Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Finding A True Love

Finding A True Love

rruby

5.0
Komentar
141
Penayangan
14
Bab

Di mata Kanaya Amelitta cinta adalah sumber masalah, sesuatu yang menyakitkan dan hanya akan meninggalkan luka. Setelah semua hal yang dia alami, Kanaya mulai menutup hatinya rapat-rapat dan menolak setiap pernyataan cinta. Kanaya tidak berniat untuk menjadi impian romantis orang lain dan menyusahkan dirinya sendiri. Kemunculan Gavin Januartha adalah musibah bagi Kanaya. Gavin dengan sifatnya yan begitu positif berhasil menarik perhatian Kanaya. Gavin membuatnya nyaman, kehadirannya seperti matahari yang muncul setelah malam panjang yang gelap dan dingin. Namun, saat Gavin membisikan kata cinta padanya, Kanaya malah merasa takut dan benci. Dengan segala cara, Kanaya berhasil pergi menjauh dari Gavin. Namun, setelah delapan tahun berpisah mereka dipertemuka lagi dan melalui sebuah peristiwa tak terduga, Kanaya malah membuat Gavin terikat dengannya sedangkan di satu sisi Gavin sudah memilki ikatan dengan yang lain. Bagaimana Kanaya menghadapi semua ini? Menghadapi perasaan takut dan benci yang dia miliki, terlebih lagi menghadapi Gavin yang ternyata begitu keras kepala. Bisakah Kanaya terus mengabaikan Gavin dan menganggap kehadiran lelaki itu hanya sebagai bayangan kosong yang tidak ada artinya?

Bab 1 Episode 1 : Awal dan Cinta Tragis

Mendung menguasai langit sejak pagi ini. Suasana di luar tidak begitu bagus, begitu gelap, suram, dan terasa dingin. Tidak ada bedanya dengan raut wajah seorang gadis yang sedang duduk sendirian di tepi kolam air mancur yang berada di tengah taman labirin.

Gadis itu ingat dulu sekali, ibunya pernah bercerita bahwa dirinya dinamai Kanaya Amelitta, dengan harapan agar dia bisa tumbuh cantik dan bahagia.

Kanaya memang tumbuh dengan cantik. Kulitnya putih dan bersih, wajahnya cantik dengan mata bulat jernih, hidung yang sempurna, dan bibir yang merah alami. Namun sepertinya Kanaya tidak tumbuh dengan bahagia.

Kurang dari setahun, Kanaya sudah empat kali menghadiri upacara pemakaman. Yang pertama adalah upacara pemakaman ayahnya. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil saat melakukan perjalan bisnis ke Jakarta. Menurut kesaksian yang diberikan oleh saksi mata, kecelakaan mobil itu adalah kecelakaan tunggal. Mobil hitam yang dikendarai ayahnya mendadak menabrak bahu jalan dan akhirnya teguling beberapa meter. Ayahnya meninggal ditempat. Kanaya masih ingat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah ibunya yang terlihat begitu hancur saat menerima kabar kematian ayahnya.

Lalu seminggu kemudian, kakak keduanya berteriak histeris saat menemukan mayat ibunya yang tergantung di dalam kamar yang hanya diterangi oleh cahaya dari lampu tidur. Ibunya tidak sanggup menghadapi kepergian ayahnya yang begitu tiba-tiba, akhirnya memutuskan untuk gantung diri dan pergi menyusul suami tercintanya, meninggalkan anak-anaknya.

Belum selesai duka yang dirasakan Kanaya karena kepergian orang tuanya, dia harus kembali berhadapan dengan luka lain. Kakak pertamanya meninggal dianiaya oleh suami yang sangat dia cintai. Mayat kakak petamanya penuh dengan luka lebam yang membiru dan wajahnya tampak membengkak, hampir tidak bisa dikenali. Benar-benar pemandangan yang menyayat hati.

Kanaya membiarkan kesedihan menggerogoti dirinya selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, dia mulai tidak peduli dengan sekelilingnya. Lalu pada suatu hari Kanaya mendengar teriakan histeris yang berasal dari kamar kakak keduanya. Saat sampai di dalam kamar kakaknya, Kanaya melihat kakaknya itu sedang menangis dan tertawa secara bersamaan. Benar-benar pemandangan mengerikan yang tidak akan pernah dilupakan Kanaya sampai kapanpun. Kakaknya itu sedang menangisi tunangan tercintannya yang lebih memilih wanita lain. Setelah hari itu keadaan kakaknya semakin parah dia bahkan sudah melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri.

Kanaya yang merasa frustasi memutuskan untuk membawa kakaknya ke rumah sakit untuk konseling dengan harapan agar keadaan kakaknya bisa lebih baik, dokter menyarankan kakaknya lebih baik dirawat di rumah sakit. Namun setelah sebulan perawatan, yang Kanaya temukan bukan wajah kakaknya yang tersenyum cantik melainkan wajah pucat dengan mata membelalak mengerikan serta tubuh yang terbujur kaku di ruang mayat.

Pada saat itu Kanaya tidak tahu harus berekspresi seperti apa, menangis pun rasanya tidak bisa. Hatinya begitu sakit, dia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar. Dia benar-benar sudah tidak punya lagi tempat untuk berbagi keluh kesah, tidak ada lagi orang-orang yang akan melindungi dan mendampinginya. Upacara pemakaman kakak keduanya adalah upacara pemakaman terakhir yang dihadiri Kanaya.

Kalau diingat-ingat, ini sudah memasuki bulan keenam sejak Kanaya memutuskan untuk meninggalkan rumah keluargannya di Bandung dan pindah ke Jakarta, tinggal bersama paman Evan-adik ibunya.

Suara petir yang menggelegar membuyarkan lamunan Kanaya. Langit terlihat begitu kelabu, sebentar lagi rintik hujan pasti akan turun membasahi bumi. Kanaya harus bergegas kembali ke rumah. Saat akan berdiri, dengan ceroboh Kanaya malah menjatuhkan ponselnya ke dalam kolam.

Kanaya menatap nanar poselnya yang perlahan tenggelam ke dasar kolam. Apa yang harus dia lakukan? Itu adalah ponsel pemberian pamannya. Dengan panik Kanaya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya mencoba menemukan sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menggambil ponselnya yang sudah tenggelam. Tidak mungkin dia menceburkan dirinya ke dalam kolam, karena kolam tersebut cukup dalam yang ada dia malah ikut tenggelam bersama ponselnya.

Setelah beberapa saat, Kanaya berhasil menemukan sebuah ranting yang cukup panjang. Dia menggunakan ranting itu untuk menggambil ponselnya. Tangan kirinya berpenganggan di tepian kolam, agar dia tidak ikut tercebur. Dengan susah payah Kanaya terus berusaha tanpa ada niat menyerah.

"Hei! apa yang kamu lakukan?" suara yang terdengar lantang itu berhasil mengagetkan Kanaya membuat peganggan tangannya terlepas dan berakhir tercebur ke dalam kolam. Apa dia juga akan mati seperti keluarganya? Sepertinya iya, hanya saja keluarganya mati dengan tragis karena cinta, sedangkan dia mati konyol karena tenggelam.

Kanaya memejamkan matanya, dengan tenang dia menunggu sampai paru-parunya kehabisan oksigen. Tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri, lagi pula bagaimana caranya dia menyelamatkan diri? berenang saja dia tidak bisa.

Disisa-sisa kesadarannya, Kanaya merasa seperti ada yang meraih tubuhnya dan mengangkatnya ke permukaan. Kanaya langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya sekaligus memuntahkan air yang masuk ke dalam saluran pernapasan dan membuatnya terbatuk-batuk tanpa ampun.

Setelah selesai, Kanaya mendongak dan menatap orang yang sudah menyelamatkannya. Di depannya terdapat seorang laki-laki yang terlihat terlalu...tampan? dia memiliki sepasang mata berwarna biru yang sangat menarik, terbingkai sempuna oleh alis tebal yang berjejer rapi. Rambutnya kecokelatan dan rahangnya kokoh. Fitur wajahnya begitu sempurna, dia seperti bukan manusia.

"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki tersebut seraya memandang Kanaya cemas.

Kanaya berusaha untuk menjawab, namun tenggorokannya sakit sehingga tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

"Kanaya!" Kanaya melihat Ethan, sedang berlari ke arahnya.

"Astaga! Gavin apa yang terjadi? kenapa Kanaya bisa seperti ini?" tanya Ethan panik.

Ah, ternyata namanya Gavin. Kanaya menatap laki-laki di depannya.

Gavin menatap Kanaya sekilas. "Dia terjatuh di kolam, lebih baik kita kembali dulu ke rumah sebentar lagi akan turun hujan," usul Gavin. Tanpa menunggu persetujuan Kanaya, Gavin langsung mengangkat Kanaya, lalu menggendong gadis itu di punggungnya. Dia melakukannya dengan lembut dan perlahan.

Kanaya terkejut dan jantungnya berdebar kencang. "Kanaya, lingkarkan lenganmu di bahuku." Suara Gavin terdengar begitu lembut di telingga Kanaya. Membuatnya tidak bisa membantah, dengan pelan Kanaya melingkarkan lengannya di bahu Gavin dan menyembunyikan wajahnya di leher jenjang Gavin. Samar-samar Kanaya bisa mencium wangi tubuh Gavin, hatinya terasa hangat.

**********

Setelah hari itu, Kanaya tidak pernah bertemu lagi dengan Gavin. Dari apa yang di ceritakan Ethan, Kanaya tahu bahwa Gavin adalah sahabat Ethan. Kanaya tidak berani bertanya lebih jauh lagi.

Hari ini Kanaya benar-benar merasa bosan, paman Evan dan istrinya-bibi Tasya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Bali selama dua minggu. Ethan sejak kemarin belum pulang ke rumah. Sebenarnya Kanaya masih punya sepupu lain-Kesya, dia adalah adik kandung Ethan. Sayangnya Kesya tidak begitu menyukainya. Kesya selalu mengganggunya di setiap kesempatan dan bersikap memusuhi, nada bicaranya pun tidak ada lembut-lembutnya. Jelas mendekati Kesya dengan alasan untuk menghilangkan rasa bosan bukanlah ide yang bagus.

Kanaya menghembuskan napas kasar, kalau hanya diam seperti ini tanpa melakukan apa-apa, dia akan teringat lagi dengan keluarganya. Kanaya kemuadian bangun dari ranjang, mengambil ikat rambut dan mencepol rambutnya tinggi-tinggi. Diliriknya jam dinding di atas televisi. Baru pukul lima sore. Lebih baik dia keluar dan menghirup udara segar.

Kanaya keluar dari kamarnya lalu berjalan menuruni tangga menuju ke halaman belakang rumah. Dia ingin berjalan-jalan di sekitar taman labirin. Pamannya memiliki taman labirin yang sangat luas dihiasi dengan berbagai jenis tanaman dan bungga.

Setelah berjalan beberapa menit, Kanaya akhirnya sampai. Angin berdesau pelan, membawa aroma manis dari bungga-bungga yang sedang bermekaran. Kanaya tersenyum senang, hatinya seketika dipenuhi rasa hangat.

"Kanaya?" Kanaya tertegun melihat orang yang barusan memanggilnya.

"Kita belum pernah berkenalan secara resmi, kan? aku Gavin Januartha. Kamu bisa memanggilku Gavin," sapanya ramah sembari mengajak Kanaya bersalaman.

"Ah... aku Kanaya." Kanaya terdiam, "Kanaya Amelitta," lanjutnya salah tingkah.

Gavin tersenyum memandang Kanaya. "Sepertinya kamu baik-baik saja. Aku sedikit khawatir, waktu itu kamu terlihat kedinginan dan tubuhmu menggigil."

"Aku baik-baik saja, itu bukan apa-apa," jawab Kanaya.

"Syukurlah kalau begitu," ujar Gavin, "Tapi apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan," jawab Kanaya seadanya.

"Apa aku boleh di sini sebentar? Aku sedang menunggu Ethan, tapi sepertinya dia akan datang terlambat," jelas Gavin.

"Terserah kamu," jawab Kanaya. Ugh! Jantungnya mulai berdebar dengan kencang.

Kanaya kemudian berjalan menjauh dari Gavin. Dia takut Gavin mendengar debaran jantungnya, walaupun itu tidak mungkin. Kanaya duduk di bangku taman dan membuka buku yang dari tadi dia bawa lalu mulai fokus membaca, berusaha mengabaikan keberadaan Gavin.

"Hei Kanaya, apa kamu mau makan gula kapas?" tanya Gavin, mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung.

Kanaya tercenung, lalu akhirnya mengangguk.

"Tunggu sebentar." Gavin kemudian membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah gula kapas besar berwarna merah muda dan memberikannya pada Kanaya.

Wajah gadis itu terpana melihat gula kapas di tangannya. "Ini... sangat lembut dan manis," gumamnya.

Gavin tersenyum."Memangnya kamu belum pernah memakan gula kapas sebelumnya?"

Mata Kanaya menerawang. "Orang tuaku sangat protektif. Termasuk untuk jajanan seperti ini."

Gavin mengangguk mengerti. Ethan pernah bercerita sekilas tentang keluarga Kanaya. Sanggat disayangkan Kanaya harus menggalami hal seperti itu di usianya yang sangat muda.

"Kanaya, coba lihat! cuaca hari ini begitu cerah, langitnya cantik," ujar Gavin.

Kanaya lalu mengarahkan pandangannya ke langit. Tidak ada awan kelabu yang menghiasi langit. Langit dipenuhi dengan semburat kejinggaan yang indah.

"Kanaya, apa kamu suka gula kapasnya? Kalau kamu suka aku akan sering membawakannya untukmu."

Kanaya melirik Gavin yang duduk di sampingnya. "Aku suka, rasanya manis."

Gavin tesenyum lembut. "Baiklah, aku akan sering membawakannya untukmu."

"Terima kasih," ujar Kanaya pelan.

"Iya sama-sama. Sepertinya Ethan sudah kembali, apa kamu mau kembali ke rumah? Sebentar lagi akan gelap," ajaknya diikuti anggukan Kanaya. Mereka pun berjalan beriringan kembali ke rumah. Sepanjang jalan, Gavin terus mengajak Kanaya berbicara, sesekali dia bercerita tentang hal-hal lucu yang membuat Kanaya tidak bisa membendung tawanya.

**********

Hari demi hari berlalu, hubungan Kanaya dan Gavin semakin dekat. Gavin selalu datang menemui Kanaya hanya untuk berbagi cerita. Tidak lupa setiap datang, dia selalu membawa gula kapas yang begitu digemari Kanaya. Gavin yang baik dan ramah selalu memperlakukan Kanaya dengan hangat. Tidak pernah sekali pun Kanaya mendapati Gavin menatapnya dengan tatapan iba. Hal itu membuat Kanaya nyaman. Saat ini pun Kanaya sedang menunggu kedatangan Gavin.

"Kanaya." Kanaya menoleh ke sumber suara. Terlihat Gavin yang sedang berjalan ke arahnya. tampak kepayahan, napasnya tidak beraturan.

"Tersesat lagi?" tanya Kanaya dengan nada mengejek.

"Aku tidak pernah terbiasa dengan taman labirin yang rumit ini," keluh Gavin. Dia kemuadian duduk di samping Kanaya dan merebahkan kepalanya di bahu Kanaya.

"Apa kamu sudah lama menunggu?" tangan Gavin terulur mengambil helaian rambut Kanaya dan membaui aroma yang menempel di rambut hitam Kanaya.

"Tidak juga." Kanaya menjawab singkat.

Gavin melirik Kanaya. "Tadi aku bertemu Kesya," ujarnya pelan.

"Oh ya? apa yang dia katakan?" tanya Kanaya, tampak tertarik.

"Tidak ada yang penting."

"Ck!..." Kanaya berdecak kesal. Kalau tidak ada yang penting kenapa tiba-tiba membahas Kesya? "Apa kamu membawa gula kapasku?" tanya Kanaya pada akhirnya.

Gavin tertawa. "Tentu saja aku membawanya, itu adalah tiket agar bisa bertemu denganmu." Gavin kemudian mengelurkan sebuah gula kapas besar dari dalam tasnya dan memberikannya pada Kanaya.

Kanaya menerimanya dengan senang hati dan mulai memakan gula kapas tersebut. Gavin tersenyum geli mempehatikan tingkah Kanaya.

"Apakah gula kapas itu begitu enak sampai kamu tidak mengacuhkanku?"

Kanaya tidak memedulikan sindiran Gavin, dia hanya fokus memakan gula kapas yang terasa begitu lembut dan manis.

"Aku juga ingin tahu bagaimana rasa gula kapas itu," gumam Gavin.

"Kamu mau?" tanya Kanaya.

Gavin mencondongkan tubuhnya ke arah Kanaya. "Aku ingin mencoba rasanya dengan caraku sendiri," bisiknya.

Sebelum Kanaya sempat bertanya apa maksud dari kata-kata Gavin berusan, Gavin sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di bibir Kanaya. Memberikan ciuman lembut yang memabukan. Lidahnya menuntut Kanaya untuk membuka bibir,mencicipi manisnya mulut gadis itu.

Kanaya terengah, perutnya terasa campur aduk, seakan jutaan kupu-kupu beterbangan serentak di sana. Ia memejamkan mata, menikmati ciuman Gavin. Setelah beberapa saat, Gavin menghentikan ciumannya, memberikannya kesempatan untuk bernapas.

Gavin membelai pelan pipi mulus Kanaya. Kanaya membuka mata, melihat mata biru Gavin yang sedang memandangnya penuh arti. "Gav...," bisik Kanaya, tetapi sebelum dia menyelesaikan kalimat itu, mulutnya kembali terkunci dengan ciuman Gavin yang lembut namun begitu mendominasi.

Gavin menghentikan ciumannya dan memberi jarak yang cukup diantara mereka. "Kanaya." Gavin memanggil Kanaya dengan suara seraknya. Tangannya terulur mengelus lembut bibir Kanaya yang membengkak.

Bibir Kanaya terasa kelu, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam menunggu penjelasan Gavin.

Gavin menatap Kanaya. "Kanaya... ku rasa aku mencintaimu," ucapnya serak.

Cinta? omong kosong macam apa ini? "Gavin...," ujar Kanaya dengan suara bergetar matanya mulai berkaca-kaca. Dengan cepat Kanaya menepis tangan Gavin. Ia kemudian berlari sekuat tenaga menjauh dari tempat itu, mengabaikan Gavin yang memanggil namanya.

Kanaya sangat ketakutan. Dia merasa benci dan takut terhadap cinta yang dia yakini sebagai sumber dari semua masalah yang dia alami. Tidak ada akhir yang baik dari cinta, sekali berurusan dengan cinta hanya ada akhir tragis yang menunggu. Kanaya tidak mau berakhir tragis seperti ibu dan kakak-kakaknya.

********

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku