Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Penggantiii

Istri Penggantiii

Bakti Ardi

5.0
Komentar
6
Penayangan
5
Bab

Hanum, seorang istri yang selalu percaya Tuhan sudah menentukan dirinya untuk siapa, meski jalannya salah, pahit, sampai rusak sekali pun dia berjanji akan tetap menata masa depannya sebaik mungkin ... hingga ia menemukan penawarnya.

Bab 1 Apakah Kamu

"Nak ... apakah kamu bersedia dan ikhlas?" tanya Kyai pada Hanum putri semata wayangnya.

Hanum mengangkat wajah sembari menelan salivanya kasar lalu air mata perlahan menetes membasahi pipinya. Ia tahu betul tidak bisa lagi menyangkal permintaan suaminya untuk tidak berpoligami.

Hatinya sama seperti wanita lain yang juga bisa hancur berkeping-keping jika diduakan apa lagi dimadu! Bahkan tinggal seatap oleh lelaki yang cintanya terbagi untuk wanita lain.

Itu teramat sakit! Sangat sakit ... tetapi, Hanum bisa apa? Alasan suaminya berpoligami sangatlah kuat ia ingin segera memiliki keturunan, sedangkan mereka sudah dua belas tahun lamanya belum juga diberi kesempatan memiliki keturunan yang lucu-lucu seperti impian suaminya.

"Abi, aku menikah dan bersama ustadz Riza sampai sekarang itu karena perjodohan dari abi. Hanum berikan hidup Hanum untuk mengejar Surga seperti yang selalu abi katakan ...," perkataan Hanum terjeda beberapa saat lalu melanjutkan perkataannya lagi. "Abi ... jika dulu Hanum ikhlas untuk menikah bersama lelaki pilihan abi karena mengejar surga! Sekarang ... Hanum ingin bertanya?!" ucapan Hanum terhenti karena tercekat sesakan tangis yang begitu menyesakkan dadanya.

Hanum menatap wajah abi lalu menoleh pada umi dan menyeka air matanya perlahan. "Abi ... umi ... Hanum ingin bertanya, apakah dengan menerima poligami dari mas Riza ... Hanum akan menerima surga yang Allah janjikan? Jika iya ... Hanum ikhlas."

Istri dari Kyai pun tersenyum. "Pasti, Nak ... pasti! Bahkan kamu nggak mengizinkan poligami pun, umi yakin ... surga akan selalu berpihak padamu. Masih banyak cara menunaikan Sunnah Baginda Rasul bukan? Jadi jika dirimu nggak mengizinkan pun nggak jadi masalah," jelas umi sembari menatap bola mata Hanum yang sejak tadi sudah berkaca-kaca mendengar penjelasannya.

Ustadz Riza sontak menoleh seperti menantang perkataan umi. "Tapi ... umi! Sudah dua belas tahun aku menunggu Hanum, tetapi sampai sekarang ... Hanum tidak juga memberiku anak! Aku ingin anak umi! Aku ingin berahli waris! Umur tidak ada yang tahu umi ... bagaimana pesantren? Jika aku tiada umi?" ucap Riza dengan intonasi yang tinggi dan cepat.

Hanum yang mendengar perkataan itu seketika air matanya mengalir deras, dia bagaikan wanita tidak berguna di mata suaminya sendiri. Seandainya Ustadz Riza tahu dia pun tersiksa oleh takdir Allah yang seperti menghukumnya di dunia fana ini.

Hanum menatap wajah tampan suaminya, dia sangat bersyukur abi menjodohkan dirinya dengan Ustadz yang begitu tampan dan sangat taat pada agama. Benih cinta itu selalu tumbuh di setiap harinya, bahkan sampai sekarang dirinya masih belum tahu sehancur apa dirinya nanti jika melihat suami yang sangat ia cinta itu dimiliki orang lain.

"Turunkan nada bicaramu Ustadz Riza, abi masih menghormatimu sebagai menantu jadi tolong hormati juga kami sebagai mertuamu! Istighfar Ustadz ... istighfar!" ujar Kyai seraya menggelengkan kepala.

Terlihat umi memegang dadanya sembari menggelengkan kepalanya juga. "Dia memang istrimu ... tapi jangan pernah lupa dia juga anakku! Kebahagiaannya adalah hal yang terpenting untuk umi sekarang!" jawab umi ketus dengan bola mata yang dilemparkan ke arah lain.

"Cukup umi ... cukup abi! Bismillah ... insha Allah Hanum bersedia," jawab Hanum tegas.

"Hanum ... jangan dipaksa, Nak ...." Umi langsung merangkul punggung Hanum menyeka noda air mata di pipinya. "Nak, jangan dipaksa. Hanum berhak bahagia, Hanum berhak menentang ...," ujar umi sembari memegang kedua pipinya.

Namun, wanita yang sekarang membuka cadar di hadapan mereka itu menarik napasnya pelan. "Bismillah umi ... Hanum ikhlas." Ia mengenggam jemari umi dengan tubuh yang bergetar hebat.

"Tolonglah berlaga biasa saja, Hanum! Jangan berlebihan! Bukannya di rumah tadi kamu setuju? Dan dirimu yang meminta Mas harus meminta izin pada abi dan umi?" ketus Ustadz Riza dengan intonasi nada tinggi tidak mengenakkan untuk didengar.

"Astaghfirullah ... cukup Riza! Istighfar! Anakku sudah mengorbankan hatinya untuk kebahagiaanmu! Jangan pernah kau bilang lagi dia berlebihan!" Kyai mencoba menahan emosi yang sudah mulai tersulut, sampai menyebut menantu idamannya itu sudah tidak lagi memanggilnya Ustadz seperti biasanya.

"Aku hanya menunaikan sesuai syariat islam, apa itu salah? Aku hanya ingin anak! Apa itu salah Kyai?"

Hanum semakin menangis mendengar ucapan suaminya, dia seperti tidak mengenal sosok seorang laki-laki yang selama ini menjadi panutan hidupnya. Ustadz Riza kini sudah sangat terlihat gelap mata, dia seperti keluar dari jati dirinya sendiri terhanyut di dalam arus hawa nafsu belaka.

"Jangan pernah mengatas namakan syariat islam hanya untuk hawa nafsumu! Keluar kau sekarang! Kuberi waktu tiga hari agar dirimu menunaikan Shalat Istkharah dan meminta petunjuk dari Allah SWT."

Mendengar perkataan itu, Ustadz Riza merasa tersinggung lalu bangkit dengan tegap. Merasa tertindas oleh Kyai yang selama ini selalu membanggakan dirinya. "Assalammu'alaikum." Ustadz Riza langsung melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun melihat Hanum yang sudah menangis tersedu-sedu.

"M-Mas." Suara Hanum bergetar.

Ustadz Riza melangkah begitu cepat, meski suara Hanum memanggilnya dengan sedikit kencang dia sama sekali tidak menoleh dan tidak perduli akan apa pun yang terjadi. Namun tidak dengan Hanum, baginya Ustadz Riza masih menjadi suami yang terbaik dan cintanya masih begitu besar pada seorang lelaki yang selama dua belas tahun dia layani untuk mencari Surganya Allah.

Walaupun sekarang hati Hanum sangatlah perih, bagaikan luka yang masih berdarah ditaburi garam halus ketika melihat suami tercintanya sudah berubah dan bersikeras untuk mendua.

"Maaf, Umi ... Abi ... Hanum pergi dulu." Ia bangkit dan berlari mengejar suaminya dengan hati yang amat perih disertai linangan air mata yang tiada henti.

"Hanum ...." Suara Kyai sangat berat memanggil Hanum lalu putri semata wayang yang sangat dia sayangi itu memberhentikan lajuannya dan menoleh ke belakang.

"Anakku ... Abi bangga memiliki putri sepertimu," lirih Kyai sembari tersenyum. Namun matanya mulai berkaca-kaca hatinya sangat sakit melihat putri kesayangannya tersakiti oleh menantu pilihannya sendiri.

Hanum hanya membalas dengan senyuman, lalu melanjutkan langkah kakinya kembali menyusul Ustadz Riza di depan. Sesampainya di depan hatinya sedikit lega melihat mobil lelaki yang ia cintai masih berada di halaman rumahnya dengan Ustadz Riza di dalamnya.

"Assalammu'alaikum, Mas ...," sapa Hanum saat membuka pintu mobil.

"walaikumsalam. Bukannya abi melarangku untuk menemuimu beberapa hari ke depan?" ucap Ustadz Riza sewot.

"Istighfar, Mas. Bukan itu maksut abi ... lagian aku ini masih istrimu! Jadi ke mana pun kamu aku akan ikut," ucap Hanum gugup.

"Baguslah! Aku juga ingin mengajakmu ke pesantren, ingin memperkenalkan calon istriku nanti."

Degh!

Mendengar perkataan itu, hati Hanum semakin sakit kembali. Belum tuntas izinnya pada Kyai kini malah ingin memperkenalkan calon madunya di pesantren.

Hanum membungkam mulutnya tidak berani menjawab ia hanya menghadap ke depan di tengah lajuan mobil yang dikendarai dengan kencang. Namun ... saat hati dan fikiran Hanum seperti dihantam badai, seketika ia kembali sadar oleh kata-kata suaminya. Yaitu PONDOK PESANTREN! Hal itu membuat Hanum bertanya-tanya sekaligus terkejut. Bukankah pengurus pondok rata-rata wanita yang sudah menikah?

Lantas? Siapa yang ingin suaminya kenalkan sebagai calon istrinya? Fikiran Hanum semakin dibuat pusing oleh perilaku suaminya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bakti Ardi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku