Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Seharusnya tak begini.
Sebentar lagi, hanya tinggal menunggu beberapa hari saja hingga pengumuman hasil kelulusan ujian. Dengan begitu aku bisa menjadi sejarah siswi terbaik di negeri ini. Satu-satunya siswi yang mendapatkan nilai sempurna dalam segala mata pelajaran.
Padahal aku sudah rela tak tidur berhari-hari. Merelakan semua makan malam hanya demi menghapal rumus-rumus alogaritma matematika. Tapi sialnya, suara sirine ambulan ini mengganggu.
Bukan hanya itu bau anyir darah membuatku mual.
"Cepat! Selamatkan dia, gadis ini masih hidup!"
Hm, bodoh mereka ini?
Memang apa gunanya jika aku sudah setengah sadar. Badanku mati rasa, lidahku kelu dan mataku pun mulai terasa berat.
Perlahan-lahan rasa sesak menghimpit dadaku, membuatku kesusahan bernafas. Ingin aku berteriak, TOLONG! Namun kenyataannya tak bisa. Hanya diriku yang akan mati yang ....
Gelap, semuanya mendadak gelap.
Dan aku sendirian di kegelapan ini.
Ah, aku kan tak memiliki teman yang benar-benar bisa dianggap ada. Baguslah, jika mati semua orang akan tertawa haha-hihi nanti.
***
"Hei?"
Samar-samar sebuah panggilan terdengar merayap ke telinga membuat gadis bersurai merah itu membuka lebar-lebar kedua matanya. Angin yang berhembus kencang tak menjadi hambatan, suara tersebut terdengar begitu jelas.
Netra emerald itu pun melirik ke segala arah. Pandangannya menajam, dengan benak yang dipaksakan untuk mengingat sesuatu. Dimana dia? Asing sekali tempat ini.
"Jika belum bisa menemukanku, maka kau tak pantas mengatakan kalau dunia kami hanya bualan saja," imbuh suara itu.
Ia tak mungkin salah dengar. Suara ini berasal dari orang yang sama. Jadi, yang mereka katakan benar-benar fakta bukan mitos belaka? Jadi dunia parallel benar-benar ada?
Apa sosok yang selama ini ia rindukan bisa hidup kembali dengan berpindah dimensi? Gadis manis itu terbahak-bahak. Mungkin karena sibuk belajar untuk ujian nasional dan berakhir merenggang nyawa membuat otaknya jadi ikutan gila.
Mana ada manusia yang sudah mati namun bisa hidup kembali?
Semerbak harum bunga Kamboja membuat bulu kuduknya berdiri. Sejauh mata memandang, ini adalah ... kebun bunga matahari. Bagaimana bisa ada bau bunga Kamboja?
"Tutup matamu, katakan apa yang kau inginkan dengan tulus maka akan terkabul."
Sempat ragu, namun jika benar itu cara kabur dari dunia yang menjijikkan ini maka akan ia lakukan. Dengan sekali tarikan nafas panjang gadis bernetra emerald itu mengucapkan keinginan dalam hati. Dia ingin pergi sejauh mungkin, ke dunia dimana ... sistem nilai tak dibutuhkan.
Ia mau berada di tempat yang menghargainya sepenuh hati. Tempat nyaman dimana merek ponsel pun tak jadi bahan perbincangan.
Dan saat dia membuka mata kembali. Betapa terkejutnya gadis itu saat ini. Persis seperti komik yang pernah dia baca.
"Apa ini? Ramalan itu benar?"
"Wah aku benar-benar tak menyangka kalau saintes benar-benar akan muncul saat bulan purnama."
"Hebat! Hormat kami Nyonya saintes!"
"Hormat kami, Yang Mulia Ratu!"
Bisik-bisik dan sujud berjamaah itu membuat gadis tersebut terkejut bukan main. Dengan tubuh bergetar, ia beringsut mundur mencari dinding agar punggungnya bisa bersandar. Sialnya, ternyata tak ada! Ia duduk di singgasana. Keringat mengalir melewati pelipis mata dan gegas ia menyekanya dengan kerah baju. Detak jantungnya masih tak beraturan.
"Mohon maaf jika kamu membuat Yang Mulia tak nyaman, saya kepala butler di istana ini. Mari saya antar ke kamar Anda," ucap salah seseorang yang mendadak muncul di depanku.
Dasar sialan. "Kau pikir aku akan mengikutimu?"
Dia yang semula menunduk gegas mengangkat kepalanya. "Saya pelayan Anda, wajar jika Yang Mulia tak mempercayai. Itu hak Anda, tugas saya hanya melayani," katanya dengan senyum simpul.
Telapak tangan gadis itu basah kala melihat senyum formalitas barusan. Ia takut, namun jika benar memang ada dunia ini, haruskah dirinya mencoba hidup dengan lebih baik?
"Mari, Yang Mulia?"
Kali ini laki-laki berpakaian hitam kasual seperti tokoh komik pada umumnya itu mengulurkan tangan. Jantungnya berdegup kencang, tak ada salahnya mencoba.
Pikir gadis itu lima menit lalu!
Sialnya ini dunia aneh setan! Sialan!
Mereka memang manis di awal namun sekarang?