Seorang wanita cantik yang merasa tidak puas dalam pernikahannya bertemu pria misterius yang membuatnya merasa hidup kembali. Hubungan ini membawanya ke dalam intrik dan pengkhianatan yang mengancam menghancurkan hidupnya.
Langit sore mulai beranjak redup ketika Maria berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong. Dari balik kaca, dia melihat taman kecil di halaman belakang yang mulai tertutup bayangan. Semua tertata rapi, indah, dan sempurna-terlalu sempurna, mungkin, seperti kehidupannya yang berulang setiap hari tanpa kejutan.
Ia mendesah panjang. Sudah beberapa bulan terakhir ini ia merasa hampa. Adrian, suaminya, adalah pria yang baik, penyayang, dan bertanggung jawab. Dalam banyak hal, dia suami yang ideal. Namun, entah kenapa, Maria merasa ada sesuatu yang hilang-perasaan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi begitu nyata di dalam hatinya.
Adrian muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuk Maria. Dia tersenyum lembut, memberikan cangkir itu pada istrinya. "Kamu baik-baik saja, Sayang?"
Maria tersenyum kecil dan mengambil cangkir itu, mencoba menutupi kekosongan yang semakin mencuat dari dalam dirinya. "Aku baik, Adrian. Terima kasih," jawabnya sambil mengambil satu tegukan.
"Apa kamu yakin?" Adrian mengerutkan keningnya, jelas merasakan ada sesuatu yang tak biasa. "Akhir-akhir ini kamu tampak lebih diam dari biasanya."
Maria terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya merasa... mungkin sedikit bosan saja," jawabnya perlahan, berusaha menjaga agar kata-katanya tidak menyakitkan.
Adrian tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Maria dengan lembut. "Kamu tahu, aku bisa mengajakmu liburan jika kamu mau. Mungkin kita butuh suasana baru?"
"Liburan..." Maria mengulangi kata itu seolah merenungkan usulan tersebut, tapi ia tahu itu bukan solusi yang sebenarnya. Masalahnya bukan hanya keinginan untuk bepergian; ada sesuatu yang lebih dalam, perasaan yang tidak bisa diatasi hanya dengan jalan-jalan atau berlibur. Ia mendesah pelan, menunduk untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya yang gelisah.
"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Maria?" tanya Adrian, suaranya terdengar khawatir.
Maria menatap suaminya sejenak, lalu menggeleng pelan. "Entahlah, Adrian... Aku hanya merasa... ada yang hilang dalam hidupku. Aku bahkan tidak tahu apa itu," ucapnya lirih, mengakui perasaan yang selama ini disimpannya sendiri.
Adrian terdiam, lalu tersenyum simpul, seolah mencoba mengabaikan kegetiran yang samar terlihat di mata Maria. "Mungkin kamu hanya terlalu lelah dengan rutinitas. Kita semua merasakannya kadang-kadang," katanya sambil menepuk bahu istrinya lembut.
Maria membalas senyum itu, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa bukan itu yang sebenarnya. Setiap hari ia merasa dirinya semakin tenggelam dalam kesunyian yang tak terucap. Meskipun dia hidup bersama pria yang selalu ada untuknya, selalu mendukungnya, ada bagian dari dirinya yang masih merasa sendiri.
Malam itu, setelah Adrian pergi tidur, Maria duduk di ruang tamu dalam kegelapan, ditemani hanya oleh bayangan yang menari-nari di dinding karena pantulan cahaya dari lampu jalan. Ia merasa asing dalam rumahnya sendiri, seolah berada dalam hidup yang bukan miliknya. Pikiran-pikiran asing mulai mengusik pikirannya, menggoda perasaannya yang mulai rapuh.
"Apa yang salah denganku?" gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri.
Ia meraih foto pernikahannya di meja dekat sofa. Di foto itu, mereka tampak begitu bahagia, penuh cinta dan harapan. Maria mengusap permukaan kaca bingkai foto itu dengan ujung jarinya, seolah mencari jawaban dalam senyum yang kini terasa seperti kenangan yang jauh.
Suara langkah kaki membuatnya tersentak. Adrian ternyata belum benar-benar tidur dan berdiri di ambang pintu, mengamati istrinya dalam keheningan.
"Kamu belum tidur?" tanya Adrian pelan, suaranya terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.
Maria tersenyum samar, memasang wajah yang berusaha terlihat tenang. "Aku hanya tidak bisa tidur, Adrian. Ada banyak hal di pikiranku."
Adrian menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Apa kamu mau bicara tentang itu?"
Maria menggeleng pelan, tahu bahwa mungkin tidak ada gunanya mencoba menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tak pahami sepenuhnya. "Terima kasih, tapi... mungkin aku hanya perlu waktu," jawabnya, sambil memandang kosong ke arah jendela, ke dunia yang sepertinya memiliki sesuatu yang lebih dari yang ia miliki sekarang.
Adrian meraih tangan Maria, menggenggamnya erat. "Kita bisa melewati ini bersama, apapun itu," katanya dengan yakin.
Maria tersenyum lagi, berterima kasih pada kebaikan suaminya, meskipun perasaan kosong itu tetap menyelinap di antara genggaman tangan mereka. Mungkin pernikahannya memang baik-baik saja, tapi ia tetap merasa ada yang hilang. Ada bagian dari dirinya yang menginginkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh Adrian-sesuatu yang lebih, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup kembali.
Di tengah malam yang sunyi, Maria menyadari bahwa hidupnya akan segera berubah. Ia tak tahu bagaimana, tapi ia merasa bahwa kebosanan ini, kekosongan ini, akan menuntunnya pada sebuah jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di luar, angin malam berdesir pelan, seolah membisikkan janji rahasia yang akan segera menghampirinya.
Keesokan paginya, Maria bangun lebih awal dari biasanya. Suara burung yang berkicau di luar jendela terasa mengganggu, bukannya menenangkan. Ia berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri sambil berpikir, mencoba mengusir kekosongan yang tak kunjung pergi.
Adrian masuk ke dapur, tampak segar dan bersemangat seperti biasanya. Ia mencium pipi Maria, lalu duduk di meja sambil menunggu sarapannya.
"Kamu tidur nyenyak?" tanya Adrian sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas.
Maria mengangguk pelan. "Lumayan," jawabnya, tanpa menyertakan senyum di wajahnya.
Adrian memandangnya, berusaha memahami apa yang mungkin mengganggu pikiran istrinya, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka duduk dalam keheningan yang aneh, saling terpisah meski hanya beberapa langkah jarak di antara mereka.
Setelah sarapan, Adrian bersiap untuk pergi bekerja. Sebelum keluar pintu, ia melirik Maria yang berdiri di depan jendela, menatap ke jalan dengan pandangan kosong.
"Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Adrian sekali lagi.
Maria berbalik, berusaha menutupi kegelisahannya dengan senyum kecil. "Ya, Adrian. Aku baik-baik saja."
"Kalau begitu, nanti malam aku akan pulang lebih cepat. Kita bisa nonton film atau pergi makan di luar, bagaimana?"
Maria tersenyum tipis, berterima kasih atas usahanya meski di dalam hati ia ragu hal-hal kecil seperti itu bisa mengubah perasaannya. "Baiklah. Sampai nanti, Adrian."
Setelah Adrian pergi, Maria merasakan ketenangan yang aneh. Dia akhirnya sendiri, tanpa tekanan untuk memasang senyum atau berpura-pura baik-baik saja. Ia kembali ke jendela, memandangi jalanan kosong. Lalu, entah dari mana, muncul pikiran untuk berjalan-jalan sendirian, keluar dari rutinitas dan mungkin menemukan sesuatu yang berbeda.
Setelah mengenakan jaket tipis dan tas tangan, Maria keluar dari rumah dan mulai menyusuri jalan-jalan kota yang ramai. Ia melangkah tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa ke mana saja. Toko-toko di sepanjang jalan mulai buka, para pejalan kaki berlalu-lalang, namun Maria tetap merasa sendiri di tengah keramaian.
Di tengah perjalanan, ia melihat sebuah kafe kecil yang tampak tenang. Kafe itu memiliki jendela besar yang menghadap ke jalan, dihiasi dengan tanaman-tanaman hijau dan bunga-bunga segar. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam, memilih meja di dekat jendela, dan memesan secangkir kopi.
Tak lama setelah itu, seorang pria memasuki kafe. Pria itu tampak tenang, namun auranya menarik perhatian Maria. Ia tampak berbeda-seolah ada sesuatu yang misterius di balik wajahnya yang tenang. Pria itu memilih duduk di meja yang tak jauh dari Maria, dan ketika pelayan datang, ia memesan secangkir espresso dengan suara rendah yang lembut.
Maria berusaha tidak terlalu memperhatikannya, tapi tatapan pria itu kemudian bertemu dengannya. Senyuman samar terukir di wajahnya, seolah menyapa tanpa kata-kata.
Merasa sedikit salah tingkah, Maria menundukkan pandangannya ke cangkir kopinya, tapi pria itu sudah memperhatikannya lagi.
"Apa kamu sering datang ke sini?" pria itu tiba-tiba bertanya, suaranya tenang namun terdengar jelas di tengah heningnya kafe.
Maria mendongak, sedikit terkejut karena diajak bicara. "Oh... tidak, ini pertama kalinya," jawabnya dengan canggung.
Pria itu tersenyum ramah, seolah menyadari kegugupannya. "Sama denganku. Tempat ini memang menarik, tenang, cocok untuk orang yang sedang mencari ketenangan."
Maria tersenyum tipis, sedikit lega karena pria itu tidak menekan untuk berbicara lebih jauh. Namun, sebelum ia sempat menundukkan pandangannya lagi, pria itu memperkenalkan diri.
"Nama saya Raka," katanya sambil mengulurkan tangan.
Maria sedikit terkejut dengan keberaniannya, tapi akhirnya membalas uluran tangannya. "Saya Maria."
Raka menatapnya dengan mata tajam, seolah mencoba menembus permukaan, membaca lebih dalam. "Senang berkenalan, Maria."
Entah kenapa, ada sesuatu dalam tatapan Raka yang membuat Maria merasa dilihat, benar-benar dilihat, sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama ini.
"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Raka sambil meminum kopinya, melanjutkan percakapan tanpa terlalu memaksa.
Maria mengangguk. "Ya, cukup dekat dari sini."
"Kadang kita butuh keluar sebentar dari rutinitas," katanya sambil menatap ke luar jendela. "Kita butuh sesuatu yang berbeda untuk menyegarkan pikiran."
Kata-kata Raka terasa seperti menggema di hati Maria. Ia merasa seolah Raka memahami apa yang ia rasakan, sesuatu yang bahkan Adrian tak bisa mengerti. Ia merasakan dorongan untuk berbicara lebih dalam, tapi menahan diri.
"Betul sekali," jawab Maria singkat, meski ada hasrat untuk membuka diri lebih banyak pada pria asing ini.
Mereka melanjutkan percakapan ringan, dari obrolan sederhana tentang kopi hingga cerita singkat tentang kota yang mereka tinggali. Maria mulai merasa nyaman, seolah bersama Raka ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berusaha menyenangkan atau menyembunyikan perasaannya.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Maria merasa ada sesuatu yang tertinggal-perasaan aneh yang ia bawa pulang bersama ke rumahnya. Meski hanya pertemuan singkat, pertemuannya dengan Raka terasa seperti angin segar di tengah hidupnya yang monoton. Ia tahu perasaan itu salah, bahwa ia telah mengizinkan seseorang memasuki ruang hatinya yang seharusnya hanya dimiliki oleh Adrian. Namun, dalam hatinya, ia juga tahu bahwa ia tak bisa menolak.
Malam itu, saat Adrian pulang dan mereka makan malam bersama, Maria tak bisa berhenti memikirkan Raka. Ia terjebak dalam perasaan bersalah yang menyiksa, tapi juga dalam kerinduan akan sesuatu yang lebih. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kesempurnaan hidupnya dengan Adrian, namun di sisi lain, ada hasrat yang menuntunnya untuk melangkah ke arah yang berbeda.
Di tengah malam yang sepi, Maria akhirnya menyadari sesuatu. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin membuat keputusan bukan berdasarkan harapan orang lain, tetapi berdasarkan keinginannya sendiri. Dan meskipun ia tak tahu ke mana perasaannya ini akan membawanya, ia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Bersambung...
Buku lain oleh ELESER
Selebihnya