuning dengan senang hati.

Mereka berdua mengangguk. Nuning memanggil salah satu resellernya untuk membantu pendaftaran Bu RT, setelah itu Nuning minta izin untuk berkeliling dulu membagikan oleh-oleh ke tetangga sebelah.

Bu Niar membukakan pintu rumahnya.

"Nah, gitu, dong! Masak mobil-mobil, motor-motor menghalangi jalan komplek, kita nggak dapat apa-apa!" Seru Bu Niar keras.

"Njih, saya minta maaf, Bu!" jawab Nuning.

"Mau berapa bulan sekali, Jeng, acaranya? Kan merugikan warga juga kalau sering kayak gini!" seru Bu Niar lagi.

Hati Nuning begitu sakit mendengar pertanyaan Bu Niar barusan. Nuning berusaha bersabar dan terus beristighfar.

"Insya Allah hanya kali ini aja, Bu," jawab Nuning sambil menahan air mata. Bu Niar tersenyum lebar.

"Nah, gitu, dong! Biar nggak ngerugiin orang lain!" seru Bu Niar lagi, dan langsung menutup pintu di depan Nuning dengan keras.

Innalillahi! Ada juga, ya, manusia seperti itu, batin Nuning dalam hati. Nuning menahan air matanya agar tidak tumpah. Nuning segera menyelesaikan semuanya dan kembali ke rumah. Kedua reseller Nuning segera berpamitan karena memang sudah hampir magrib. Setelah semua pergi. Nuning terduduk lemas dan mulai menangis. Menangis karena merasa lelah dicemooh terus menerus.

Nuning tidak bisa seperti yang diharapkan Edwin. Menjadi kuat dan tegar. Nuning tetap membutuhkan sandaran. Nuning menghela nafas panjang. Dia berdoa semoga Allah selalu menguatkannya.

**

Keesokan harinya ibu-ibu yang sedang berbelanja di tempat Pak Mamat heboh. Nuning hanya mendengarkan saja dari dalam rumah.

"Wah, utang Bu Niar sudah lunas! Berapa pak Mamat? Lima ratus ribu, ya?"

"Beuh! Banyak amat!"

"Hebat, ya, Bu Niar! Besok lagi nggak usah ngutang, Bu!" seru ibu-ibu yang lain.

Mereka riuh mengomentari masalah hutang Bu Niar. Nuning hanya mendengarkan dan melihat Bu Niar berwajah sumringah. Nuning tersenyum. Nuning hanya berharap semoga yang dilakukannya pada Bu Niar bisa bermanfaat.

**

Siang harinya ketika hendak menyetrika baju, Bu Niar terlihat datang ke rumah Nuning. Nuning segera menyilahkannya masuk. Wajah Bu Niar nampak bercahaya.

"Jeng Nuning ini bisnis online, to?" tanya Bu Niar. Nuning mengangguk.

"Njih, Bu. Untuk mengisi kegiatan."

"Weleh! Kata Bu RT, Jeng Nuning ini owner kosmetik Lembayung Senja, yang ada iklannya di TV itu?" tanya Bu Niar mendelik sewot. Nuning beristighfar dalam hati dan mengangguk samar.

"Saya hanya salah satu ownernya, Bu. Ownernya banyak, kok. Teman-teman saya," jawabku berusaha tetap biasa saja. Wajah Bu Niar merah, sepertinya dia marah.

"Kok, Jeng Nuning nggak pernah nawarin produknya ke komplek? Takut pada nggak bisa beli, ya?" tanya Bu Niar tambah sewot. Nuning hanya tersenyum.

"Saya hanya ownernya, Bu. Yang jualan reseller dan marketer saya, Bu. Saya hanya pengelola saja," jawab Nuning berusaha sabar.

"Masak jualan nggak pake promosi? Apa, ya, laku?" tanya Bu Niar masih sambil cemberut.

"Alhamdulillah, insya Allah laku, Bu. Karena kami ada tim marketing sendiri. Bu Niar mau coba beli?" tawar Nuning, berusaha mengalihkan amarahnya yang sudah hampir tidak bisa ditahan lagi.

"Beli? Harganya saja jutaan! Mbok, ya tetangga itu dikasih sampel, gitu, lo, Jeng! Siapa tahu cocok! Pelit banget, sih!" seru Bu Niar emosi, wajahnya merah padam.

Innalillahi! Ini tetangga kenapa julidnya minta ampun, sih? Bikin geregetan beneran!

Nuning tersenyum.

"Siap, Bu! Saya ada sampel paket lengkapnya. Silahkan nanti dicoba, ya, Bu," jawab Nuning, Nuning segera ke kamar dan mengambilkan paket untuk reseller, tapi tidak apa lah dari pada terjadi keributan. Nuning keluar kamar dan menyerahkan sebuah tas kecil berisi paket lengkap produk kosmetik Lembayung Senja.

"Ini paket perawatan harian, Bu," kata Nuning.

Bu Niar memeriksa paket itu dengan teliti. Dia mencium, meraba dan memeriksa sebuah wadah dari sampel kosmetik yang diberikan Nuning.

"Kok, kecil, Jeng?" tanyanya. Nuning menghela nafas panjang.

"Kan, hanya paket sampel, bu."

Bu Niar mencebik.

"Iya! Iya, Jeng, saya paham!" seru Bu Niar marah.

"Tolong dibaca petunjuknya, ya, Bu!" ingatku. Bu Niar mendelik ke arahku.

"Dibilang iya, kok! Emangnya saya ini orang bodoh, apa? Nanti juga saya baca! Makanya kalo ngasih yang ikhlash! Udah wadahnya kecil-kecil masih nyuruh lagi!" teriak Bu Niar, dia lalu pergi begitu saja.

"Astaghfirullah!" gumam Nuning. Mood Nuning untuk menyetrika ambyar seketika. Nuning sama sama sekali tidak ingin menyetrika lagi. Nuning segera menghubungi Mbak Inem, yang biasa disuruh-suruh dan Nuning memintanya untuk menyetrika baju.

Nuning memutuskan untuk pergi ke salon saja. Tiba-tiba Nuning ingin melepas lelah dan refreshing di salon langganannya. Nuning menitip rumah kepada Mbak Inem seperti biasa. Dan segera mengendarai motor menuju ke pusat kota.

**

Kota ramai sekali.

Nuning menghela napas. Ada setitik kerinduan dalam hatinya. Sudah hampir lima tahun Nuning meninggalkan semua keramaian ini. Nuning segera menuju ke salon langganan Nuning.

Mak Ci, sang pemilik salon menyambut Nuning bahagia.

"Ya Allah, Mbak Nuning!" Serunya, dia memeluk Nuning erat, "Lama nggak jumpa! Nih, produk Lembayung Senja jadi 'most wanted' banget di sini! Habis terus!" Seru Mak Ci, sang pemilik salon, dengan sumringah.

"Alhamdulillah. Semoga bisa jadi jalan rezeki untuk semua, ya, Mak," jawab Nuning. Mak Ci memgangguk sumringah. Beberapa pegawai salon yang mengenal Nuning, menyapa Nuning dengan ramah.

"Mau facial atau lulur, Mbak?" tanya Mak Ci.

"Paket lengkap, ya, Mak. Antri?"

Mak Ci mengangguk.

"Sebentar lagi ada yang udah mau selesai. Yuk, nunggu di ruanganku aja," ajak Mak Ci.

Nuning mengangguk dan mengikuti Mak Ci ke ruangannya. Nuning segera mengirim pesan pada Mas Edwin kalau Nuning ke salon. Mas Edwin mengiyakan dan berpesan agar jangan pulang kesorean. Nuning dan Mak Ci saling bertukar kabar. Dan pintu ruangan mak Ci diketuk orang.

"Silahkan masuk," kata Mak Ci.

Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum.

"Lho! Mbak Nuning?"

Nuning terkejut.

"Eh, iya, pak Danar, ya?" jawab Nuning. Pak Danar, kan suaminya Bu Niar.

"Iya, Mbak Nuning. Mau nyalon, Mbak?" Tanya Pak Danar.

Nuning mengangguk.

"Njih, mohon maaf menganggu sebentar. Mau bertemu dengan Mak Ci dulu, njih, Mbak Nuning," kata Pak Danar. Nuning mengangguk. Mereka berdua meninggalkanku sendirian di ruangan itu.

Mau apa, ya, Pak Danar ke sini? Mak Ci masuk beberapa menit kemudian.

"Mbak Nuning kenal sama dia?"

Nuning mengangguk.

"Kenal, Mbak. Dia, kan tetangga Nuning. Rumahnya di sampingku," jawab Nuning. Wajah mak Ci berubah.

"Istrinya hampir setiap minggu nyalon di sini," kata Mak Ci. Dia memandang Nuning curiga.

"Istrinya kayak gini, kan?" tanya Mak Ci. Dia menunjukkan foto profil sebuah akun WA. Wajah wanita cantik, muda, berambut panjang terlihat tersenyum kepada Nuning. Nuning melengak.

"Pak Danar bilang ini istrinya?" tanya Nuning keheranan sekaligus berdebar.

Mak Ci mengangguk.

"Iya. Nih, baru aja Pak Danar membayar tagihan bulan ini. Bisa sampai puluhan juta, lo perawatannya," tambah Mak Ci. Nuning bergidik. Apalagi melihat nama di WA Mak Ci. Bu Danar. Ih, Astaghfirullah! Foto itu, kan, bukan Bu Niar.

**

Kehidupan berjalan seperti biasa. Nuning mulai ikut membantu mengajar bimbingan belajar di komplek dan bisnisonline Nuning pun semakin lancar. Bu Niar masih sama saja. Masih senang sekali bergosip ketika ibu-ibu berkumpul membeli sayur di Pak Mamat. Banyak yang sudah bosan, tapi juga ada juga beberapa yang masih setia mendengarkan dan ikut mengompori Bu Niar.

Nuning termasuk yang bosan. Nuning lebih memilih diam, tersenyum, mengangguk dan menjawab seperlunya saja. Nuning merasa tidak terlalu butuh untuk mendengar semua informasi itu. Bagi Nuning hal itu tidak terlalu penting.

Sore ini, Bu RT dan Bu Imas datang ke rumah Nuning. Mereka membawa beberapa ibu-ibu yang lain. Dengan bersemangat Bu RT menceritakan tentang keuntungan yang didapatnya dengan menjual skin care dan kosmetik Lembayung Senja.

"Saya dulu nggak bayar daftarnya. Karena daftar waktu ada acara di rumah bu Edwin. Kalau ada acara di sini, ayo pada daftar! Nanti akan dibantu sama mbak resellernya," jelas Bu RT.

"Iya. Saya dan Bu RT beberapa kali ikut acara Lembayung Senja di luar. Wah, asyik, makan gratis, jalan-jalan, dapat bonus, iya, kan, Bu Edwin?" tambah Bu Imas.

"Kapan acaranya diadakan di sini, Bu?" tanya ibu-ibu. Nuning merasa kurang nyaman. Nuning masih ingat kata-kata Bu Niar waktu Nuning mengadakan acara pertama kali di rumahnya dulu. Bu Niar mengatakan bahwa mobil dan motor yang terparkir rapi dan halaman dan depan rumah Nuning mengganggu warga komplek. Sampai sekarang masih hati Nuning masih ngilu mengingatnya.

"Insya Allah kalau ada acara, yang berminat saya undang, nanti kita berangkat bersama-sama," jawab Nuning, disambut dengan gumaman persetujuan dari ibu-ibu yang lain.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan Bu Niar dengan suaranya yang khas.

"Weh! Ada apa ini rame-rame! Nggak ngundang saya, Jeng? Waduh! Makan-makan, nih!" seru Bu Niar. Ibu-ibu kompak beristighfar. Nuning tertawa.

"Monggo, Bu! Silahkan masuk. Kami lagi membahas bisnis, nih, Bu Niar!" jawab Nuning sambil memersilahkan Bu Niar masuk.

"Kok, saya nggak di ajak?" tanya Bu Niar. Wajahnya kecewa.

"Lah! Dari kemarin, kan saya sudah ngajak Bu Niar! Alesannya nggak punya duit terus!" seru Bu Imas keras. Membuat beberapa ibu tertawa. Nuning hanya tersenyum. Bu Niar cemberut.

"Kalau Bu Niar mau, insya Allah hari Kamis akan ada acara di Resto Gading Mas, nanti kita berangkatnya bareng sama saya. Daftarnya gratis, kok, kalau masih ada acara promo," kata Nuning mengajak Bu Niar. Bu Niar mencibir.

"Jauh amat, Jeng. Kenapa nggak di sini aja, kayak kemrin dulu?" Tanya Bu Niar lagi.

Nuning terdiam.

"Nanti takut warga sini terganggu dengan kendaraan yang parkir di pinggir jalan," jawab Nuning agak ragu. Ibu-ibu berseru tak percaya, banyak juga yang beristighfar.

"Innalillahi! Siapa yang bilang kayak gitu, Bu?"

"Idih! Yang lain kalau ada acara juga kayak gitu, kok, Bu Edwin!"

"Siapa, sih, Mbak, yang bilang? Kok celamitan banget?"

Nuning terdiam. Menelan ludah. Bu Niar pias, dia paham maksud Nuning. Dia menandang Nuning marah.

"Bu Edwin. Jangan takut! Kalau ada yang bilang kayak gitu bilang sama saya, ya, Bu!" seru Bu RT.

"Nah, iya, Bu! Lapor Bu RT saja."

"Iya! Orang jalan itu milik bersama, kok!"

Untunglah acara itu cepat selesai. Nuning bernapas lega. Nuning merasa agak tidak enak hati dengan Bu Niar tadi.

"Jeng Nuning!" panggil Bu Niar dengan gemas dari balik pintu dapur. Nuning membukakan pintu.

"Njih, Bu," jawab Nuning agak takut. Ketika pintu dibuka Nuning, Bu Niar berdiri berkacak pinggang di depan Nuning dengan wajah yang merah membara.

"Kalau ngomong itu yang bener, dong! Jangan menuduh orang sembarangan! Baper banget, sih! Pake lapor sama semua warga lagi! Dulu, kan, saya hanya bercanda!" seru Bu Niar tanpa basa-basi.

Nuning terhenyak diam. Tidak bisa berkata-kata. Bu Niar terus mengungkapkan semua isi hatinya pada Nuning, kebanyakan dengan kata yang kasar dan menyakitkan hati. Nuning menggigit bibir kuat-kuat agar air mata ini tidak tumpah. Nuning bertahan dengan tegar berdiri di depan Bu Niar yang sedang muntab.

"Tunggu saja pembelasanku! Tak santet kowe, wis ngisin-ngisinke Nuning! (Kusantet kamu, karena sudah mempermalukanku!)" teriak Bu Niar dan kemudian Bu Niar pergi begitu saja.

**

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku