Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
"Buka bajuku!"
"Hah!" Aku melongo. Saat mendengar instruksi dari Inder---pria yang baru saja sah menjadi suamiku.
"Kenapa mau dibuka bajunya, Mas?" Ah, pertanyaan konyol memang. Jelas-jelas aku sudah tahu sebenarnya apa mau Inder.
"Gak usah sok polos. Kamu pasti lebih tau apa yang aku inginkan." Entah kenapa ini suami gak ada lembut-lembutnya saat meminta haknya. Alih-alih aku mengharapkan ia bersikap romantis. Tak bicara kasar saja sudah untung.
Aku mendesah. Aku kira dia tak akan menyentuhku, Sebab kami menikah hanya karena ingin mendapatkan tujuan kami masing-masing.
"Lalu, kenapa kamu gak buka sendiri aja, sih, Mas?"
"Apa gunanya aku kasih mahar 100 juta kalau aku mau pakai kamu aja harus aku sendiri yang buka baju."
Oh, Tuhan…dia masih saja membahas mahar 100 juta yang aku minta. Maunya apa coba? Bahas ini di malam pengantin kami. Mau menunjukkan betapa murahannya aku?
Ada yang bilang kalau aku ini murahan, sih!
"Din, cepet!"
Aku beringsut maju, mendekati Inder. Perlahan tanganku memegang sisi kaos putih yang dikenakan Inder.
"Lama amat sih, Din!"
"Kalau mau cepet ya buka sendiri," ketusku.
"Sudah aku bilang aku sudah—"
"Ya, kamu sudah memberiku mahar 100 juta. Puas!" Aku menyela.
"Bagus. Makanya bekerja dengan baik," timpalnya.
Aku pun, secara perlahan mengangkat kaos Inder, mulai melucutinya. Namun kualihkan pandanganku ke samping.
"Dih, apaan, sih. Gak usah sok jaim." Tangan kekar Inder meraih wajahku dan menghadapkan ke arahnya.
"Mas, tunggu!" Aku menghentikan Inder saat wajahnya hendak didekatkan dengan wajahku.
"Apa?" Pertanyaan Inder terdengar protes.
"Aku mendadak kebelet."
Inder menarik tangannya dari wajahku. Tak lupa ia mendesah kecewa.
"Cepatan!" ketusnya.
Tanpa buang-buang waktu. Aku segera berlari ke arah kamar mandi dan masuk ke dalam sana.
****
Entah sudah berapa lama aku berada di kamar mandi tanpa ngapa-ngapain. Tadi itu hanya alasanku saja yang bilang mules. Padahal sama sekali tidak. Aku hanya grogi, gugup, takut dan tak siap menjadi satu.
Ah…kenapa mendadak aku takut disentuh oleh Inder, sih. Bukannya aku suka orang ganteng? Dan Inder ganteng.
Tapi kenapa aku setakut ini. Bukankah aku ingin sekali disentuh oleh orang ganteng. Apa mungkin…karena Inder tak mencintaiku? Berbeda dengan diriku, yang awalnya tak suka namun jadi suka saat melihat tampang rupawan Inder, saat aku baru melihat untuk pertama kalinya, setelah membuat status Facebook.
Mungkin iya. Aku tak siap dan gugup sebab Inder akan melakukan malam pengantin kami bukan karena cinta. Melainkan…kami punya tujuan masing-masing dari pernikahan ini.
Inder karena ingin mendapatkan perusahaan mamanya, yang takut akan dikuasai oleh saudara tirinya, Andra. Anak bawaan dari istri kedua papa Inder.
Padahal aku tahu jelas Inder punya kekasih, namanya Cleopatra. Sudah bisa dibayangkan, bukan, secantik apa kekasih Inder. Dari namanya sudah sangat indah, apalagi orangnya.
Jelas sangat cantik kekasih Inder. Aku saja yang wanita ikut suka melihat keindahan mantan Inder.
Sedangkan aku…aku mau menikahi Inder sebab biar ada yang biayai kuliahku. Yang saat ini tengah kuliah jurusan bidan.
Oleh karena itu aku mengorbankan diri, bahkan oleh orang-orang, ada yang menganggapku, kalau aku sedang menjual tubuhku pada Inder, dengan minta mahar 100 juta dan juga membiayai kuliah.
Tapi…mengorbankan diri pada orang ganteng itu tak rugi. Itu menurut Inggit, adikku. Lagi pula…aku berharap suatu saat nanti Inder akan mencintaiku.
Kalau di likir-pikir. Aku memang secara tidak langsung menjual diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, aku gak punya uang untuk melanjutkan kuliah. Apalagi biaya sekolah kebidanan itu tidaklah sedikit. Sedangkan Emakku hanya seorang janda yang kerja sehari-harinya menjaga toko. Belum lagi kedua adikku yang keduanya.
Ringgit, atau yang biasa dipanggil Inggit untungnya sudah lulus S1, dan sekarang ia sudah bekerja di salah satu bank. Gadis cantik yang umurnya hanya selisih satu tahun lebih beberapa bulan itu memang mempunya kecerdasan diatas rata-rata. Karenanya ia menempuh S-1 dengan kecepatan.
Dan adikku Dirham, adik bungsu laki-lakiku, dia masih kuliah di semester 2. Saat ini hanya Inggit yang bisa memberikan uang untuk Emak.
Kalau aku…aku hanya bisa beri sekedarnya, sebab bayaran kuliahku saja tiap semesternya sudah besar. Belum lagi buat biaya lainnya. Yang tak banyak orang ketahui.
"Din. Kamu bertapa di dalam?"
Aku terkejut saat mendengar pintu kamar mandi digedor dengan kuat.
"Din? Lama amat. Kamu sengaja, ya?"
Dih, gak sabaran amat sih.
Aku pura-pura menyiram kloset. Agar nampak habis buang air.
"Kenapa? Kamu menghindar?" Setelah membuka pintu ia langsung menyemprotku.
"B-bukan begitu—"
"Kamu takut? Atau kamu…."
Aku hanya berdecak kesal. Heran, laki-laki kok banyak omongnya.
"Aku gak menghindar, kok." Aku berjalan melewatinya, menuju ranjang.
"Aku pikir, kau mau menikahiku hanya sebatas tujuan saja, sama sepertiku. Tak perlu berperan jadi suami, atau jadi istri. Apalagi—"
"Enak saja kalau gitu." Inder motong cepat.
Keningku mengkerut.
"Aku sudah membayarmu mahal. Tapi aku tak bisa berbuat apapun denganmu. Kamu pikir ini film, yang hanya aku anggurkan istri di malam pertamanya meskipun tak mencintainya. Namun ia akan menyentuhnya saat ia mulai suka. Ih, tidak, aku bukan pria semacam itu."
Panjang sekali penjelasannya.
"Bukan itu maksudku." Saat ini aku sudah duduk kembali di ranjang yang tadi aku duduki.
"Apa?" Inder ikut duduk. Memberikan tatapan tajam.
"Bukankah, kau punya kekasih kalau gak salah?" Aku menatapnya dengan mata memicing.