Lily, pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarganya, menemukan bahwa perjodohannya dengan pria kaya raya lain hanyalah bagian dari rencana besar untuk menguasai pasar global. Namun, hatinya malah tertambat pada asisten pribadinya yang cerdas tetapi miskin.
Ruang makan keluarga Wijaya selalu memancarkan kemewahan-meja marmer berukir emas, lampu gantung kristal, dan deretan pelayan yang siap melayani setiap kebutuhan. Namun, suasana malam itu jauh dari nyaman bagi Lily Wijaya.
Ia duduk diam dengan gaun elegan berwarna merah marun yang dipilihkan ibunya. Di hadapannya, seorang pria muda berjas abu-abu tersenyum tipis. Dewa Arya, calon suaminya, berbicara dengan percaya diri, tetapi kata-katanya seperti tidak mencapai telinga Lily.
"Jadi, Lily," suara Dewa memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu tentang rencana ini? Pernikahan kita akan menjadi langkah besar untuk keluarga kita."
Lily menoleh perlahan, menatap pria itu. Ia tampak sempurna-tampan, kaya, dan berwibawa. Tapi baginya, Dewa adalah simbol dari sesuatu yang ia benci: kehilangan kebebasan.
"Aku rasa... ini terlalu cepat," jawab Lily singkat, mencoba menjaga kesopanan.
"Lily," suara ayahnya, Pak Wijaya, terdengar tegas. "Kita sudah membahas ini. Perjodohan ini bukan hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk masa depanmu. Dewa adalah pasangan yang ideal."
Lily menghela napas dalam. Masa depanku? Masa depan siapa yang kau pikirkan sebenarnya, Ayah? pikirnya, tapi ia tak berani mengatakannya.
"Tentu saja, Pak Wijaya," Dewa menimpali dengan nada penuh keyakinan. "Saya akan memastikan Lily bahagia."
Senyuman itu membuat Lily semakin merasa terjebak.
Di sudut ruangan, Rehan, asisten pribadi Lily, berdiri sambil mencatat sesuatu di iPad-nya. Pandangannya sesekali melirik Lily. Ia tahu betapa berat situasi ini baginya.
Setelah makan malam selesai, Lily dengan cepat meninggalkan ruangan, menuju balkon di lantai atas untuk menghirup udara segar. Ia berdiri di sana, memandang langit malam yang penuh bintang, tetapi pikirannya gelap.
Rehan mendekatinya perlahan, membawa secangkir teh hangat. "Tehmu, Nona."
Lily menoleh dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Rehan. Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan."
Rehan hanya mengangguk. Ia sudah bekerja untuk Lily selama lima tahun, dan selama itu pula ia memahami sisi lain dari wanita pewaris ini-seseorang yang tidak pernah bebas dari bayangan keluarganya.
"Kau terlihat gelisah malam ini," ujar Rehan, berdiri di sampingnya.
"Aku merasa seperti burung dalam sangkar emas, Rehan," Lily menjawab sambil menatap cangkir tehnya. "Semua ini... perjodohan, rencana besar ayahku. Semua terasa salah."
Rehan diam sejenak sebelum menjawab, "Terkadang, untuk menemukan kebebasan, kita harus mengambil risiko. Tapi aku yakin, kau cukup kuat untuk melakukannya."
Kata-kata itu menghangatkan hati Lily, meski hanya sedikit.
Ketika ia kembali ke kamar, ibunya, Ny. Wijaya, sudah menunggunya. Wajah ibunya serius, tetapi ada sedikit kelembutan.
"Lily, Ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu," kata Ny. Wijaya, mendekati putrinya. "Kami tidak ingin kau merasa tertekan, tapi ini adalah tanggung jawab kita sebagai keluarga."
Lily mengangkat wajahnya. "Ibu, apakah kau bahagia dengan semua ini? Hidup dalam bayang-bayang rencana Ayah?"
Pertanyaan itu membuat Ny. Wijaya terdiam. Setelah beberapa saat, ia menjawab dengan lirih, "Kebahagiaan sering kali datang belakangan, Nak. Yang penting, kita menjalankan tugas kita."
Lily tahu percakapan ini tidak akan membawa solusi. Setelah ibunya pergi, ia duduk di tepi ranjangnya, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.
"Tugas?" pikirnya. "Apa aku hanya alat untuk rencana mereka? Tidak, aku harus menemukan jalan keluarku sendiri."
Malam semakin larut, tetapi pikiran Lily tak kunjung tenang. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Di balik gaun mahal dan perhiasan berlian, ia merasa hampa.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Masuk," ujarnya pelan.
Rehan muncul dari balik pintu dengan ekspresi penuh kehati-hatian. "Maaf mengganggu, Nona. Tapi saya pikir Anda perlu ini." Ia membawa sebuah map berisi dokumen.
"Apa itu?" tanya Lily, mengernyit.
"Informasi tentang Tuan Dewa," jawab Rehan, menaruh map itu di meja. "Saya rasa Anda perlu tahu siapa sebenarnya orang yang akan Anda nikahi."
Lily terkejut. "Rehan, bagaimana kau bisa mendapatkan ini?"
Rehan tersenyum kecil. "Itu tugas saya, Nona. Saya bekerja untuk Anda, bukan keluarga Anda."
Dengan hati-hati, Lily membuka map tersebut. Foto-foto dan laporan terperinci memenuhi halaman-halaman di dalamnya. Ia membaca dengan cermat dan semakin terkejut dengan setiap kata yang ia temukan.
"Dewa memiliki... banyak sekali bisnis yang tidak jelas? Perusahaan-perusahaan cangkang? Apa ini artinya dia menggunakan keluargaku sebagai tameng?"
"Benar, Nona," ujar Rehan serius. "Beberapa perusahaan itu terhubung dengan aktivitas yang mencurigakan di luar negeri. Saya pikir, perjodohan ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga cara dia memperluas kekuasaannya."
Lily merasa dadanya sesak. Ia tahu keluarganya ambisius, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa mereka akan terlibat dengan seseorang seperti Dewa.
"Ayah dan Ibu tahu soal ini?" tanya Lily sambil menatap Rehan.
Rehan menggeleng. "Mungkin tidak semuanya. Tapi saya yakin, mereka hanya melihat peluang keuntungan tanpa menggali lebih dalam."
Lily menggigit bibirnya. "Jadi aku hanya alat, ya? Untuk membantu ambisi mereka dan pria ini."
"Tidak, Nona. Anda lebih dari itu," jawab Rehan tegas. "Itulah mengapa saya menunjukkan ini. Anda memiliki hak untuk memutuskan sendiri, bahkan jika itu berarti melawan keluarga Anda."
Kata-kata itu seperti cambuk bagi Lily. Ia menutup map itu dengan tegas.
"Aku tidak akan membiarkan mereka menentukan hidupku begitu saja, Rehan," katanya dengan nada penuh tekad. "Tapi aku tidak bisa terburu-buru. Jika aku melawan terlalu cepat, mereka akan menghancurkanku."
Rehan mengangguk. "Saya akan mendukung apa pun keputusan Anda. Tapi berhati-hatilah. Tuan Dewa bukan orang yang mudah dihadapi."
Lily tersenyum kecil. "Terima kasih, Rehan. Tanpamu, aku mungkin sudah tenggelam dalam permainan ini."
Setelah Rehan pergi, Lily duduk di meja kerjanya, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu apa yang ia inginkan-kebebasan, cinta sejati, dan kendali atas hidupnya sendiri. Namun, untuk meraihnya, ia harus menghadapi keluarganya, Dewa, dan semua intrik di balik perjodohan ini.
Malam semakin dalam, tetapi ketegangan di rumah keluarga Wijaya terasa belum usai. Di ruang kerja, Pak Wijaya duduk bersama Ny. Wijaya, membahas perjodohan Lily dan Dewa.
"Lily terlalu keras kepala," kata Pak Wijaya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari. "Dia harus mengerti bahwa ini demi masa depan keluarga."
Ny. Wijaya menghela napas. "Dia hanya butuh waktu, Mas. Bagaimanapun, pernikahan ini bukan keputusan kecil. Mungkin kita perlu lebih sabar."
"Waktu? Kita tidak punya waktu!" seru Pak Wijaya. "Dewa sudah memberikan semua dukungannya untuk proyek merger ini. Kalau Lily terus membantah, kita bisa kehilangan segalanya!"
Di lantai atas, Lily, yang tak sengaja mendengar percakapan itu dari tangga, merasakan hatinya seperti diremas. Segalanya? Aku ini apa bagi mereka? Sebuah aset?
Keesokan harinya, Lily memutuskan untuk menghadapi orang tuanya. Ia memasuki ruang makan pagi dengan langkah mantap. Pak Wijaya sudah duduk di sana, ditemani oleh ibunya dan, seperti biasa, pelayan yang melayani mereka dengan hati-hati.
"Ayah," Lily memulai, suaranya tegas. "Aku ingin membicarakan perjodohan ini."
Pak Wijaya mendongak dari korannya. "Apa lagi yang ingin kau bicarakan, Lily? Bukankah semuanya sudah jelas?"
"Tidak. Tidak ada yang jelas bagiku. Aku tidak setuju dengan pernikahan ini," tegasnya.
"Lily!" Ny. Wijaya menegur pelan, tetapi Lily tak mundur.
"Aku tahu Dewa bukan orang yang bersih, Ayah. Aku tahu dia hanya ingin menggunakan kita untuk kepentingannya sendiri. Jadi, jangan harap aku akan menerima ini tanpa perlawanan."
Pak Wijaya membanting korannya ke meja. "Kau tahu apa tentang dunia ini, Lily? Kau hanya gadis yang tumbuh di bawah perlindungan kami! Kalau kau menolak, kau akan menghancurkan semua yang sudah kita bangun selama puluhan tahun!"
"Apa yang sudah kita bangun, Ayah? Atau apa yang sudah kau bangun di atas kebahagiaanku?" suara Lily bergetar, tetapi ia tetap berdiri tegak.
Ruangan itu menjadi sunyi. Tak ada yang berani bergerak, bahkan para pelayan pun membeku di tempatnya.
Ny. Wijaya mencoba mencairkan suasana. "Lily, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kau tahu itu, kan?"
"Apa yang terbaik, Bu? Menikah dengan pria yang tidak kucintai, hanya demi bisnis? Itu bukan yang terbaik untukku," ujar Lily, suaranya mulai melembut, tetapi tetap tegas. "Aku ingin hidupku sendiri. Aku ingin cinta yang nyata, bukan perjanjian dagang."
Pak Wijaya mendengus. "Cinta? Cinta tidak akan membuat kerajaan bisnis kita bertahan, Lily."
Lily menggigit bibirnya, menahan amarah. "Kalau begitu, mungkin aku tidak cocok menjadi pewaris keluarga ini."
Tanpa menunggu jawaban, Lily berbalik dan pergi, meninggalkan keheningan yang tegang di ruang makan.
Di luar, ia menemukan Rehan yang sedang mempersiapkan mobil untuk perjalanan pagi. Melihat wajah Lily yang tampak kusut, Rehan bertanya dengan hati-hati, "Semua baik-baik saja, Nona?"
Lily menghela napas panjang. "Tidak. Tapi aku tidak peduli lagi. Kita pergi ke kantor sekarang."
Rehan hanya mengangguk. Ia tahu Lily sedang menghadapi badai besar, tetapi ia memutuskan untuk tidak menambahkan bebannya dengan pertanyaan.
Saat mereka berada di dalam mobil, Lily memandang keluar jendela, pikirannya penuh dengan kebingungan dan kemarahan.
"Rehan," panggilnya tiba-tiba.
"Ya, Nona?"
"Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?"
Rehan melirik melalui kaca spion, ragu sejenak sebelum menjawab. "Saya akan bertarung, Nona. Meski itu berarti melawan orang yang paling dekat dengan saya."
Kata-kata itu menggema di hati Lily. Di balik semua kekacauan ini, ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan menyerah pada hidup yang dipaksakan.
Bersambung...
Buku lain oleh SOENARYATI
Selebihnya