Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
“Suami baru pulang kerja bukannya disambut, ini justru asyik sendiri dengan ponsel. Anak dibiarkan begitu saja,” protes Karan kepada istrinya saat tiba di rumah.
Reina terpaku seraya mematikan ponselnya, dia baru saja akan menyelesaikan paparan terakhir usai mengisi materi kepenulisan lewat whatsapp group. Hati Reina semakin hancur saat dia mendapatkan betakan dari suaminya. Sudah beberapa hari terakhir, sejak Reina kembali dari rumah orang tuanya sikap Karan berubah. Bahkan, dia tidak lagi berpamitan untuk berangkat kerja, apalagi mencium keningnya seperti biasa.
Sudah lewat satu bulan pernikahan Reina dengan duda dua orang anak. Karan menikahinya, membawa Reina ke rumah yang dia beli sebelum mereka menikah. Merasa sangat bahagia ketika saat itu Karan selalu melibatkan dirinya dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, setelah pernikahan mereka berjalan semua berubah seketika.
Hati Reina semakin hancur, ketika dia mendapati suami masih terus mengingat dan menyebutkan mendiang ibu dari kedua anaknya. Tidak salah memang, tapi hidup bersama lelaki yang belum usai dengan masa lalunya membuat Reina banyak terluka. Dia juga ingin mendapatkan tempat dalam hati Karan sebagai istri, wanita yang dipilih menjadi istri dan ibu dari kedua anaknya.
Seluruh upaya Reina lakukan untuk mendapatkan hati Karan termasuk mengurus kedua anaknya yang masih terlalu kecil ditinggal ibunya. Reina terus berusaha bertahan dengan Karan demi kedua anak yang sudah dicintainya dan dianggap Reina seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, semua itu masih belum cukup dan terasa kurang dalam pandangan Karan.
“Anak baru pulang kerja, bukannya disiapkan makan. Mana buktinya kalau kamu menyayangi anak-anak?”
“Kenapa harus marah-marah? Kalau hanya meminta tolong, kamu bisa bicara baik-baik denganku. Sudah kukatakan jangan memarahiku, kamu sudah tahu bahwa istrimu tidak bisa dimarahi.”
“Percuma saja, sampai kapanpun kamu tidak akan menganggap anakku sebagai anakmu.”
“Aku yang seharusnya bicara begitu kepadamu, kenapa kamu membuat sebuah postingan di media sosial seolah aku ini tidak pernah ada diantara anak-anak dan juga kamu. Mereka mendapatkan kasih sayang ibunya, meski aku bukan wanita yang melahirkannya.”
“Apa yang salah? Benar bukan, bahwa anak-anak memang sudah tidak memiliki ibu? Apakah aku ini salah?”
“Lalu, aku di sini sebagai apa? Aku ini ibunya, kenapa kamu berkata seolah aku tidak ada di rumah ini?”
Reina tidak kuasa menahan sesak di hatinya, air mata mengalir seiring dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada Karan. Tidak pernah dia bayangkan, bahwa lelaki yang pernah dia percaya akan menyakiti hatinya cukup dalam. Lelaki yang telah berjuang diawal untuknya, melewati badai dan juga gelapnya malam hanya untuk memenuhi janji untuk melamarnya.
Kini, semua itu hanyalah sebuah ingatan yang sia-sia untuk dikenang. Seolah, Karan lupa bahwa dia pernah berjuang untuk Reina, gadis yang dinikahi Januari lalu. Reina masih sanggup beradu mulut dengan Karan hanya demi sebuah harapan agar Karan berubah dan memperbaiki segalanya.
Dihadapan anak sulungnya, Reina dengan Karan bertikai. Anak sulungnya juga menyaksikan bagaimana ibunya berderai air mata saat berdebat dengan sang ayah. Ini bukan pertikaian pertama, tapi untuk pertama kalinya mereka beradu mulut dan mungkin akan menjadi pertikaian terakhir kali. Setelah sebelumnya, mereka hanya bertikai lewat pesan chat.
“Sekarang terserah kamu, aku akan ikuti semua yang kamu inginkan. Sudah sejak awal kukatakan bahwa aku ini memiliki dua orang anak, lalu kenapa kamu mau menikah dengan seorang duda sepertiku?”
“Kenapa kamu berkata begitu? Aku hanya tidak mengerti dengan sikapmu. Seolah kamu tidak berniat menikah denganku.”
“Jika aku tidak berniat, untuk apa aku datang ke rumah saat hujan deras dan mati lampu? Semua kulakukan untuk apa kalau bukan untuk menikah denganmu?
“Tapi sikapmu berubah, jangankan untuk menyentuh istrimu. Bahkan untuk menatap istrimu saja kamu sudah tidak mau lagi.”