Finding A True Love
embuskan napas panjang, merasa lega karena perlahan
epalanya juga sedikit pusing. Sepertinya dia harus segera kemb
alu jauh dari tempat acara resepsi pernikahan, jadi dia hanya perlu berjalan se
, menunggu pintu lift terbuka. Kamarnya berada di lantai sembilan, jadi dia harus me
Clara. Tadi Clara memintanya untuk menunggu, tapi Kanaya malah pergi meninggalkan Clara. Kanaya segera mengeluarkan ponse
eritahu Clara bahwa dia sudah kembali duluan karena tid
begitu panggilan telepon terhub
k tahan lagi, jadi aku pergi duluan. Maaf sudah meninggal
ena tidak bisa memukanmu." Clara berucap dengan nada ringan. "Kamu benar-benar sudah kembali ke
el. Sekarang aku sedang berada
ka sedang berlibur ke Lombok, Kanaya yang dalam keadaan mabuk parah salah masuk hotel. Kanaya bukannya kembal
empat kita menginap. Aku tidak salah masuk hotel lagi, jadi k
a sudah harus kembali ke Bandung, jadi istirahat yang cukup." Usai berkat
Gavin yang begitu dia hindari tetap terjadi, dan Kanaya bahkan masih menyukai lel
pan tahun yang lalu, namun di satu sisi Kanaya juga merasa takut. Rasa takut tidak berdasar yang membua
ironi terpancar jelas dari kedua bola matanya. Kanaya merasa tidak berdaya dengan situasi yang dia a
berwarna merah." Kanaya bergumam dengan suara pelan. Kanaya ingat dengan jelas bahwa karpet yang ada di lantai sembilan berwarna biru gelap, tapi karpet yang ini malah
naya mengurungkan niatnya. Kanaya tanpa sadar melangkah mendekat ke sumber suara. Dia tidak bisa menahan rasa penasar
p sosok lelaki yang sedang bersandar di dinding dengan mat
da tinggi, seolah dia tidak perca
avin sontak membuka matanya
ki itu sakit? tapi beberapa saat yang lalu Gavin tampak baik-baik saja. Tangan Kanaya terulur, he
ergi saja, tinggalkan aku sendiri," lanjut Gavin dengan susah payah. Dia berusaha mempertahankan kewarasannya yang hampir hilan
ntuk pergi. "Aku hanya ingin membantumu," ujar Kanaya lirih. Dia sedikit merasa sedih dengan sikap Gavin yang terkesan dingin. Kanaya tidak bisa berpikir rasional saat
? Gavin memalingkan wajahnya, menolak menatap Kanaya. Semakin lama dia menatap wanit
n, kamu te
enyela dengan tidak sabar, bahkan mendengar Kanaya menyebut namanya saja dia
Gavin jelas-jelas sedang kesakitan. Lelaki itu terlihat tidak berdaya, bagaimana mungkin Kanaya meninggalkan Gavin begit
uk membuka pintu," ujar Kanaya, matanya melirik
menahan dorongan aneh yang muncul sampai tangannya gemetar, sehingga membuatnya kesulitan untuk membuka pintu
vin dan memapah Gavin yang tampak kepayahan agar lelaki itu bisa masuk ke kamarnya untuk beristirahat
arah ranjang. Kanaya bersyukur di saat seperti ini tubuhnya mau bekerja sama
atas ranjang. "Gavin, apa kamu yaki
pergi Kanaya." Untuk kesekian kalin
u?" Kanaya juga tidak tahu kenapa dia bersikeras untuk menemani Gavin, tidak peduli berapa kali lelaki itu m
sa mengendalikan dirinya sendiri. Sikap keras kepala Kanaya membuat semuanya semakin sulit. Kanaya
rgi, aku sudah mengatakannya berulang kali. Tapi, kamu tidak pernah mendengarkanku. Jadi sekar