Risa Ayu Cahyaningrum adalah seorang dokter spesialis ternama yang bekerja di rumah sakit besar dan memiliki klinik pribadi yang sukses. Namun, ia direndahkan oleh ibu kekasihnya, seorang perwira TNI berpangkat Mayor, karena latar belakang keluarganya yang sederhana. Sang ibu beranggapan bahwa seorang dokter sekalipun tidak cukup baik untuk anaknya jika berasal dari keluarga petani. Risa bertekad membuktikan bahwa cinta sejati tidak memandang status sosial. Dalam perjalanan itu, ia harus menghadapi tantangan, intrik, dan konflik keluarga yang menguji kesabaran dan cintanya.
Risa Ayu Cahyaningrum menatap pantulan dirinya di cermin apartemennya. Dengan blazer putih yang rapi membalut tubuhnya, ia menghela napas panjang. Pikirannya berputar tentang pertemuan penting hari ini. Setelah hampir dua tahun menjalin hubungan dengan Bima, akhirnya ia diundang untuk bertemu keluarganya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dari cerita Bima, ibunya adalah sosok yang tegas, perfeksionis, dan memiliki standar tinggi dalam memilih pasangan hidup untuk anak semata wayangnya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Risa meyakinkan dirinya sendiri. "Aku dokter spesialis. Apa lagi yang kurang?"
Risa menyelesaikan riasannya dengan sederhana, menyemprotkan parfum favoritnya, lalu mengambil tas tangannya. Setelah memastikan semuanya siap, ia melangkah keluar dan menuju rumah keluarga Bima di kawasan elit Jakarta Selatan.
Rumah keluarga Bima megah, berdiri kokoh dengan pagar besi hitam yang dihiasi ornamen mewah. Saat mobil Risa berhenti di depan pintu, seorang asisten rumah tangga membukakan gerbang.
Asisten rumah tangga: "Selamat siang, Mbak Risa. Silakan masuk, Ibu sudah menunggu di ruang tamu."
Dengan senyuman sopan, Risa melangkah masuk. Di dalam, suasana rumah terasa dingin, bukan karena suhu ruangan, tetapi karena atmosfer formal yang memancar dari setiap sudutnya. Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, dan lantai marmer mengkilap memantulkan cahaya dari lampu kristal di langit-langit.
Di ruang tamu, seorang wanita duduk dengan anggun di atas sofa berbahan kulit. Seragam dinas TNI berpangkat Mayor menghiasi tubuhnya. Wajahnya keras, namun tetap menunjukkan kecantikan seorang wanita yang berwibawa.
Ibu Bima: "Kamu Risa, ya?"
Risa tersenyum dan mengangguk sopan.
Risa: "Iya, Bu. Senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan Ibu."
Ibu Bima mengangguk kecil, mengisyaratkan Risa untuk duduk. Ia menyesap teh di tangannya sebelum melanjutkan.
Ibu Bima: "Bima sering cerita tentang kamu. Katanya kamu dokter, ya?"
Risa: "Iya, Bu. Saya spesialis penyakit dalam. Saya bekerja di rumah sakit dan juga punya klinik sendiri."
Ibu Bima (tersenyum tipis): "Hebat. Pasti orangtua kamu bangga sekali, ya?"
Risa merasakan nada sinis yang samar, namun ia tetap menjaga senyumannya.
Risa: "Alhamdulillah, Bu. Orangtua saya selalu mendukung apa pun yang saya lakukan."
Ibu Bima (mendekatkan tubuhnya, nada suaranya lebih tegas): "Kalau boleh tahu, orangtua kamu kerja apa?"
Pertanyaan itu membuat Risa terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan ini akan muncul cepat atau lambat.
Risa: "Ayah saya seorang petani, Bu, di kampung halaman kami di Jawa Tengah."
Ibu Bima (menaikkan alis): "Petani?"
Risa melihat perubahan ekspresi di wajah Ibu Bima. Sekilas, ada tatapan meremehkan yang sulit disembunyikan.
Ibu Bima: "Hmm... Saya tidak bermaksud merendahkan, tapi saya selalu membayangkan anak saya menikah dengan seseorang dari keluarga yang setara, atau yang bisa memahami dunia kami."
Risa mencoba tetap tenang, meski hatinya mulai terasa panas.
Risa: "Saya paham, Bu. Tapi saya percaya bahwa cinta itu lebih penting daripada status sosial."
Ibu Bima: "Cinta saja tidak cukup, Risa. Menikah dengan seorang prajurit itu berat. Saya ingin Bima punya istri yang mengerti kehidupan kami. Mungkin seorang guru, bidan, atau perawat. Profesi yang lebih... sederhana dan sesuai."
Risa terdiam. Kata-kata itu menyakitkan, seolah-olah seluruh kerja kerasnya sebagai dokter tidak berarti apa-apa hanya karena ia berasal dari keluarga petani.
Suasana semakin tegang ketika Bima masuk ke ruangan.
Bima: "Ibu, apa yang Ibu bicarakan?"
Ibu Bima: "Kamu dengar sendiri, kan? Ibu hanya jujur. Menikah bukan hanya soal cinta, Bima."
Bima (dengan nada kesal): "Risa adalah wanita yang tepat untukku, Bu. Dia mandiri, pekerja keras, dan memiliki hati yang tulus."
Ibu Bima: "Tapi dia tidak memahami kehidupan seorang prajurit! Hidup kita tidak mudah, Bima. Kamu butuh seseorang yang bisa mendukungmu sepenuhnya, bukan hanya dengan cinta kosong."
Risa merasa hatinya seperti diremuk. Ia tidak pernah menyangka bahwa perjuangannya selama ini akan diremehkan hanya karena latar belakang keluarganya.
Risa: "Maaf, Bu. Saya rasa saya harus pergi. Terima kasih atas waktunya."
Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah pergi sebelum air matanya jatuh.
Di luar, Risa berusaha menenangkan diri. Ia menatap ke langit, mencoba menahan emosinya. Namun, di dalam hatinya, ia bertekad bahwa ini belum selesai. Ia akan membuktikan bahwa dirinya layak, bukan hanya untuk Bima, tetapi juga untuk siapa pun yang meremehkannya.
Bab 1 Risa Ayu Cahyaningrum menatap pantulan dirinya
04/12/2024
Bab 2 Apa yang tadi terjadi di rumah Bima
04/12/2024
Bab 3 Pertemuan dengan Ibu Bima
04/12/2024
Bab 4 namun ada ketegangan yang masih mengganjal di dalam dirinya
04/12/2024
Bab 5 merasakan sedikit beban yang terangkat,
04/12/2024
Buku lain oleh Jefri Punggawa
Selebihnya