Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Hari itu adalah hari pertama sekolah, dan Rina merasa campur aduk antara semangat dan gugup. Ia berdiri di depan cermin, menyesuaikan dasarnya yang berwarna merah muda, berharap penampilannya cukup bagus untuk menarik perhatian teman-teman baru.
Saat Rina melangkah ke kelas, suara tawa dan percakapan mengalun di udara. Matanya melirik sekeliling, dan tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan papan tulis. Dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan dan senyum cerah yang menawan, Dika memperkenalkan dirinya kepada kelas.
"Halo semuanya! Nama saya Dika. Saya sangat senang bisa belajar bersama kalian di sini!"
Rina merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Senyum Dika seolah memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya sulit beralih pandangan. Rina berbisik kepada dirinya sendiri, "Dia terlihat sangat ramah."
Setelah Dika selesai memperkenalkan diri, Rina merasa ada dorongan untuk membuat kesan yang baik. Ia teringat sekotak permen warna-warni yang ia bawa dalam tas. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri untuk melakukan sesuatu yang berani. Dengan langkah mantap, Rina berjalan ke arah Dika.
"Hai, Dika!" sapanya dengan suara pelan namun ceria. "Ini untuk kamu." Rina mengulurkan kotak kecil berisi permen kepada Dika.
Dika menatap Rina dengan kejutan. "Wow, terima kasih, Rina! Ini sangat manis!"
Rina tersenyum, merasakan wajahnya memanas. "Aku harap kamu suka."
Dika membuka kotak permen dan mengambil satu. "Mmm... rasa stroberi! Ini favoritku!"
"Serius?" Rina terkejut. "Aku juga suka rasa itu!"
Dika tertawa, dan Rina merasakan perasaan hangat di dalam hatinya. "Kalau begitu, kita bisa makan permen ini bersama nanti!"
"Ya, tentu!" jawab Rina, berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Saat Dika mulai berbincang dengan teman-teman lain, Rina kembali ke bangkunya, mencoba menenangkan detakan jantungnya.
Dalam benaknya, Rina tidak bisa berhenti berpikir tentang Dika. Kenapa ia merasa senang sekali? Rina teringat betapa Dika terlihat bersinar ketika dia tersenyum. Dalam pikirannya, Rina mulai membayangkan semua momen indah yang bisa mereka lalui bersama, hanya dengan permen manis sebagai awalnya.
Sejak hari itu, pertemuan pertama mereka menjadi awal dari perasaan yang lebih besar. Rina sudah bertekad, ia akan memberikan permen manis lainnya untuk Dika setiap hari. Siapa tahu, mungkin permen-permen itu bisa menjadi jembatan menuju persahabatan yang lebih dalam.
Rina melanjutkan hari-harinya dengan semangat baru. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia selalu memastikan untuk membawa permen dalam tasnya, berharap bisa membuat Dika tersenyum lebih banyak lagi.
"Satu permen untuk Dika, satu senyuman untukku," bisiknya, membayangkan setiap pertemuan akan membawa mereka lebih dekat.
Dengan harapan dan rasa percaya diri yang tumbuh, Rina bersiap untuk hari-hari selanjutnya. Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.
Hari-hari berlalu, dan Rina semakin menikmati waktu di sekolah. Setiap pagi, saat ia memasukkan kotak permen ke dalam tasnya, ada semangat baru yang muncul dalam hatinya. Ia menunggu-nunggu momen saat bisa memberikan permen kepada Dika, dan setiap kali Dika tersenyum saat menerima permen, Rina merasa seolah dunia ini milik mereka berdua.
Suatu hari, saat pelajaran olahraga, Rina melihat Dika berlari dengan lincah, bersorak bersama teman-temannya. Dengan segenap keberanian, Rina memutuskan untuk mendekatinya saat mereka semua sedang istirahat.
"Hai, Dika!" Rina memanggil, suaranya penuh antusias.
Dika menoleh dan tersenyum lebar. "Hai, Rina! Mau ikut bermain bola?"
"Boleh, tapi aku tidak terlalu pandai," Rina menjawab dengan sedikit ragu.
"Gak apa-apa! Yang penting seru," Dika meyakinkan. "Ayo, kita coba!"
Mereka bergabung dengan teman-teman lain, dan Rina merasa bersemangat meski tidak yakin bisa bermain dengan baik. Ketika Dika mengoper bola kepadanya, Rina berusaha menangkapnya, tetapi bola meluncur tepat di antara kakinya.
"Oops! Maaf!" Rina cepat-cepat berusaha mengumpulkan keberaniannya.
Dika tertawa kecil, "Gak apa-apa, itu normal! Ayo, coba lagi!"
Setelah beberapa kali berusaha, Rina akhirnya berhasil mengoper bola ke Dika. Saat Dika menerima operannya, wajahnya berseri-seri. "Bagus, Rina! Kamu bisa!"
Rina merasa dadanya berdebar mendengar pujian itu. "Terima kasih, Dika!" Ia merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.
Setelah bermain, mereka duduk di bangku taman yang teduh. Dika mengeluarkan minumannya, dan Rina mengambil kesempatan itu untuk mengeluarkan kotak permen yang selalu ia bawa.
"Dika, mau permen?" Rina bertanya sambil tersenyum.
"Pasti! Ini hari yang menyenangkan," jawab Dika, menerima permen yang diberikan Rina.
Ketika mereka mengunyah permen itu, Dika mengedipkan mata. "Rina, permenmu ini selalu jadi penyemangat. Kamu tahu, aku juga mau memberikan sesuatu buat kamu."
"Serius? Apa itu?" tanya Rina penasaran.
Dika mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya. "Aku bikin kartu ucapan, untuk terima kasih sudah jadi teman yang baik. Coba baca!"
Rina membuka kertas itu, dan di dalamnya tertulis: "Rina, terima kasih sudah jadi teman yang selalu ceria. Kamu membuat hari-hariku lebih manis! – Dika"
Rina terkejut dan merasa wajahnya memerah. "Dika, ini sangat manis! Terima kasih!"
Dika tersenyum lebar. "Sama-sama! Kita saling memberi semangat, kan?"
"Ya! Kita memang harus saling mendukung," Rina setuju, merasa hati mereka terhubung dengan cara yang indah.
Saat jam pelajaran berakhir, Rina berjalan pulang dengan perasaan ringan. Dia tahu, hubungan mereka baru saja dimulai. Dengan permen dan senyuman, ia berharap bisa membangun sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Dia membayangkan bagaimana rasanya saat Dika bisa menjadi lebih dari sekadar teman.
Dengan perasaan penuh harapan, Rina bertekad untuk terus memberikan permen manisnya, bukan hanya untuk Dika, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dan di dalam hati kecilnya, Rina tahu, permen manis itu bukan hanya tentang rasa manis, tetapi tentang hubungan yang semakin mendalam antara mereka.
Rina menatap langit senja yang memerah, berdoa agar besok bisa lebih baik dari hari ini. Di dalam hatinya, ada harapan bahwa suatu saat, ia bisa mengungkapkan semua perasaannya yang tulus kepada Dika, dan mengubah hubungan mereka menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman.
Hari-hari setelahnya terasa seperti mimpi bagi Rina. Setiap kali dia memberikan permen kepada Dika, dia merasa seolah permen itu bukan hanya sekadar makanan manis, tetapi lambang dari perasaan yang semakin tumbuh di dalam hatinya. Semangatnya untuk bersekolah semakin besar, dan kehadiran Dika membuat segalanya menjadi lebih ceria.
Suatu sore, saat pelajaran seni, Rina dan Dika ditugaskan untuk bekerja sama dalam membuat poster. Rina merasa berdebar, senang bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Dika.
"Rina, kamu bisa gambar bunga, kan?" tanya Dika sambil melihat sekeliling.
"Bisa, tapi aku tidak terlalu yakin dengan hasilnya," Rina menjawab sambil tersenyum malu.
"Tenang saja, kita belajar bersama! Ayo, kita buat yang terbaik!" Dika membalas penuh semangat. Mereka mulai menggambar dengan krayon berwarna-warni, bercanda dan tertawa saat menggambar bunga-bunga lucu.
Saat mereka sedang asyik menggambar, Dika melihat ke arah Rina. "Eh, Rina, kenapa kamu selalu bawa permen? Apa kamu suka banget sama permen?"
Rina merasa sedikit gugup. "Iya, aku suka. Tapi... lebih dari itu, aku ingin memberikan sedikit kebahagiaan kepada teman-temanku," jawabnya dengan suara lembut.
Dika tersenyum dan mengangguk. "Kamu tahu, permenmu itu bikin semua orang jadi lebih senang. Termasuk aku!" Ia menjulurkan tangannya, meminta satu permen lagi.
Rina tidak bisa menahan senyum. "Ya, ini untukmu!" Dia memberikan permen stroberi kesukaannya.
"Terima kasih, Rina!" Dika menggigit permen dengan penuh semangat, seolah permen itu adalah hadiah terbaik yang pernah diterimanya.
Ketika mereka melanjutkan menggambar, Rina merasa ada sesuatu yang berbeda. Kehangatan yang dia rasakan saat bersam Dika semakin intens, seolah mereka adalah dua sahabat yang telah bertahun-tahun bersama.
"Dika," Rina memulai, "kalau kamu bisa punya satu keinginan, apa yang ingin kamu dapatkan?"
Dika berpikir sejenak, lalu menjawab dengan serius, "Aku ingin bisa melakukan sesuatu yang hebat, mungkin menjadi pemain sepak bola terkenal atau penggambar handal. Apa kamu?"
Rina tersenyum, teringat impiannya menjadi penulis. "Aku ingin menulis cerita yang bisa menginspirasi banyak orang."
"Wow, itu luar biasa! Aku yakin kamu bisa melakukannya, Rina!" Dika bersemangat, membuat Rina merasa hatinya menghangat.
Beberapa saat kemudian, bel berbunyi, menandakan bahwa waktu untuk pelajaran seni telah habis. Dika dan Rina melihat hasil karya mereka-sebuah poster ceria dengan gambar bunga berwarna-warni.
"Kita berhasil, Rina! Ini keren!" Dika berkata dengan bangga.
Rina mengangguk, merasa bahagia. "Iya! Kita harus membuat lebih banyak poster bersama!"
Dika tersenyum lebar. "Aku ingin bisa melakukan lebih banyak hal bersamamu. Kamu sahabatku yang terbaik, Rina."
Rina merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Sahabat? Apakah itu cukup? Dia ingin lebih dari sekadar sahabat, tapi dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya.
Ketika mereka berjalan pulang, Rina terus memikirkan kata-kata Dika. Ia ingin mengungkapkan lebih banyak, tetapi rasa takut menyelimuti hatinya.
Setibanya di rumah, Rina berbaring di tempat tidurnya, menatap langit malam melalui jendela. Apa yang harus aku lakukan? pikirnya.
Rina berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memberikan permen manisnya kepada Dika. Setiap permen adalah langkah kecil untuk membangun jembatan menuju hatinya. Dia tahu bahwa suatu hari, ia harus menemukan keberanian untuk menyampaikan perasaannya yang tulus.
Dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan, Rina menutup matanya, berharap bahwa pertemuan-pertemuan mereka di masa depan akan membawa mereka lebih dekat, dan bahwa ia bisa mengungkapkan cinta yang tumbuh di dalam hatinya-cinta yang manis seperti permen yang selalu ia berikan kepada Dika.
bersambung
Buku lain oleh ELESER
Selebihnya