Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Matahari masih sepenggalah. Kicau burung yang semula mengisi hening pagi kini berganti dengan riuh santri yang tengah berbondong-bondong kembali dari masjid selepas setoran bakda subuh. Kerumunan itu otomatis menyibak ketika melihat Nyai Halimah tampak tertatih keluar dari pekarangan dalem dan entah akan ke mana.
“Le …,” pangggilnya entah pada siapa. Seorang lelaki berkaos oblong navy yang semula sibuk mengambil daun pisang lantas tergopoh mendekat. Mengingat posisinya yang memang paling dekat dari abdi dalem lain.
“Inggih, Bu Nyai?”
“Tolong panggilkan Adnan.”
Setelah mengangguk mengiyakan, lelaki yang telah lama menjadi kang dalem itu undur diri. Langkahnya yang lebar-lebar menyibak kerumunan, berjalan cepat di koridor kelas menuju sebuah bangunan tua di ujung kawasan Pesantren Sabilus Surur. Putra bungsu Nyai Halimah itu memang kerap menghabiskan waktu di sana.
“Assalamualaikum,” ucanya di ambang pintu yang terbuka lebar. Dari tempatnya berdiri, tampak seorang pria yang semula tengah sibuk mengolak-alik kitab itu lantas menoleh. Wajahnya yang putih bersih mendongak, alisnya yang lebat kemudian dinaikkan sebelah, mengisyaratkan agar lelaki berkaos oblong di seberang sana mengatakan tujuannya menemui Adnan.
“Njenengan ditimbali Bu Nyai, Gus.”
“Umi di dalem, ‘kan?”
“Inggih, Gus.”
“Ya sudah. Terima kasih. Tolong bereskan dulu kitab-kitab ini dan taruh di sana. Setelah itu sampeyan boleh kembali,” titahnya sembari beranjak. Segera setelah membenarkan posisi songkok dan sarungnya, lelaki yang masyhur seantero pesantren itu lantas berlalu. Melintasi halaman yang telah sepi sembari menerka-nerka keperluan mendesak apa kiranya yang membuat Nyai Halimah hingga mengutus kang dalem untuk mencarinya. Padahal setiap pergantian jam mengajar, dirinya pasti menyempatkan diri ke dalem. Entah itu mengambil kitab, atau sekadar istirahat dan mengisi perut.
Sejak beberapa bulan terakhir, uminya memang sering sakit-sakitan. Wajar jika mengingat usianya yang senja. Adnan sempat melarangnya keras untuk terlalu lelah meng-handle seluruh urusan pesantren, tetapi wanita yang hampir berkepala tujuh itu sama keras kepalanya dengan dirinya.
Menyikapi hal itu, Adnan merombak seluruh jadwal dewan guru. Mengurangi beberapa jam mengajar uminya dan mengalihkannya kepada ustaz-ustazah lain. Dirinya juga mengangkat beberapa santri senior untuk menjadi guru bantu jika memang diperlukan. Jadi, dengan begitu, pikirnya Nyai Halimah akan lebih punya banyak waktu untuk istirahat.
“Umi di mana, Mbak?” tanya Adnan begitu berpapasan dengan perempuan yang tampak sibuk menyapu kolong-kolong meja.
“Di kamar, Gus. Sedang istirahat, tadi katanya agak kurang enak badan.”
Tanpa menjawab lagi, Adnan berlalu. Melewati mbak-mbak yang tengah sibuk dengan kerjanya masing-masing menuju ruangan kecil di balik rak yang penuh berisi kitab-kitab. Semula, kamar Nyai Halimah berada di atas. Menghindari kebisingan di dapur, atau santri-santri yang berlalu lalang sewaktu-waktu. Namun, semenjak kondisinya memburuk, beliau meminta untuk dipindahkan ke bawah. Di ruangan yang dulu sering digunakan mendiang suaminya untuk mutholaah kitab.
“Assalamualaikum, Umi,” ucap putra satu-satunya Nyai Halimah itu sembari membuka pintu yang sudah sedikit terbuka. Wanita yang semula berbaring di ranjang dengan membelakangi pintu itu kemudian membalik badan. Mempersilakan lelaki yang telah beranjak masuk itu untuk duduk.
“Bagaimana keadaan Umi?”
“Aku baik, Nak. Sudah mendingan.”
“Maaf tadi aku sibuk dengan laporan bulanan usaha-usaha kita, Um.”
“Tidak apa-apa, Nak. Umi tahu tanggung jawabmu pada pesantren ini tidak main-main. Setelah abahmu meninggal dan kakakmu menikah, Umi rasa kamu menjalankan semuanya dengan sangat baik, tapi ….”
Kalimat itu terjeda. Menggantung begitu saja. Gus Adnan lantas mendongak, menatap lekat Nyai Halimah yang tak kunjung meneruskan kalimatnya.