Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SEBERKAS ASA YANG PUDAR

SEBERKAS ASA YANG PUDAR

ELESER

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.

Bab 1 Rasa Kosong di Dalam Rumah

Ardi duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke layar televisi yang memutar acara tanpa suara. Di tangannya, segelas kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu. Malam itu, rumah yang biasanya terasa nyaman mendadak dingin, sepi, dan berjarak. Sejak beberapa bulan terakhir, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari pernikahannya dengan Maya. Sesuatu yang pernah membuat hatinya penuh, kini terasa hampa.

Tak lama kemudian, Maya muncul dari dapur, membawa tumpukan cucian yang harus dilipat. Ia berjalan melintas tanpa menoleh ke arah Ardi, hanya menyibukkan diri dengan rutinitas yang tak pernah berakhir. Setiap langkah Maya terdengar seperti gema di dalam keheningan yang tak terucapkan. Rasanya semakin jauh, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka berdua.

"Sayang, bisa kita bicara sebentar?" tanya Ardi akhirnya, mengumpulkan keberanian. Suaranya rendah, nyaris tenggelam di tengah-tengah sunyi.

Maya berhenti melipat baju dan menatapnya sejenak dengan ekspresi datar. "Tentang apa lagi, Ardi? Aku sudah terlalu lelah malam ini."

"Tentang... kita," jawab Ardi, mencoba mengungkapkan apa yang terasa memberatkan dadanya. "Kamu nggak merasa kita... ya, kita berdua... sudah nggak seperti dulu lagi?"

Maya mendesah panjang, lalu duduk di kursi di seberangnya. Dia melipat tangannya di dada, tatapannya lurus dan dingin. "Mungkin karena kamu yang terlalu sibuk mencari kekurangan dalam hubungan kita."

Ardi terdiam sejenak, merasakan perih dari kata-kata Maya yang seolah mengiris. "Maya, aku cuma merasa ada yang hilang... perasaan yang dulu selalu membuat kita bahagia. Sekarang semua serba formal, seperti hanya rutinitas. Kita kayak... dua orang asing yang hidup dalam satu atap."

Maya hanya mengangguk pelan, tatapannya masih sama. "Mungkin memang begitu, Ardi. Mungkin... kita hanya sedang menjalani bagian yang sulit dari pernikahan. Semua orang juga pasti merasakannya."

"Tapi, Maya, aku rindu dengan kamu yang dulu. Yang selalu tersenyum waktu aku pulang, yang selalu berbagi cerita sebelum tidur." Ardi menatap Maya penuh harap, namun yang ia dapatkan hanyalah ekspresi lelah dan datar dari istrinya.

Maya menghela napas, lalu menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling bertaut. "Ardi, aku juga lelah. Aku punya banyak hal yang harus kupikirkan setiap hari. Anak-anak, pekerjaan, rumah ini... semuanya membuat aku hampir nggak punya waktu untuk diriku sendiri, apalagi untuk hubungan ini."

Mendengar itu, Ardi merasakan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya karena penjelasan Maya, tetapi karena betapa jauhnya mereka telah melangkah dari apa yang dulu ia impikan tentang pernikahan. Pernikahan yang seharusnya penuh cinta dan dukungan kini terasa seperti beban yang harus dipikul tanpa rasa bahagia.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ardi, suaranya pelan dan penuh keputusasaan. "Aku nggak mau terus hidup begini, tanpa rasa... tanpa cinta."

Maya menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab. "Aku nggak tahu, Ardi. Mungkin kita hanya perlu... memberi waktu. Mungkin semuanya akan kembali seperti semula, atau mungkin kita memang harus belajar menerima bahwa pernikahan nggak selalu seperti yang kita bayangkan."

Ardi terdiam. Kata-kata Maya seakan menegaskan ketakutan terbesarnya: bahwa mereka sudah kehilangan sesuatu yang tak mungkin kembali. Tanpa sepatah kata lagi, Ardi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar. Ia meninggalkan Maya sendirian di ruang tamu, kembali pada tumpukan pakaian yang belum selesai ia lipat.

Di dalam kamar, Ardi berbaring sambil menatap langit-langit, matanya basah oleh rasa kecewa dan kesepian yang menggumpal. Di pikirannya, muncul kenangan masa lalu-saat-saat mereka pertama kali bertemu, kencan-kencan sederhana yang selalu penuh tawa, janji yang mereka buat di altar, semua terasa begitu jauh dan memudar.

"Kenapa harus seperti ini?" gumam Ardi pada dirinya sendiri, suara yang hanya terdengar dalam kegelapan. "Kenapa kita harus berubah?"

Namun, tak ada jawaban yang datang. Hanya sunyi yang semakin menggulung perasaannya, menenggelamkannya dalam keraguan tentang pernikahannya sendiri.

Ardi berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terlalu penuh. Wajah Maya, dengan tatapan datarnya tadi, terus terbayang dalam ingatannya. Sejak kapan semuanya berubah? Sejak kapan mereka tak lagi saling berbagi tawa?

Ardi bangkit, membuka jendela kamarnya. Malam itu begitu tenang, hanya terdengar suara serangga di luar. Ia menghirup napas dalam-dalam, seakan mencari ketenangan dalam udara malam. Namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang tak kunjung pergi.

Tiba-tiba, ada bunyi pelan dari ruang tamu-seperti suara cangkir yang diletakkan di atas meja. Ardi menutup jendela, melangkah keluar kamar dan melihat Maya masih duduk di sana, menatap kosong ke arah cangkir teh yang sudah setengah dingin. Tanpa sadar, kakinya membawanya ke ruang tamu.

"Maya..." panggil Ardi pelan.

Maya mengangkat wajahnya, terlihat terkejut, namun hanya sebentar. Wajahnya kembali datar, bahkan sedikit lelah.

"Kenapa belum tidur?" tanya Maya, nadanya datar tapi mengandung rasa peduli yang samar.

Ardi tersenyum kecil, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. "Aku juga bisa tanya hal yang sama."

Maya tersenyum tipis, namun tatapannya kembali kosong. "Aku sedang berpikir... tentang kita. Tentang semua yang terjadi selama ini. Rasanya... semua ini mulai terasa berat, Ardi."

"Berat gimana?" Ardi merasa ada ketulusan di balik suara Maya yang tenang, tapi dingin. Dia ingin tahu, ingin paham, walau dia tahu mungkin jawaban Maya tak akan mudah didengar.

Maya menatap cangkir tehnya, seolah-olah sedang mencari kata-kata di dalam cangkir itu. "Ardi, aku tahu kamu merasakan ada yang berubah. Tapi, jujur saja, aku pun merasa begitu. Aku mencoba mempertahankan semuanya, tapi rasanya... kita sudah berbeda."

Ardi merasakan perih di dadanya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa?"

Maya menghela napas panjang, menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Karena aku takut, Ardi. Aku takut kalau aku membicarakannya, malah makin parah. Aku takut kita nggak akan pernah bisa kembali seperti dulu."

Keduanya terdiam, tenggelam dalam perasaan masing-masing. Ardi sadar, Maya sama terluka dan bingungnya dengan dirinya. Mereka berdua merindukan masa lalu yang penuh kebahagiaan, tapi kini terjebak dalam realita yang membuat mereka saling menyakiti tanpa sadar.

"Kamu masih ingat nggak, waktu kita pertama kali ketemu?" tanya Ardi tiba-tiba, suaranya penuh kerinduan.

Maya tersenyum kecil. "Waktu itu kamu hampir ketabrak motor gara-gara fokus ngobrol sama aku di pinggir jalan."

Ardi tertawa pelan, mengingat kejadian itu. "Aku nggak akan pernah lupa. Waktu itu aku sudah tahu kalau kamu orangnya spesial."

"Lalu apa yang terjadi, Ardi? Kenapa perasaan itu sekarang malah hilang?" tanya Maya, suara Maya kini lebih berat. "Apakah... mungkin ini memang takdir kita? Bahwa kita hanya ditakdirkan untuk bersama sebentar, lalu saling menyakiti seperti ini?"

Ardi tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menatap Maya dengan perasaan campur aduk, antara rasa bersalah dan kerinduan.

"Mungkin... kita hanya butuh waktu," ucap Ardi akhirnya. "Mungkin, kalau kita sama-sama berusaha, semua ini bisa diperbaiki."

Namun, Maya menggelengkan kepala pelan, terlihat ragu. "Ardi, aku sudah mencoba. Aku sudah mencoba untuk tetap bertahan, walaupun hati ini sering merasa jauh darimu. Tapi... semakin lama, aku malah semakin nggak mengenalmu."

Ardi terdiam, menatap wajah Maya yang terlihat rapuh. Dia menyadari betapa besarnya luka yang telah tumbuh di antara mereka. Selama ini, dia hanya berpikir bahwa rasa kosong yang ia rasakan adalah masalahnya sendiri, tapi ternyata Maya juga merasakan hal yang sama.

"Aku nggak ingin menyerah, Maya," kata Ardi dengan suara yang rendah namun penuh tekad. "Aku ingin kita mencoba lagi."

Maya menatap Ardi lama, lalu mengalihkan pandangannya, menahan air mata yang sudah hampir jatuh. "Ardi, aku juga ingin kita baik-baik saja. Tapi... bagaimana kalau kita sudah mencoba dan gagal?"

Ardi tak punya jawaban. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa mungkin saja hubungan ini tak akan pernah kembali seperti dulu. Tapi di saat yang sama, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Maya, tanpa senyumnya yang dulu selalu menghangatkan hari-harinya.

"Kita belum benar-benar mencoba, Maya," ucap Ardi, suaranya mulai bergetar. "Kita belum benar-benar berbicara dari hati ke hati, seperti sekarang ini."

Maya mengangguk pelan, lalu mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. "Baiklah, Ardi. Mari kita coba. Mari kita coba untuk kembali... meskipun aku nggak tahu seberapa besar peluangnya."

Ardi tersenyum, merasakan sedikit harapan tumbuh di dadanya. "Terima kasih, Maya. Aku akan berusaha."

Maya mengangguk, walaupun masih ada keraguan di matanya. Namun, malam itu, di tengah percakapan yang penuh air mata dan kejujuran, mereka setidaknya telah menemukan titik awal untuk berusaha lagi.

Mereka saling berpandangan dalam keheningan, tanpa kata-kata. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasakan kehangatan meski samar. Mungkin jalan ini masih panjang, mungkin banyak luka yang belum sembuh. Tapi di balik rasa sakit itu, masih ada seberkas asa-meski sedikit pudar, tapi masih ada.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh ELESER

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku