Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
HATE BEING A RICHMAN

HATE BEING A RICHMAN

MDW

5.0
Komentar
1.7K
Penayangan
14
Bab

Tsabit adalah mimpi bagi seluruh yatim piatu di kota Woodela, pria muda yg sukses ini menjalani masa kecilnya di sebuah panti asuhan. Hidupnya yg semakin cemerlang namun tak juga memudarkan kesederhanaan dan kepribadiannya yg ramah. Namun, Tsabit tidak akan pernah menduga jika dirinya harus terlibat dalam cinta yg sangat rumit. Tepat disaat dunia berada dalam genggamannya. Pria ini justru jatuh kedalam jurang terdalamnya. Kehidupan masa lalu kedua orangtuanya kemudian merenggut masa depannya. Tsabit membenci semua yg kini dimilikinya dan membenci pertemuannya dengan Shakeela. Tsabit hanya ingin pergi jauh dari kenyataan ini yg mengurungnya. Dia tak menginginkan apapun lagi sejak cintanya kandas oleh masa lalu yg diabaikan kedua orangtuanya. Cinta sedarah yg membuat Tsabit dan Shakeela harus berpisah. Dosa kedua orang tuanya yg kini harus ditanggungnya membuat Tsabit semakin membenci dirinya. Namun cinta tulus yg terbangun dan waktu yg panjang membuat keduanya sulit melepaskan.

Bab 1 RUMAH

"Heyy,, lihat itu dia lewat, lulusan terbaik SMA kita si penghuni panti asuhan "Rumah Bunda"". Terdengar suara ejekan Gllen diikuti tertawaan menghina oleh rekan-rekannya.

"Beri jalan, aku hanya mau lewat" Tsabit tak mempedulikan sedikitpun ocehan ejekan Gllen yg ditujukan padanya tadi. Tsabit tetap tenang dan terus melangkah, Tsabit bahkan masih berusaha sopan dengan meminta ijin rekan-rekan sekelasnya itu untuk membukakan jalan yg sengaja dihadang oleh mobil mereka.

"Waahh, besar sekali nyalimu tetap memaksa lewat" Gllen yg semakin tersulut emosi karena ejekannya tak dipedulikan Tsabit itu kini keluar dari mobilnya dan mendekati Tsabit.

"Gllen, aku tidak ada urusan denganmu, jadi biarkan saja aku lewat. Setelah itu kau bebas mau melakukan apapun disini." Tsabit mempertahankan ketenangannya dan terus mendinginkan suasana.

"Jika aku tidak mengijinkanmu, mau apa?" Dengan congkaknya Gllen tetap tak berniat membiarkan Tsabit lewat disana.

"Baiklah, aku bisa memutar dan mencari jalan yg lain." Tsabit kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan Gllen yg semakin emosi.

"Brrrrmmmm"

Suara mobil menderu seketika terdengar di belakang Tsabit. Dengan kecepatan penuh mobil itu terus melaju mendekati Tsabit yg sedang berjalan. Beberapa pasang mata yg menyaksikkan nampak syock dan terbelalak membayangkan kecepatan penuh mobil Gllen yg bisa seketika melibas tubuh Tsabit didepannya.

Wajah Gllen menyeringaikan senyum yg mengerikan , terbayang olehnya jika sesaat lagi riwayat pemuda culun itu akan tamat ditangannya. Jelas saja, bagi Tuan Muda seperti Gllen, menghabisi nyawa rivalnya dapat dengan mudah dilakukan. Mengingat koneksi ayahnya yg luar biasa akan dengan mudah menutup kasus ini ketika berada di meja hijau. Gllen sudah sangat menunggu hal ini sejak dulu, pria ini begitu kesal karena selalu mendengar pujian pujian terlontar dari bibir Dinda kekasihnya yg memuji kecerdasan si cupu Tsabit itu.

Tsabit mendengar dengan sangat jelas jika mobil ini tidak akan berhenti dan sengaja akan menabraknya. Tsabit telah bersiap menunggu waktunya tiba.

"Gepp"

Seketika kedua tangan Tsabit menahan laju mobil yg hendak melibasnya dari belakang itu.

"Brrrrmmmmmm,,,,,"

Raungan mobil terus menderu, namun tak sedikitpun jarak yg diraihnya. Gllen yg berada dibalik kemudi masih memijak pedalnya dengan keras, namun mobil justru terhenti dan terangkat keatas.

Seketika wajah pemuda ini pucat pasi, ketika sebuah bayangan dari jendela rumah di pinggir jalan dilihatnya. Tsabit dengan mudahnya mengangkat lamborghini kuningnya itu ke atas.

Tidak perlu waktu untuk Tsabit bisa menghempaskan mobil itu dari hadapannya.

"Brruaak"

Lamborgini kuning itu kini terhempas ke jalan dengan mudahnya.

Tsabit menatap tajam Gllen yg ketakutan setengah mati melihatnya. Tak ada sedikitpun suara yg terdengar, namun tatapan tajam Tsabit cukup untuk mengintimidasi dan membuat Gllen menelan kasar salivanya.

Tsabit meneruskan perjalanan pulangnya dan melangkah kembali. Meninggalkan Gllen yg masih syock dalam mobilnya. Beberapa rekan mereka kemudian menghampiri Gllen dan berniat membantunya keluar dari mobil. Namun Gllen yg sudah kehilangan harga dirinya itu memilih melajukan mobilnya membelah jalanan yg ramai menuju rumahnya.

Perjalanan Tsabit selama beberapa menit membawanya pulang ke rumah terbaik yg dimilikinya. Sebagai anak yatim piatu, Panti Asuhan "Rumah Bunda" adalah satu-satunya tempat pulang untuk Tsabit selama ini. Pria muda yg tampan dan bertubuh atletis ini tak menghiraukan pandangan sebelah mata yg selalu ditujukan untuknya dari rekan-rekan sekolahnya itu. Sejak kecil Tsabit sudah terbiasa dirundung dan juga diejek. Bagi anak panti, hal seperti ini adalah perjuangan yg nyaris dihadapi setiap harinya. Itulah kenapa banyak dari anak panti yg memilih berhenti sekolah dan malah berdagang membantu pengasuh panti.

Tsabit seringkali mengajak rekan-rekannya untuk tetap bersekolah, Tsabit juga memberikan motivasi pada adik-adiknya di panti untuk tetap melanjutkan studinya, namun bekal materi yg serba kekurangan untuk anak panti speerti mereka jelas akan semakin menambah perjuangan bathin mereka mengingat perundungan perundungan yg kerap kali mereka rasakan di bangku sekolah. Tsabit tak pernah menyerah, pria muda ini tetap memotivasi semua anak panti untuk mementingkan studinya, beberapa kemudian tergerak namun Tsabit juga tak memaksakkan jika memang beberapa lainnya memilih menolaknya. Bagi Tsabit, seluruh penghuni panti adalah saudaranya yg akans elalu dijaga dan dilindunginya, sedangkan pengasuh panti adalah orang tua yg akans elalu Tsabit utamakan disepanjang hidupnya.

"Sudah pulang nak," Suara Ibu Lilis pengasuh panti membuyarkan fikiran Tsabit yg sejak tadi memikirkan apalagi yg akan terjadi padanya setelah insiden tadi dengan Gllen.

"Ehh, iyaa Bu." Tsabit segera duduk dan membuka sepatunya.

"Selamat yaa nak, Ibu bangga sekali bisa punya anak seperti kamu. Alhamdulillah, kamu bisa mempertahankan nilai akdemik kamu sampai selesai dengan nilai sesempurna ini." Ibu Lilis mkemudian mengelus lembut rambut Tsabit dengan penuh kasih sayang. Perlahan derai airmata bergulir membasahi pipi wanita paruh baya itu.

"Ibu, kenapa nangis. Harusnya ibu seneng tuh tersenyum, begini nich." Tsabit yg melihat wajah ibunya menangis kemudian menjembel pipi wanita itu supaya terlihat tersenyum.

"Kamu selalu saja pandai menghibur ibu" Lilis kemudian tergelak dan mengelap sudut matanya yg masih mengalirkan butiran beningnya.

"Ibu enggak apa-apa kan, Tsabit sekarang harus bersiap ke sekolah lagi Buu." Tsabit kemudian menyimpan sepatunya ke rak.

"Untuk apa ke sekolahan lagi nak," Lilis kembali bertanya.

"Sebenarnya ada janji Buu, kenalan seorang pengajar memintaku bekerja disana untuk menjadi tenaga pengajar di rumahnya. Alhamdulillah jika beliau berkenan berarti mulai besok Tsabit bisa kerja dan membantu Ibu. Siang ini Pak Rendra membuat janji pertemuan untuk kami di sekolah" Tsabit kemudian berpamitan.

Meninggalkan Lilis yg memandanginya terus hingga Tsabit menghilang di pintu kamar. Jauh dalam hatinya Lilis merasa sangat iba dengan Tsabit. Tak seharusnya Tsabit mengalami semua ini, mengingat sebenarnya pria muda itu adalah anak seorang hartawan di kota ini. Lilis kembali menyeka sudut matanya yg mulai dialiri butiran airmata, tak kuasa mengingat identitas Tsabit yg terpaksa disembunyikan olehnya untuk kebaikan Tsabit dan juga atas permintaan kedua orangtuanya.

Tsabit masih berada dikamarnya, selesai berganti pakaian Tsabit melihat sebuah amplop cokelat sudah tergeletak disana. Seperti biasa, diakhir bulan seperti ini Tsabit mendapatkan uang bulanannya dari seorang donatur tetap yg selalu dirahasiakan namanya oleh Ibu Lilis pengasuhnya itu. Tsabit mengambil amplop itu yg terasa lebih besar dan berat dibandingkan biasanya. Namun Tsabit tak berniat menghitungnya sama sekali,

"Ibu, ini gunakanlah untuk keperluan panti." Tsabit yg keluar dari kamar kemudian menyerahkan amplop itu pada Ibu Lilis yg berada di meja makan dengan Dinda.

"Tidak, uang itu katanya bahkan dilebihkan untuk keperluanmu melanjutkan ke bangku kuliah nak." Lilis menjelaskan.

"Tidak Ibu, katakan saja pada donaturnya jika aku akan segera bekerja dan beliau bisa mengalihkan biaya donasinya pada anak panti yg lain." Sambil memakan makan siangnya Tsabit berbicara pada Lilis dengan tenang.

"Nak, beliau tetap akan berdonasi untukmu sepanjang hidupnya." Lilis kembali menjelaskan dengan hati-hati. Tak tahan rasanya terus membohongi Tsabit selama ini bahwa semua uang yg diterimanya itu adalah uang dari ayahnya kandungnya sendiri.

"Yaa sudah kalo beliau berniat baik seperti itu, tapi ibu ambil saja uangnya untuk menambah nambah uang panti ya." Tsabit kembali dengan niatnya, sambil mengakhiri makannya.

"Baiklah nak," Lilis mengiyakan seraya mengambil amplop cokelat dihadapannya itu.

"Jika Ibu dan Dinda senggang, jangan lupa belanjakan untuk beli penanak nasi yg lebih besar supaya Ibu tak kerepotan setiap masak nantinya ya." Tsabit berkata sambil bergegas pergi kembali ke sekolah.

"Hmmh,,," Dinda bergumam sendiri sambil menatap erat tubuh Tsabit yg makin menjauh dari matanya.

"Ganteng dan baik ya kan," Ibu Lilis yg memperhatikan sikap Dinda wanita muda itu.

"apaan sich buu," Dinda nampak malu dengan wajah yg bersemu merah.

*************************

Lanjut baca ya,

simpan ke rak untuk dapet pembaruan bab setiap harinya yaa

Bintang dan hadiahnya juga ditunggu yaa,

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku