Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TAKDIR PENGKHIANAT

TAKDIR PENGKHIANAT

ELESER

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.

Bab 1 Bunga yang Layu

Dulu, pernikahan Lisa dan Dimas penuh warna. Mereka adalah pasangan yang saling mendukung, saling mengasihi, dan tak pernah kehabisan alasan untuk tertawa. Namun, waktu berlalu, dan bunga cinta yang dulu mekar di hati Lisa kini perlahan layu. Hubungan mereka menjadi dingin, tak lagi dipenuhi percakapan dan tawa seperti dulu.

Pagi itu, Lisa duduk di meja makan sambil memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin. Dimas datang ke ruang makan sambil mengecek ponselnya, tanpa melihat ke arah Lisa. Keheningan terasa begitu pekat di antara mereka.

Lisa menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan.

Lisa: "Mas, akhir-akhir ini kita jarang ngobrol. Aku merasa... ada yang hilang di antara kita."

Dimas menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. Dia menghela napas singkat sebelum menjawab.

Dimas: "Memangnya kenapa? Kita masih tinggal serumah, tidur di ranjang yang sama. Apa yang kurang?"

Lisa menggigit bibirnya, mencoba meredam perasaan sakit hati yang perlahan muncul. Jawaban Dimas terasa dingin, hampir tak peduli.

Lisa: "Itu bukan sekadar tinggal serumah, Mas. Aku merasa... kita seperti dua orang asing yang berbagi ruang, tapi tidak benar-benar bersama."

Dimas mendengus kecil, lalu meletakkan ponselnya di meja. Wajahnya menunjukkan ekspresi lelah.

Dimas: "Lisa, kita sudah dewasa. Ini bukan masa-masa pacaran lagi. Tanggung jawab semakin banyak, kerjaan makin berat. Aku nggak punya waktu untuk hal-hal romantis seperti dulu."

Lisa tertunduk, merasakan perasaan hampa yang kian menyesakkan dadanya. Dulu, Dimas adalah pria yang selalu membuatnya merasa spesial. Tapi kini, kata-kata romantis berubah menjadi rutinitas, dan kebersamaan mereka terasa hambar.

Lisa: "Aku rindu Dimas yang dulu, yang selalu menanyakan kabarku, yang peduli padaku. Aku merasa sendirian, Mas..."

Dimas terdiam, seolah tak tahu harus berkata apa. Ia menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya.

Dimas: "Aku juga lelah, Lisa. Aku bekerja keras supaya kita bisa hidup nyaman. Apa itu nggak cukup?"

Lisa menatap suaminya, mencoba memahami dari mana datangnya perubahan ini. Namun, pertanyaan di kepalanya tetap berputar, tanpa jawaban.

Lisa: "Apa yang sebenarnya terjadi pada kita, Mas? Apa aku kurang berusaha untuk menjadi istri yang baik?"

Dimas tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Lisa sejenak, lalu berdiri dan mengambil tas kerjanya. Saat hendak melangkah keluar, ia berkata pelan.

Dimas: "Mungkin kita hanya butuh waktu. Aku harus berangkat sekarang."

Tanpa menunggu jawaban, Dimas meninggalkan Lisa sendirian di meja makan. Lisa hanya bisa menatap pintu yang tertutup di depannya, merasakan rasa sakit yang menyelinap ke dalam hatinya.

Sepulang kerja, Lisa mencoba untuk menyibukkan diri di rumah. Dia memasak makan malam, berharap Dimas akan menyukainya. Namun, ketika Dimas pulang, ia hanya mengambil makanannya tanpa banyak berkata-kata, kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaannya di ruang kerja.

Malam itu, Lisa tidak tahan lagi. Ia mengetuk pintu ruang kerja, dan Dimas membuka pintu sambil menghela napas panjang.

Lisa: "Mas, kita harus bicara."

Dimas meletakkan kertas-kertasnya dan menatap Lisa dengan wajah lelah.

Dimas: "Apa lagi sekarang, Lisa? Aku benar-benar capek."

Lisa: "Itulah masalahnya, Mas. Aku selalu merasa kamu lebih peduli pada pekerjaan daripada padaku."

Dimas menatap Lisa dalam diam, lalu menggelengkan kepalanya.

Dimas: "Lisa, ini bukan soal siapa yang lebih penting. Ini soal tanggung jawab. Kita butuh uang, kita butuh kestabilan."

Lisa menggeleng, merasa putus asa dengan jawaban yang sama berulang kali.

Lisa: "Apakah kita benar-benar butuh semua itu jika kita kehilangan rasa cinta di antara kita?"

Dimas terdiam, tatapannya berubah dingin.

Dimas: "Aku nggak tahu, Lisa. Mungkin kamu yang terlalu banyak berharap."

Setelah itu, Dimas kembali ke ruang kerja, meninggalkan Lisa dengan perasaan yang semakin hampa. Malam itu, Lisa hanya bisa merenung, bertanya-tanya apakah cinta mereka yang dulu indah telah benar-benar pudar atau hanya terpendam di balik beban kehidupan yang menyesakkan.

Lisa duduk di ranjang, matanya menatap ke arah jendela kamar yang gelap. Pikirannya penuh dengan kenangan masa lalu, saat semuanya terasa lebih sederhana dan cinta mereka masih kuat. Dulu, ia dan Dimas selalu bersemangat untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi sekarang, bahkan senyuman dari suaminya terasa langka. Rasa rindu pada sosok Dimas yang dulu semakin membesar di hatinya.

Malam semakin larut, namun tidur tak kunjung datang. Lisa memutuskan untuk turun ke dapur, membuat secangkir teh hangat, berharap bisa menenangkan pikirannya. Ketika dia sedang mengaduk teh dengan pelan, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang kerja. Dimas keluar, tampak terkejut melihat Lisa masih terjaga.

Dimas: "Kamu belum tidur?"

Lisa mengangguk pelan sambil menyesap teh, mencoba untuk tersenyum walau senyum itu tak sampai ke matanya.

Lisa: "Nggak bisa tidur. Banyak pikiran."

Dimas menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus berbicara lebih jauh atau tidak. Akhirnya, ia menarik kursi di samping meja dapur dan duduk di hadapan Lisa. Ini adalah salah satu momen langka, di mana mereka duduk berdua tanpa kehadiran ponsel, pekerjaan, atau rutinitas lainnya.

Dimas: "Apa yang bikin kamu kepikiran?"

Lisa menatap suaminya dengan penuh harap. Mungkin ini kesempatan untuk berbicara, untuk membuka diri lagi, seperti yang dulu sering mereka lakukan.

Lisa: "Aku cuma merasa... sepertinya kita makin jauh, Mas. Dulu kita selalu bisa bicara tentang apa saja, tapi sekarang, rasanya ada tembok di antara kita."

Dimas terdiam, tangannya bergerak mengusap wajahnya dengan lelah.

Dimas: "Lisa, aku tahu kita lagi nggak dalam fase yang mudah. Pekerjaan semakin berat, tuntutan makin besar. Mungkin aku nggak seperti dulu, tapi aku juga nggak pernah bermaksud buat menjauh darimu."

Lisa mengangguk, memahami beban yang Dimas bawa. Tapi tetap saja, perasaan kosong itu tidak bisa ia abaikan.

Lisa: "Aku ngerti, Mas. Tapi aku juga butuh perhatianmu, sedikit waktu bersamamu. Mungkin aku terdengar egois, tapi aku merasa seperti hidup sendirian dalam pernikahan ini."

Dimas menghela napas panjang, tatapannya mulai melunak.

Dimas: "Aku nggak pernah bermaksud buat bikin kamu merasa sendirian, Lisa. Hanya saja... mungkin aku terlalu fokus sama pekerjaan. Tapi aku janji, aku akan coba memperbaikinya."

Lisa merasakan harapan muncul di hatinya. Ia tersenyum kecil, walaupun masih ada keraguan yang tersisa.

Lisa: "Itu yang aku harapkan, Mas. Aku nggak butuh banyak, hanya ingin kita seperti dulu. Mungkin nggak sama persis, tapi... lebih baik daripada yang sekarang."

Dimas mengangguk, menyentuh tangan Lisa dengan lembut.

Dimas: "Maaf kalau aku sering membuatmu merasa kesepian. Aku akan coba untuk lebih ada buat kamu."

Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya, terasa lebih hangat, seolah ada cahaya kecil yang menyusup di antara hubungan mereka yang retak. Namun, saat Lisa hendak mengucapkan sesuatu lagi, telepon Dimas berbunyi. Dimas segera menarik tangannya dari Lisa dan mengangkat telepon, beranjak pergi tanpa memberikan penjelasan.

Lisa hanya bisa melihatnya dengan tatapan kosong. Keadaan yang baru saja terasa membaik kembali memudar. Begitu Dimas selesai berbicara di telepon, ia kembali ke dapur dengan wajah muram.

Dimas: "Maaf, Lis. Aku harus ke kantor. Ada masalah mendesak."

Kekecewaan Lisa semakin dalam, namun ia hanya mengangguk dengan lemah.

Lisa: "Sekarang?"

Dimas: "Iya, nggak bisa ditunda. Kamu tidur duluan aja, jangan tunggu aku."

Dimas mencium kening Lisa sekilas, kemudian segera beranjak pergi. Lisa hanya bisa menatap kepergiannya dengan perasaan yang berkecamuk. Janji-janji manis barusan seolah tak berarti lagi, tenggelam oleh panggilan pekerjaan yang tak pernah berhenti.

Lisa kembali duduk di meja dapur, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Dimas. Rasa hampa kembali menyergap hatinya, membuatnya bertanya-tanya, apakah ia masih bisa bertahan dalam pernikahan yang hanya berisi janji-janji tanpa kepastian?

Ketika malam semakin larut, pikirannya kembali pada perasaan hampa yang terus menggerogoti hatinya. Lisa tak bisa mengelak lagi-mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang tak lagi sama.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh ELESER

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku