Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Pagi itu, di ruang tamu yang sepi, Maya duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh suaminya, Dewa. Pemandangan luar jendela, langit yang tampak kelabu, seolah mencerminkan perasaannya. Di tangannya, selembar surat yang Dewa tulis sebelum keberangkatannya beberapa minggu lalu.
"Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Kata-kata itu terus berulang di benaknya, meskipun kenyataan sudah mulai terasa berbeda. Dewa berangkat ke luar negeri untuk pekerjaan yang ia ambil dengan berat hati. Maya tahu itu, namun ia tak bisa menahan perasaan berat di dadanya. Mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang sangat ia cintai tak pernah semudah yang ia bayangkan.
Pintu rumah berderit, dan Maya mengangkat wajahnya. Sosok Dewa muncul di ambang pintu, mengenakan jas hujan dan wajah yang tampak lelah. Ia baru saja kembali setelah berhari-hari mempersiapkan perpisahan yang tak terhindarkan.
"Sudah waktunya, Maya," kata Dewa sambil menghela napas panjang. Ia menutup pintu dengan pelan, berjalan mendekat ke Maya.
Maya menatapnya dengan pandangan penuh rasa sayang, tapi ada juga ketegangan yang terpendam di matanya. "Aku tahu," jawabnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa hancur. "Tapi aku tidak siap, Dewa."
Dewa duduk di sebelahnya, mengambil tangan Maya dalam genggamannya. "Kamu harus siap. Aku tidak bisa menunda kesempatan ini." Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa disembunyikan.
Maya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Aku tahu. Aku hanya... aku hanya takut kehilanganmu. Seperti ini, jarak yang memisahkan kita, bagaimana kita bisa bertahan?"
Dewa mengelus punggung tangannya dengan lembut. "Kita sudah bertahan selama ini, Maya. Cinta kita bukan soal jarak. Ini hanya sementara. Aku akan kembali. Kamu tahu itu."
Maya menundukkan kepala, memejamkan mata sejenak. "Berapa lama? Seminggu? Sebulan? Atau bertahun-tahun?"
Dewa menarik napas, mencoba menjelaskan. "Aku akan bekerja di sana untuk proyek besar, Maya. Tidak ada yang tahu berapa lama. Tapi aku janji, setelah itu, aku akan pulang. Kita akan bersama lagi."
Namun, meskipun kata-kata Dewa terdengar meyakinkan, hati Maya masih merasa bimbang. Cinta memang tidak mengenal jarak, tetapi Maya merasa ada yang hilang setiap kali Dewa berada jauh darinya. Ada ruang kosong yang tidak bisa ia isi dengan apa pun.
"Aku akan menunggumu. Seperti yang aku janjikan."
Maya akhirnya berkata dengan lembut, suaranya hampir tak terdengar. Tapi itu adalah janji yang ia buat untuk dirinya sendiri, sebuah tekad yang kuat meskipun hatinya ragu.
Dewa mencium kening Maya dengan penuh cinta, lalu berdiri, menatapnya dengan tatapan yang dalam. "Kamu selalu bisa mengandalkanku, Maya. Kamu tidak akan pernah kesepian. Aku akan selalu ada, meskipun tidak terlihat."
"Jangan lupakan aku," bisik Maya, suaranya serak.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?" jawab Dewa, dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya. "Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu, Maya. Justru karena cintaku padamu, aku harus melakukan ini. Untuk kita."
Maya menundukkan wajahnya, menggenggam erat tangan Dewa. "Aku akan menunggumu, Dewa. Aku akan menunggu sampai kamu kembali."
Maya melihat Dewa mundur, perlahan. Wajahnya yang dulu tampak penuh semangat kini terlihat lebih berat, seperti menanggung beban yang sama besarnya dengan yang dirasakan Maya. Dewa melangkah mundur ke pintu, lalu berhenti, menatap Maya satu kali lagi. Matanya penuh dengan kepedihan dan cinta yang tak terungkapkan.
"Sampai jumpa, Maya. Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh waktu."
Maya hanya mampu mengangguk, meskipun air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Ia berdiri, menatap suaminya yang perlahan meninggalkan rumah mereka. Hati Maya terasa retak, tetapi ia berjanji dalam hati, ia akan tetap menunggu.
Begitu Dewa meninggalkan rumah, Maya merasakan kesepian yang begitu dalam. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, tak bisa ia temukan. Namun, ia tahu bahwa cinta sejatinya tidak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berjalan.
"Aku akan menunggumu, Dewa. Sampai kamu kembali."
Dewa: "Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Maya: "Aku tahu. Tapi aku tidak siap, Dewa."
Dewa: "Kamu harus siap. Aku tidak bisa menunda kesempatan ini."
Maya: "Tapi bagaimana kita bisa bertahan, Dewa? Jarak ini... terasa semakin memisahkan kita."
Dewa: "Kita sudah bertahan selama ini, Maya. Cinta kita bukan soal jarak. Ini hanya sementara."
Maya: "Berapa lama? Seminggu? Sebulan? Atau bertahun-tahun?"
Dewa: "Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Maya: "Aku akan menunggumu."
Dewa: "Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh waktu."
Maya: "Aku akan menunggu, Dewa. Sampai kamu kembali."
Maya duduk kembali di kursi yang tadi ditempati oleh Dewa, matanya masih menatap kosong ke luar jendela. Tetesan hujan perlahan mulai turun, mengaburkan pemandangan. Wajah Dewa yang terakhir kali ia lihat-wajah yang penuh harapan-terbayang jelas dalam benaknya. Ia tahu perpisahan ini bukanlah perpisahan selamanya, namun entah mengapa, ada rasa takut yang merayapi hatinya. Takut jika janji-janji yang diucapkan suaminya hanya akan menjadi kata-kata kosong. Takut jika ia terlalu lama menunggu dalam kesendirian.
"Maya, kamu harus kuat."
Itulah pesan terakhir Dewa sebelum pergi. Namun, apakah ia benar-benar bisa kuat tanpa kehadiran Dewa di sisinya?
Hari-hari berlalu dengan lambat. Maya berusaha untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan Dewa selalu ada di setiap sudut rumah mereka. Ia kembali bekerja di kantornya, menyibukkan diri dengan proyek-proyek baru. Namun, setiap kali ia pulang, rumah itu terasa semakin sunyi. Suara derap langkah kaki yang dulu selalu ia dengar kini tak ada. Hanya ada gemerisik angin yang masuk melalui celah jendela.
Maya berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kekosongan yang menggerogoti hatinya. Ia mencoba untuk tetap tegar, seperti yang Dewa harapkan. Namun, di malam-malam sepi, saat ia duduk sendiri di meja makan, rasa rindu itu datang menghantui. Ia membuka kotak kecil di meja kerjanya-kotak yang berisi surat-surat dari Dewa. Surat-surat itu selalu ia baca berulang kali, mencari kekuatan dari kata-kata yang tertulis di sana.
"Maya, kamu adalah cintaku yang abadi. Jauh dari sini, aku selalu memikirkanmu."
Tapi meskipun Maya ingin mempercayai kata-kata itu, ada kalanya keraguan datang begitu saja. Apakah Dewa merasakan hal yang sama? Apakah ia benar-benar menunggunya kembali?
Suatu sore, saat Maya sedang berjalan pulang dari kantor, ia melihat seseorang yang tampak familiar di depan kafe favorit mereka. Arman, sahabat lama yang selalu ada di setiap momen penting dalam hidupnya. Arman adalah sosok yang baik hati, selalu memberikan dukungan saat ia merasa lelah dan putus asa. Beberapa kali, Arman menawarkan untuk mengajak Maya keluar, sekadar berbincang untuk mengalihkan pikirannya.
"Arman?" Maya memanggil lembut.
Arman menoleh, dan senyum hangat terukir di wajahnya begitu melihat Maya. "Maya! Apa kabar?" Ia berjalan mendekat, matanya penuh dengan perhatian. "Aku sudah lama tidak melihatmu. Bagaimana pekerjaanmu? Bagaimana Dewa?"
Maya tersenyum kecil, meski hatinya merasa sedikit cemas. "Dewa masih di luar negeri. Dia sibuk dengan pekerjaan, seperti biasa," jawabnya, mencoba terdengar ringan.
Arman mengangguk, namun Maya bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya. Sesuatu yang lebih dalam. "Aku tahu betapa beratnya kamu menjalani ini, Maya," Arman berkata dengan suara yang lebih serius. "Kamu sudah menunggu begitu lama. Apakah kamu yakin bisa terus begini? Tanpa tahu kapan Dewa akan kembali?"
Maya terdiam, terkejut dengan pertanyaan itu. Arman selalu tahu cara menembus dinding pertahanannya. "Aku janji akan menunggunya," jawab Maya, sedikit ragu. "Aku tahu itu bukan hal yang mudah, tapi... aku harus percaya padanya."
Arman menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata itu. "Maya, kamu adalah wanita yang luar biasa. Aku tahu kamu kuat. Tapi, kadang, menunggu juga bisa menyakitkan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu, kapan pun kamu membutuhkan teman."
Maya merasakan sesuatu yang berbeda dalam hati kecilnya. Sebuah dorongan untuk melangkah keluar dari kesepian yang selama ini ia rasakan. Namun, ia kembali mengingat janji yang ia buat pada Dewa, dan rasa bersalah itu muncul. "Arman... aku menghargai perhatianmu, tapi aku masih mencintainya. Hanya dia yang bisa membuat hatiku utuh."
Arman tersenyum, meskipun senyum itu tampak sedikit terpaksa. "Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu bahagia, Maya. Jika menunggu adalah yang terbaik untukmu, maka aku akan mendukungmu."
Maya menundukkan kepala, merasakan rasa terima kasih yang mendalam pada Arman. Ia tahu, persahabatan mereka sudah terjalin begitu lama, dan Arman adalah orang yang selalu ada dalam hidupnya, baik atau buruk.
Malam itu, saat Maya kembali ke rumah, ia berdiri di depan cermin besar yang ada di ruang tamu mereka. Wajahnya yang lelah tercermin dengan jelas. Ia tahu ia sedang berada di persimpangan jalan-antara kesetiaan pada suaminya dan keinginan untuk mengisi kekosongan yang terus menggerogoti hatinya.
Namun, saat ia menatap cincin kawinnya yang masih melingkar di jari manisnya, Maya merasa sedikit tenang. Cinta mereka mungkin terhalang jarak, namun itu tidak pernah pudar. Sekeping cinta yang ia miliki, meskipun terasa rapuh, tetap ada.
Maya meletakkan tangan di dada, mencoba merasakan kehadiran Dewa meskipun ia tahu suaminya tidak ada di sana. "Aku akan menunggumu," bisiknya pelan. "Sekalipun hati ini mulai terasa berat, aku akan tetap menunggu."
Malam itu, setelah menutup jendela dan mematikan lampu, Maya merasa sedikit lebih damai. Ia tahu, meskipun jalan ini penuh dengan ketidakpastian, ia akan tetap bertahan, karena cintanya kepada Dewa tak akan pernah pudar.
Bersambung...
Buku lain oleh ELESER
Selebihnya