Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
365 Days Without You

365 Days Without You

Ayyana Zoe

5.0
Komentar
119
Penayangan
10
Bab

Reina terpaksa menerima perpisahannya dengan Karan. Setelah jatuh talak satu dan segala upaya dilakukan Reina untuk mempertahankan pernikahannya dengan Karan. Akan tetapi, semua itu tidak membuat Karan menarik kembali ucapannya. Karan juga terpaksa melepas Reina, hanya karena takut kehilangan kedua anaknya. Hubungan mereka tergantung tanpa kepastian, sebab Karan belum juga mengurus ke Pengadilan Agama. Hingga kabar pernikahan Karan diketahui oleh Reina. Bersamaan dengan datangnya utusan untuk mengurus sidang perpisahan mereka. Bagaimana Reina melanjutkan hidupnya tanpa Karan? Dapatkah, dia menemukan Kebahagiaan impiannya? Follow IG: Ayyana Zoe

Bab 1 Pertikaian

"Suami baru pulang kerja bukannya disambut, ini justru asyik sendiri dengan ponsel. Anak dibiarkan begitu saja," protes Karan kepada istrinya saat tiba di rumah.

Reina terpaku seraya mematikan ponselnya, dia baru saja akan menyelesaikan paparan terakhir usai mengisi materi kepenulisan lewat whatsapp group. Hati Reina semakin hancur saat dia mendapatkan betakan dari suaminya. Sudah beberapa hari terakhir, sejak Reina kembali dari rumah orang tuanya sikap Karan berubah. Bahkan, dia tidak lagi berpamitan untuk berangkat kerja, apalagi mencium keningnya seperti biasa.

Sudah lewat satu bulan pernikahan Reina dengan duda dua orang anak. Karan menikahinya, membawa Reina ke rumah yang dia beli sebelum mereka menikah. Merasa sangat bahagia ketika saat itu Karan selalu melibatkan dirinya dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, setelah pernikahan mereka berjalan semua berubah seketika.

Hati Reina semakin hancur, ketika dia mendapati suami masih terus mengingat dan menyebutkan mendiang ibu dari kedua anaknya. Tidak salah memang, tapi hidup bersama lelaki yang belum usai dengan masa lalunya membuat Reina banyak terluka. Dia juga ingin mendapatkan tempat dalam hati Karan sebagai istri, wanita yang dipilih menjadi istri dan ibu dari kedua anaknya.

Seluruh upaya Reina lakukan untuk mendapatkan hati Karan termasuk mengurus kedua anaknya yang masih terlalu kecil ditinggal ibunya. Reina terus berusaha bertahan dengan Karan demi kedua anak yang sudah dicintainya dan dianggap Reina seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, semua itu masih belum cukup dan terasa kurang dalam pandangan Karan.

"Anak baru pulang kerja, bukannya disiapkan makan. Mana buktinya kalau kamu menyayangi anak-anak?"

"Kenapa harus marah-marah? Kalau hanya meminta tolong, kamu bisa bicara baik-baik denganku. Sudah kukatakan jangan memarahiku, kamu sudah tahu bahwa istrimu tidak bisa dimarahi."

"Percuma saja, sampai kapanpun kamu tidak akan menganggap anakku sebagai anakmu."

"Aku yang seharusnya bicara begitu kepadamu, kenapa kamu membuat sebuah postingan di media sosial seolah aku ini tidak pernah ada diantara anak-anak dan juga kamu. Mereka mendapatkan kasih sayang ibunya, meski aku bukan wanita yang melahirkannya."

"Apa yang salah? Benar bukan, bahwa anak-anak memang sudah tidak memiliki ibu? Apakah aku ini salah?"

"Lalu, aku di sini sebagai apa? Aku ini ibunya, kenapa kamu berkata seolah aku tidak ada di rumah ini?"

Reina tidak kuasa menahan sesak di hatinya, air mata mengalir seiring dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada Karan. Tidak pernah dia bayangkan, bahwa lelaki yang pernah dia percaya akan menyakiti hatinya cukup dalam. Lelaki yang telah berjuang diawal untuknya, melewati badai dan juga gelapnya malam hanya untuk memenuhi janji untuk melamarnya.

Kini, semua itu hanyalah sebuah ingatan yang sia-sia untuk dikenang. Seolah, Karan lupa bahwa dia pernah berjuang untuk Reina, gadis yang dinikahi Januari lalu. Reina masih sanggup beradu mulut dengan Karan hanya demi sebuah harapan agar Karan berubah dan memperbaiki segalanya.

Dihadapan anak sulungnya, Reina dengan Karan bertikai. Anak sulungnya juga menyaksikan bagaimana ibunya berderai air mata saat berdebat dengan sang ayah. Ini bukan pertikaian pertama, tapi untuk pertama kalinya mereka beradu mulut dan mungkin akan menjadi pertikaian terakhir kali. Setelah sebelumnya, mereka hanya bertikai lewat pesan chat.

"Sekarang terserah kamu, aku akan ikuti semua yang kamu inginkan. Sudah sejak awal kukatakan bahwa aku ini memiliki dua orang anak, lalu kenapa kamu mau menikah dengan seorang duda sepertiku?"

"Kenapa kamu berkata begitu? Aku hanya tidak mengerti dengan sikapmu. Seolah kamu tidak berniat menikah denganku."

"Jika aku tidak berniat, untuk apa aku datang ke rumah saat hujan deras dan mati lampu? Semua kulakukan untuk apa kalau bukan untuk menikah denganmu?

"Tapi sikapmu berubah, jangankan untuk menyentuh istrimu. Bahkan untuk menatap istrimu saja kamu sudah tidak mau lagi."

"Suamimu tidak akan berubah kalau sikapmu juga tidak merubahnya."

Reina kembali terdiam, dia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi sikap suaminya. Untuk kali ini, Karan sepertinya benar-benar sangat marah dan sulit dikendalikan. Sejak awal menikah hubungan mereka diwarnai dengan pertikaiannya, ini merupakan pertikaian paling buruk dalam perjalanan pernikahan mereka.

Karan membawa anak bungsunya yang sejak tadi menangis ke kamar. Reina hanya menahan sesak seraya menyekai air matanya. Tak ada yang bisa dia lakukan selain melanjutkan menyuapi makan anak sulungnya. Hatinya sakit, tapi dia tidak bisa mengobatinya.

Setelah anak gadisnya tertidur, Karan kembali duduk di ruang tengah tidak jauh dari Reina. Sementara Reina masih tertunduk rapuh, tak mampu melihat tatapan sang suami yang terlihat begitu murka padanya.

"Jadi, mau kamu apa sekarang? Kenapa kamu harus bicara perihal itu kepada adikku? Kamu mau kita berpisah?"

"Apa yang bisa kulakukan? Tak ada seorang pun yang mau menghancurkan pernikahannya sendiri. Aku hanya ingin kita perbaiki semua sama-sama. Apa kamu tidak lelah kita bertikai setiap hari? Selama ini aku selalu melakukan apa yang kamu minta, kupenuhi semuanya. Aku hanya ingin mendapatkan hatimu seperti kamu menempatkan istrimu sebelumnya di hidupmu."

"Sudahlah! Aku capek dengan semua ini, lagi pula kita tidak bertikai setiap hari. Kamu saja yang terlalu memaksa untuk sesuatu hal yang tak bisa aku lakukan. Kalau kamu mau, aku akan penuhi permintaanmu itu."

Karan kembali meninggalkan Reina, dia masih terbakar emosi. Sementara Reina belum usai dengan tangisannya. Lelaki, kenapa tidak bisa peka menghadapi ucapan seorang wanita? Dia bahkan tidak berusaha membujuk Reina, tetapi justru membiarkan pertengkaran ini semakin memanas.

Setelah Reina usai menyuapi anaknya, dia membersihkan piring. Lalu kembali duduk menemani anak sulungnya yang sedang memainkan ponsel. Air mata Reina tak berhenti mengalir, melihat anaknya hati Reina semakin hancur. Dia berusaha bertahan dengan pernikahan ini agar anak-anak yang kehilangan ibunya mendapatkan kasih sayang seorang ibu.

Namun, apalah daya Reina saat itu. Dia menikah dengan ayahnya, entah seberapa besar rasa sayang dan rasa cinta Reina kepada kedua anak sambungnya. Hal itu tidak akan merubah keadaan, jika Karan masih saja bersikap semena-mena dengan sikap keras kepala dan arogansinya. Reina harus mengambil pilihan antara bertahan untuk anak-anak, atau mundur dari pernikahan ini untuk mencari bahagia dan menyelamatkan kesehatan mentalnya.

"Bunda dengan ayah kenapa? Jangan begitu lagi, aku tidak mau melihat Bunda dengan ayah begitu," pinta Farhan, anak sulungnya.

Reina mengangguk, "iya, Nak. Maafkan Bunda, Bunda dengan ayah hanya sedang salah paham saja."

Reina memeluk Farhan, dia juga mengecup kening anaknya. Betapa besar cinta seorang ibu kepada anaknya, meski dia tahu bahwa dirinya tidak pernah melahirkan kedua anak tersebut. Akan tetapi, Reina harus menghadapi dua pilihan sulit, antara anak-anak dan pernikahannya atau mentalnya serta kebahagian yang dia harapkan. Bukan tidak bahagia, tapi Reina lebih banyak menerima rasa sakitnya daripada bahagia setelah menikah dengan Karan.

Ya, Reina memahami bahwa tujuan utama menikah bukan hanya untuk bahagia. Akan tetapi, dia berharap bahwa pernikahannya akan membuat dirinya bahagai. Reina ingin memiliki rumah untuknya pulang serta menetap, rumah impian itulah adalah suaminya. Namun kini, dia bahkan merasakan hampa seperti yang dia rasakan saat berada di rumahnya sendiri.

Reina yang sejak kecil harus menjadi korban broken home, orang tuanya berpisah saat Reina dalam kandungan ibunya. Lalu, Reina terpaksa tinggal bersama kakek neneknya saat ibunya memilih menikah lagi. Kehidupan sulit sudah Reina lalui, dia berharap bahwa dengan pernikahan ini akan menemukan sesuatu yang lebih baik dari apa yang tidak dia dapatkan dalam keluarganya.

"Harapan itu hancur, aku yang terlalu banyak menaruh harap kepada lelaki pilihanku. Tuhan, bagaimana aku melanjutkan hidupku? Bagaimana aku harus mengambil pilihan diantara dua hal yang begitu sulit untuk kupilih?" batin Reina.

BERSAMBUNG...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ayyana Zoe

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku