Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Why The Grand Duke Needs A Fiancee

Why The Grand Duke Needs A Fiancee

Latiani

5.0
Komentar
127
Penayangan
3
Bab

Bagaimana rasanya hidup di dalam cerita yang sebelumnya pernah kita baca? Di hari terburuk dalam hidupku, aku malah mati konyol karena seseorang menghempaskan tubuhku layaknya sampah dari gedung tujuh apartemenku. Di saat aku pikir kehidupanku berakhir, ternyata aku merasuki tubuh seorang Putri Bangsawan dan menjadi tokoh sampingan di novel bad ending berjudul "I'm sorry, But I Don't Love You!" Aku menjadi GUINEVERE CORETTE LUVENA (CETTE), yang ditakdirkan mati di tangan seorang Grand Duke dingin yang di akhir kisah akan merebut tahta dan membunuh Putra Mahkota. Cette mati demi melindungi Putra Mahkota yang bersekutu dengannya. Grand Duke itu bernama LUXE CAVELIO GLENN yang mendapat julukan sebagai Pria Musim Dingin. "Yosh, baguslah aku menjadi Cette yang tidak banyak di bahas. Karena aku sudah tahu isi ceritanya, aku tidak akan mengorbankan nyawaku demi Putra Mahkota. Aku akan hidup damai tanpa mencari masalah dengan Grand Duke tiran itu!" Cette yakin dengan keputusannya. "Kamu harus menjadi tunangan kontrakku atau keluargamu akan dihabisi oleh Ratu dan para penyihir!" Luxe mengancam. "Apa dia sudah gila? Mana mungkin aku setuju bertunangan dengan orang yang akan membunuhku?" Cette tidak habis pikir. Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Apakah Cette akan menerima perjanjian kontrak itu? Tapi apa alasan Luxe memilihnya sebagai tunangan? Apa karena Cette memiliki energi dari Bulan Biru dan ia merupakan The Last Spirit User?

Bab 1 KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN

Tiba-tiba aku berada di tempat yang asing. Aku memang memiliki keistimewaan merasakan aura seseorang. Marah, sedih, kecewa, dan jenis emosi lainnya, aku bisa mengotak-kotakkan orang dari auranya.

Maksudku, aku bisa melihat aura setiap orang dari warna yang menyeruak keluar dari tubuhnya.

Namaku GYANDRA VEGA. Dua puluh lima tahun. Aku biasa di panggil dengan sebutan Jia.

Aku seorang wanita karir. Aku hidup sendirian tanpa orang tua dan saudara. Dulu aku memilikinya, tapi karena sebuah insiden yang tidak ingin aku ingat-ingat lagi, aku memutuskan untuk membuang mereka dari hidupku.

Aku juga tidak pernah menyangka identitas yang sudah dua puluh lima tahun aku sandang sebagai Jia akan hilang begitu saja.

***

Terakhir yang aku ingat, aku sedang duduk termenung sendirian di apartemen sederhanaku di lantai paling atas, atap sebuah gedung berlantai tujuh. Di hadapanku berserakan beberapa botol bir. Hahaha, aku sedang merasa hancur.

Pikiranku sedang tidak waras seolah menjadi wanita yang bodoh karena di tipu. Badly, aku umumkan kalau kekasihku baru saja meninggalkanku.

Dia pergi dengan wanita lain membawa semua uang yang sudah kami kumpulkan bersama untuk menikah.

Aku merasa sangat bodoh, padahal aku bisa melihat auranya. Aura ketidaktulusan. Aura pembohong. Tapi karena dibutakan oleh perasaan, aku selalu menepisnya. Aku merasa mungkin saja aku salah menafsirkan warna. Hah! Andaikan aku bisa lebih cepat menyadarinya.

***

Enggak hanya sampai di situ saja, aku yang tidak salah apa-apa malah di tuduh sebagai selingkuhan yang mengganggu hubungan orang lain. Padahal sudah jelas kalau aku memiliki hubungan dengan laki-laki bernama Fabian itu sebelum ia mengenal selingkuhannya itu.

Beberapa orang yang mengetahui tentang kenyataan itupun malah ikut bungkam karena tidak mau terlibat masalah karena aku.

Sialnya, wanita yang didekati oleh Fabian, merupakan keponakan pemilik tempat aku bekerja. Akhirnya, akupun di pecat.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya, memercayai seseorang adalah hal yang seharusnya tabu untukku. Aku bahkan tidak bisa menangis, jadi aku minum alkohol saja untuk menemani perasaanku yang kacau.

Dua jam kemudian, saat kesadaranku mulai menurun, aku merasakan kehadiran seseorang dari arah belakangku.

Orang itu dengan cepat dan tanpa aba-aba langsung mencekikku.

Aku tidak bisa melawannya. Tenaganya sangat kuat. Walaupun dia memakai penutup kepala, aku langsung tahu kalau dia seorang laki-laki dari postur tubuhnya.

Apakah dia Fabian? Benarkah? Teganya dia!

Setelah aku hampir kehabisan napas dan tergeletak lemas, laki-laki itu mengangkatku, dan langsung melempar tubuhku dari atap gedung lantai tujuh ini.

Sebelumnya dia membisikkan sesuatu padaku, "Jangan membenciku!" dan langsung melemparku begitu saja seperti sampah.

Tubuhku melayang. Tapi beberapa detik sebelum kematianku, aku melihat sosok orang yang sudah melemparku itu.

"Tunggu, dia bukan Fabian! Dia ...,AZIEL? Dia adalah sepupu Fabian. Apa Fabian yang menyuruhnya?"

Anehnya, dari tubuh Aziel menyeruak aura berwarna abu-abu. Seharusnya hitam atau kalau ia sedang marah harusnya aura berwarna merah. Tapi kenapa abu-abu?

Dia yang membunuhku, tapi kenapa malah dia yang tampak sedih dan kesepian? Apa maksudnya?

Kemudian aku menutup mataku, berpasrah dengan apapun yang akan terjadi.

***

"Kak ...,kakak ...,kakak sudah bangun? Kakak sudah sadar?"

Sayup aku mendengar suara entah dari mana asalnya. Aku baru saja jatuh dari atas gedung lantai tujuh. Aku berpikir wajar bila mendengar suara-suara seperti itu.

"KAK!"

Suara yang awalnya hanya terdengar sayup, kini berubah menjadi teriakan.

"Aneh. Kenapa sejak tadi teriakan itu selalu memanggil kakak? Apa ini semacam kilas balik kehidupanku? Tapi dikehidupanku yang sekarang aku tidak punya adik. Apa ini kilas balik dari kehidupanku yang sebelumnya? Eiy, masa iya?" batinku masih terus berbicara entah pada siapa. Anehnya, aku masih bisa berpikir macam-macam dikepalaku.

"Ayah! Ayah! Kakak sudah sadar!"

"APA? Cette sudah siuman?"

Aku perlahan membuka mataku.

"Duh, kira-kira di neraka atau di surga ya?" batinku agak risau kalau saja aku malah berakhir di neraka.

Aku dengar di neraka sangat menyiksa. Walaupun aku bukanlah orang yang benar, tapi akupun tidak ingin berakhir di neraka. "Aku tidak merasakan hawa panas, apa aku harus bersyukur?" batinku merasa lega.

Setelah mataku terbuka, aku malah melihat seorang laki-laki paruh baya sedang menatapku dengan penuh kecemasan dan seorang wanita berusia belasan duduk disebelahku sambil memegangi tanganku dan menangis.

"Kak, kakak sudah sadar? Kakak betul-betul sudah sadar?" Si gadis remaja itu malah berteriak sambil menangis.

"Kakak? Apa-apaan gadis ini? Kenapa dia memanggilku kakak dan kenapa dia sampai menangis segala?" batinku merasa bingung dengan aksi si gadis remaja itu.

Lalu, mataku menangkap sesuatu yang lebih aneh. Aku melihat gadis remaja itu memakai gaun yang agak berlebihan. Warna rambut dan matanya juga tidak biasa.

"Kenapa dia memakai pakaian a la abad pertengahan begitu. Sudah seperti tinggal di zaman kerajaan saja. Warna rambutnya juga biru pucat. Warna bola matanya hijau muda terang. Mereka sedang syuting film dokumenter zaman kerajaan atau bagaimana, sih?" batinku lagi yang masih sempat memikirkan hal-hal yang aneh menurutku.

"Cette, anakku! Ayah senang karena kamu sudah kembali sadar. Ayah sangat takut dan khawatir. Tapi syukurlah," ucap si Pak Tua dengan tatapan berkaca-kaca.

"Ini apa lagi, sih?! Pak Tua ini menyebutku dengan sebutan Cette. Nama aneh dari mana lagi itu? Om, namaku itu Jia bukan Cette. Lagian aku bukan anak kamu. Pede banget dia ngaku-ngaku. Asal Om tahu ya, aku sudah membuang jauh-jauh keluargaku yang sangat tidak membanggakan itu. Jadi jangan pernah mengaku, karena aku tidak akan memercayainya," batinku panjang lebar.

Aku kembali merasa heran ketika melihat warna mata Pak Tua yang sedari tadi memanggilku dengan sebutan Cette itu.

"Eh, warna mata Pak Tua ini juga sama dengan si gadis remaja ini. Warna rambutnya beda, sih. Tapi lihat, rambutnya berwarna emas, tetap saja aneh. Apa Pak Tua ini bule? Hahaha...." Aku masih bisa tertawa dalam pikiranku.

***

"Panggilkan Tabib keluarga sekarang juga!" titah si Pak Tua berteriak entah pada siapa.

"Tabib? Om, aku itu butuhnya dokter bukan tabib. Tapi tunggu, deh! Aku jatuh dari lantai tujuh, masa iya aku masih hidup?" batinku masih bertanya-tanya.

Perlahan-lahan aku mengangkat tangan kiriku. Aku semakin bingung dan merasakan keanehan.

"Tidak ada bekas sayatan di lengan kiriku. Di mana bekas luka dari perampok sialan yang aku terima dua tahun lalu itu? Jelas-jelas bekasnya tidak bisa hilang. Kenapa sekarang tidak ada?" batinku lagi semakin merasa aneh.

Kini pandanganku menerawang jauh. Aku melihat ornamen-ornamen yang ada di ruangan tempat aku berbaring ini juga tidak biasa.

"Apa-apaan kamar luas yang mewah ini?! AKU SEBENARNYA BERADA DIMANA SIH?"

"Tuan, Tabib sudah datang!" seru seseorang dari depan pintu ruangan dengan menundukkan kepalanya kepada si lelaki paruh baya yang sejak tadi memanggilku Cette itu.

Lelaki paruh baya itu buru-buru menghampiri si Tabib dan menyeretnya untuk langsung mendekat padaku.

"Tolong periksa Putri saya. Dia baru saja sadar."

Tabib itu mendekat padaku dan langsung sigap memeriksa denyut nadiku.

"Nona, apa Anda bisa melihat saya?" seru si Tabib padaku dan aku mengangguk saja. "Apa ada bagian tubuh Anda yang terasa sakit?" tanya si Tabib lagi.

Aku yang sejak membuka mata memang merasakan sakit yang sangat mencekam dan nyeri di bagian kepalaku langsung menyentuh bagian kepalaku yang sakit, agar si Tabib bisa memeriksanya.

"Saya akan meresepkan obat untuk sakit kepala Anda," ujar si Tabib ketika aku menunjukkan bagian tubuhku yang sakit.

"Resep obat? Hello?? Annyeonghaseyo mang Tabib, aku ini bukan lagi pusing karena kecapekan atau migrain. Apa dia tidak tahu kalau aku baru jatuh dari lantai tujuh gedung yang tinggi ya? Aku harus di CT-Scan. Kepalaku harus di periksa. Gimana kalau aku sampai gegar otak? Bahaya banget, kan? Ya ampun!" batinku tidak habis pikir dengan si tabib yang malah hanya ingin meresepkan obat padaku.

"Apa mungkin Anda masih kesulitan berbicara?" tanya si Tabib melihatku yang tetap bungkam sejak kedatangannya.

"Lah iya yak. Ngapa aku dodol banget ngomong dalem hati mulu dari tadi," batinku merasa konyol sendiri.

Aku langsung membuka mulutku. Perlahan-lahan mencoba untuk mengeluarkan suara pertamaku setelah kejadian tragis itu.

"Ahhhrr ...," Aku mulai mengeluarkan suaraku.

"Tenggorokkanku sakit sekali. Aku sampai kesulitan mengeluarkan suara. Sepertinya ini karena si Aziel si*lan itu sempat mencekikku sebelum melemparku. Pantas saja!" batinku lagi. Karena aku kesulitan mengeluarkan suara, akhirnya aku menggelengkan kepalaku ke arah si Tabib menandakan kalau ada yang salah dengan tenggorokanku.

"Apa tenggorokkan Anda sakit?" tanya si Tabib dan aku mengangguk. "Itu efek luka goresan yang mengenai leher Anda. Nanti saya akan menyuruh murid saya untuk mengganti perban yang Anda gunakan di leher dan kepala. Apa masih ada yang sakit yang lain?" lanjut si Tabib masih bertanya padaku dan aku menggeleng. "Baiklah."

Kemudian si Tabib menjauh dariku dan langsung menemui Pak Tua yang tadi.

"Nona Luvena perlahan akan stabil kembali. Mungkin karena sudah tertidur selama hampir sebulan ...."

"Wait, WHAT? SEBULAN? Lah, udah selama itu? Padahal seperti baru semenit yang lalu aku jatuh," batinku sambil membelalakkan mataku ke arah si Tabib yang sedang berbicara dengan Pak Tua.

"...jadi sistem motoriknya masih belum berfungsi dengan baik karena sudah terlalu lama vakum. Tuan, Nona Muda, atau para pelayan bisa membantunya kembali pulih dengan cara menggerak-gerakkan atau memijit-mijit tubuh Nona Luvena. Itu akan sangat membantu. Untuk daya penglihatan, pendengaran, dan sistem saraf otaknya saya rasa semuanya mulai kembali normal. Tapi, saya akan tetap melakukan pemeriksaan secara berkala. Nona Luvena harus beristirahat secara total dan tidak dianjurkan untuk banyak bergerak dan langsung berjalan. Perlahan-lahan saja," jelas si Tabib panjang lebar kepada si Pak Tua.

"Baiklah terima kasih."

"Sama-sama, Tuan. Saya akan mengirimkan murid saya nanti untuk mengganti perban dan membawa resep obat untuk Nona. Kalau begitu saya permisi."

***

Setelah kepergian si Tabib.

"Kak, syukurlah kakak sudah sadar. Aku sangat takut dan sangat kesepian karena kakak sakit," isak si gadis remaja yang sejak tadi masih berada disebelahku sambil memelukku.

"Cette, kamu benar-benar sudah tidak apa-apa kan, Nak? Ayah sangat takut kehilangan kamu. Apa yang akan ayah katakan kepada ibumu yang tidak bisa menjagamu ini nanti. Maafkan ayah. Mulai sekarang ayah akan lebih melindungi dan menjagamu. Ayah berjanji."

"Apa ini? Kenapa mereka sesedih itu? Aku kan bukan siapa-siapa mereka. Aku bahkan tidak mengingat siapa mereka ...," batinku merasa ada banyak hal yang tidak aku mengerti sedang terjadi saat ini.

Tapi ....

Sebuah ingatan yang sepertinya bukan milikku dengan cepat dan secara paksa melintas di kepalaku.

*

'Kalau kalian tidak menjauh, aku akan menggores leherku dengan pecahan kaca ini. Jadi menjauhlah!'

'Anda tidak boleh melakukan itu, Nona. Anda tidak boleh membuat bekas di tubuh Anda.'

*

"Ingatan siapa itu? Kenapa ingatan yang tidak pernah aku alami melintas dikepalaku? Astaga! Kepalaku sakit sekali!" batinku sambil memegangi kepalaku yang sakit dan mataku yang terpejam paksa karena rasa sakit itu.

"Kakak kenapa? Apa kepala kakak sakit?" teriak si gadis remaja itu ketika melihatku menutup mata sambil memegangi kepala.

"Tuan, Tabib muda sudah datang," ucap seorang wanita yang memakai pakaian pelayan.

"Persilakan masuk!"

"Saya Zien. Saya di minta untuk mengganti perban Nona Luvena," seru Tabib wanita setelah menghadap si Pak Tua.

"Tolong sekalian di periksa, soalnya Putri saya barusan mengerang kesakitan. Sepertinya kepalanya sakit."

Tabib muda bernama Zien itu langsung mendekatiku dan bertanya, "Nona, apa Anda mengenal Nona ini?" tanyanya sambil menunjuk ke arah si gadis remaja itu.

"Bagaimana aku bisa mengenalnya?! Ini bahkan pertemuan pertama kami," batinku kebingungan dengan pertanyaan tabib muda itu. Lalu aku menggeleng.

"Ka-kakak tidak ingat siapa saya? Kak, ini saya Gitte adikmu," isak si gadis remaja yang awalnya pelan semakin lama semakin menjadi-menjadi karena jawabanku.

"Ayah, kakak tidak mengingat saya!" adu si gadis remaja kepada si Pak Tua.

"Apa kamu juga tidak ingat Ayah?" si Pak Tua malah ikut-ikutan bertanya.

Aku kembali menggeleng.

"A-apa yang terjadi pada Putri saya? Kenapa dia tidak mengingat kami?" tanya si Pak Tua pada tabib muda itu mulai panik.

"Bingungkan kalian? Sama aku juga. Kalian kenal aku, padahal aku sama sekali tidak tahu siapa kalian. Aku juga tidak tahu sedang berada di mana dan kenapa masih hidup. Yaps, mari kita bingung bersama-sama. Hehe...!" Aku malah masih sempat mengatakan hal-hal konyol dikepalaku.

"Saya belum bisa memastikan. Tapi kemungkinan berkaitan dengan kepala Nona yang sempat terbentur. Atau efek shock waktu Nona mengalami kejadian yang tidak bisa di terima oleh mentalnya. Kemungkinan yang lain bisa saja karena otaknya yang sudah lama vakum. Jadi ingatannya belum pulih total," jelas Zien panjang lebar.

"Kita hanya bisa berharap Nona Luvena tidak mengalami amnesia."

"Amnesia?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku