Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Ayo, Buk. Buruan berangkat. Aku dah gak sabar pengen ketemu Bapak," Teriak bocah lelakiku yang masih berusia tiga tahun. Sudah sejak semalam anak itu terus menerus merengek, tak sabar ingin segera menjemput kepulangan Bapaknya di Terminal bus Pacitan.
Sudah dua tahun Mas Tirta merantau ke Malaysia, mengadu nasip untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami ini. Sejak Bagas baru berusia satu tahun, anak kecil itu harus rela berjauhan dengan Bapaknya. Mereka hanya sesekali bercengkrama lewat video call.
Lalu, tiga hari lalu. Ketika Mas Tirta mengabarkan kepulangannya, Bagas tiap saat selalu merengek. Bertanya kapan bapaknya akan tiba di rumah. Puncaknya adalah tadi malam, Mas Tirta memjnta kami untuk menjemput di Terminal bus.
Karena kebetulan, ia pulang berbarengan dengan Mbak Kirana, istri kakakku satu-satunya. Mas Catra. Yang setahun belakangan ini bekerja di Ibu kota. Entah karena apa, sebelum ia pergi ke sana, yang kutau sesekali terdengar pertengkaran antara mbak Kirana dan Mas Catra. Mungkin karena keadaan ekonomi yang belum stabil, hingga akhirnya Mbak Kirana memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Karena Mas Catra tidak mungkin Jauh-jauh dari rumah, keahliannya sebagai tukang kayu sering kali membuatnya kewalahan. Akibat saking banyaknya orang memesan meja kursi dan lainnya.
Maka hari ini, aku dan Bagas. Juga Mas Catra dan anaknya telah bersepakat untuk menjemput pasangan kami yang baru pulang dari perantauan. Kami meminta bantuan tetangga yang telah memiliki mobil, untuk mengantarkan kami ke Terminal.
"Ayo, Buk!" Suara Bagas lagi, ketika aku masih memasang cardigan dengan terburu-buru. Lalu segera menyusul bocah yang sudah bersemangat itu, menuju mobil di halaman.
"Pak De udah datang belum?" Tanyaku memastikan.
"Udah, kok. Tuh, Pak De sama Mbak Mega nunguin di depan." Tunjuknya ke arah luar, ketika tangan mungilnya kugandeng melewati pintu depan dan menguncinya.
"Mbak!" Anak lelakiku berseru. Berhambur ke arah Mbaknya yang hanya berselisih satu tahun saja. Sejak kecil mereka terbiasa main bersama karena rumah kami yang memang berdekatan.
Ia mendekat sepupunya yang sudah berlonjak kegirangan. Berebut masuk mobil ketika Pak Anding membuka pintunya.
"Pelan-pelan, masuknya gantian," Ucap Mas Catra. Pria penyabar itu terkadang menemani dua bocah balita ketika aku sedang repot, atau pergi ke pasar. Begitu juga jika Mas Catra sedang ada panggilan kerja, anaknya akan dititipkan di rumahku.
Saking seringnya bersama, membuat anak kami saling menyayangi satu sama lain. Seperti saudara kandung sendiri.
"Apa mereka sudah sampai di Terminal?" Tanya Mas Catra ketika kami sudah berada di dalam mobil yang melaju kencang. Sementara anak-anak kami berceloteh riang.
"Mungkin sudah, Mas. Emang Mbak Kirana ndak ngasih kabar?" Tanyaku pada Mas Catra. Ia hanya menggeleng, "cuma tadi pagi, katanya sekitar jam tiga sore nyampai terminal," Jawabnya langsung menunduk. Aneh sekali, istri pulang kok wajahnya ditekuk? Tanyaku dalam hati. Namun, tak sampai hati menanyakan. Mengingat, pertengkaran yang kerap terjadi di antara mereka.
Pikiranku kembali ketika benda pipih dalam tas berbunyi nyaring. Nama Mas Tirta memenuhi layar. Sebelum menekan tombol hijau, terlebih dahulu kuarahkan layar itu pada Mas Catra. Agar ia tau, yang ditunggu mungkin sudah tiba di terminal.
"Iya, Mas?" Sapaku pada suami di seberang telepon.
"Udah berangkat, belum? Aku sama Mbak Kirana udah di Terminal ini," Suara Mas Tirta timbul tenggelam karena riuhnya suara di sana.
"Iya, Mas. Kami sudah perjalanan, sebentar lagi sampai kok," Jawabku menenangkan Mas Tirta yang sepertinya sudah lelah. Perjalanan jauh mungkin saja membutuhkan untuk segera merebahkan badan.
"Ok. Tak tunggu, ya,"
"Iya, Mas," Jawabku menenangkan sebelum sambungan telepon itu terputus. Lalu menengok ke arah Mas Catra yang memasang muka penuh tanya.
"Mereka sudah sampai, Mas," Ucapku penuh semangat. Jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan belahan jiwa yang telah sekian lama berpisah.