/0/20257/coverorgin.jpg?v=d895fe5a67d001708f299466b8794622&imageMogr2/format/webp)
Hari itu, langit mendung menggantung seolah ikut menyerap resah di hati Selena Atmadja. Di balik tabir putih yang menutupi ruang pelaminan, ia duduk dengan tangan gemetar. Gaun pengantin berwarna gading yang ia kenakan terasa seperti belenggu, menekan dada, membuat napasnya berat.
"Tenang, Na. Semua akan baik-baik saja," bisik Nadira, sahabat sekaligus pendamping pengantinnya, sambil menggenggam tangan Selena.
Selena hanya tersenyum hambar. Bagaimana mungkin semuanya baik-baik saja, jika hari ini ia menikah dengan pria yang hampir tak ia kenal?
Perjodohan itu datang terlalu tiba-tiba. Baru dua bulan lalu, ibunya menerima lamaran keluarga Hartanto. Keluarga terpandang, kaya raya, dan berpengaruh di dunia bisnis. Selena sempat menolak, tapi ibunya meyakinkan bahwa perjodohan ini adalah jalan terbaik. "Davin anak yang baik, Na. Ibu yakin kamu akan bahagia."
Bahagia. Kata itu kini terdengar seperti gurauan.
Suara penghulu yang mulai memimpin akad membuat jantung Selena berdetak tak karuan. Dari balik tabir, ia bisa melihat sosok tegap dengan setelan jas hitam duduk di seberang. Itulah calon suaminya-Davin Hartanto.
Pria itu tampak tenang. Wajah tampannya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Sama sekali tak ada keraguan dalam sikapnya. Justru Selena yang terasa ingin pingsan.
"Aku terima nikahnya Selena Atmadja binti Surya Atmadja dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Kalimat ijab kabul meluncur lancar. Para saksi mengangguk, dan takbir kecil terdengar. Semua orang tersenyum. Acara berjalan sempurna.
Kecuali hati Selena.
Resepsi berlangsung meriah. Bunga mawar putih menghiasi setiap sudut, lampu kristal bergemerlap, dan musik lembut mengalun. Para tamu berdesakan memberikan selamat, memuji kecantikan Selena, memuji ketampanan Davin, seolah mereka pasangan sempurna.
Selena hanya mampu tersenyum tipis. Dari samping, ia memperhatikan sikap Davin. Ada yang aneh. Pria itu selalu menunduk, jarang menatapnya langsung. Bahkan saat mereka diminta berfoto, Davin hanya berdiri kaku, seakan tubuhnya jauh dari dirinya.
"Suamimu tipe pendiam, ya?" bisik Nadira sambil mengedipkan mata nakal.
Selena pura-pura tertawa. Padahal hatinya justru semakin tenggelam dalam keraguan.
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan pesta usai, Selena dibawa ke kamar pengantin di lantai atas hotel mewah. Jantungnya berdebar. Ia tak tahu apa yang harus diharapkan.
Saat pintu tertutup, Davin melepas jas dan meletakkannya di kursi. Ia berdiri beberapa detik tanpa menoleh. Lalu, dengan suara dingin ia berkata, "Aku minta maaf, Selena."
Selena terkejut. "M-maaf? Untuk apa?"
Davin menghela napas berat, lalu menatapnya untuk pertama kali. Tatapan itu dingin, kosong, seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu.
"Pernikahan ini... tidak bisa aku lanjutkan."
Darah Selena seakan berhenti mengalir. "Apa maksudmu? Baru saja kita-"
"Aku sudah melakukan kesalahan besar." Suaranya bergetar, tapi tegas. "Aku menghamili seorang wanita, jauh sebelum akad ini berlangsung. Dia butuh aku. Aku harus bertanggung jawab padanya."
Selena terdiam. Suara di kepalanya riuh, tapi lidahnya kelu. Dunia yang baru saja ia injak sebagai seorang istri, runtuh seketika.
"Jadi... kau menceraikan aku?" bisiknya lirih.
Davin menunduk. "Ya. Aku minta maaf, Selena. Aku memang pengecut, tapi aku tidak bisa meninggalkan dia."
Air mata Selena menetes begitu saja. Semua orang, semua tamu, keluarganya, semua percaya hari ini adalah awal dari kebahagiaan. Siapa sangka, justru hari ini adalah akhir?
Keesokan paginya, kabar itu sudah sampai ke telinga Madame Ratih, ibu Davin. Wanita elegan berusia lima puluh tahun itu nyaris pingsan mendengarnya. Di ruang tamu rumah besar keluarga Hartanto, ia menatap Selena yang duduk pucat dengan mata sembab.
"Astagfirullah... Davin, anak itu benar-benar sudah membuat aib besar!" geram Ratih. "Bagaimana mungkin ia menceraikanmu setelah akad? Apa kata orang nanti?!"
Selena menggigit bibir. Ia ingin menjawab, tapi terlalu lelah.
Ratih menghela napas panjang, lalu menatap Selena penuh iba. "Nak, aku mohon. Jangan anggap keluarga ini mengkhianatimu. Davin memang keterlaluan. Tapi aku... aku masih ingin kau tetap menjadi bagian dari keluarga ini."
Selena terperangah. "Maksud Tante?"
Ratih menatapnya serius. "Menikahlah dengan Leonard."
Nama itu meluncur begitu saja, membuat dada Selena terhentak. Leonard. Adik kandung Davin. Pria yang nyaris tak pernah muncul di depan publik, yang katanya lebih suka mengurung diri di rumah, yang dikenal dingin dan misterius.
"Tidak mungkin, Tante," Selena buru-buru menolak. "Aku... aku tidak bisa. Bagaimana orang-orang melihatku nanti? Hari ini aku menikah dengan Davin, besok aku menikah dengan adiknya? Itu gila."
Ratih menggenggam tangan Selena erat. "Aku tahu ini berat. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu, Nak. Kau menantu yang baik, yang layak untuk keluarga ini. Jangan biarkan aib Davin merusak semuanya."
Selena menunduk. Hatinya berteriak. Ia ingin lari, ingin kabur sejauh mungkin. Tapi genggaman Ratih seakan rantai yang mengikatnya.
Di kepalanya hanya ada satu pertanyaan: Apakah ini garis takdir yang tak bisa ia hindari?
Hari-hari setelah itu berjalan seperti mimpi buruk. Selena tinggal di rumah orang tuanya, tapi gosip sudah menyebar ke mana-mana. Tetangga berbisik, teman-teman bertanya dengan nada heran, bahkan kerabat jauh pun menghakiminya.
"Kasihan sekali Selena, baru menikah sudah diceraikan."
"Pasti ada yang salah dengannya, kalau tidak mana mungkin Davin tega."
"Eh, katanya dia mau dinikahkan dengan adiknya Davin, ya? Astaga, kok bisa?"
Bisikan-bisikan itu seperti duri yang menusuk hati Selena.
Suatu sore, Ratih datang ke rumah keluarga Atmadja. Dengan segala wibawa dan kelembutannya, ia kembali membujuk.
"Selena, Leonard memang berbeda. Dia dingin, sulit didekati. Tapi aku percaya dia bisa jadi suami yang baik. Setidaknya, dia tidak akan memperlakukanmu seperti Davin."
Selena hanya diam. Kata-kata Ratih masuk, tapi hatinya masih menolak.
Namun, ibunya sendiri, Lestari, ikut menimpali. "Nak, mungkin ini jalan Tuhan. Mungkin Leonard memang jodohmu. Jangan menutup hati."
Selena merasa terpojok. Ia ingin berteriak, ingin berkata bahwa semua ini tidak adil. Tapi mata ibunya yang penuh harap membuatnya terdiam.
Hingga malam itu, saat ia menatap langit dari balkon kamar, Selena akhirnya sadar.
Mungkin benar, ia tak bisa melawan takdir.
Langkah kaki Selena terasa berat ketika ia memasuki rumah keluarga Hartanto untuk pertama kalinya setelah kegagalan pernikahannya dengan Davin. Aroma mawar putih yang dulu menghiasi resepsi pernikahannya masih samar tercium di ruang tamu besar itu, seolah mengejek luka yang baru saja ia tanggung.
Ratih menyambutnya dengan senyum hangat. Senyum yang mungkin tulus, atau mungkin hanya topeng untuk menutupi rasa malu yang telah diperbuat Davin.
/0/28420/coverorgin.jpg?v=9fe9ddcbf6aea14a45ac14a608b02ea6&imageMogr2/format/webp)
/0/16285/coverorgin.jpg?v=46baa2a52a1b8d5faaa68a6d2f67951f&imageMogr2/format/webp)
/0/29864/coverorgin.jpg?v=bcfdeaad1f563330db6ea2a5726bc836&imageMogr2/format/webp)
/0/21485/coverorgin.jpg?v=8b2e1c2f51c9cebc19a67da374f66b9d&imageMogr2/format/webp)
/0/21033/coverorgin.jpg?v=0161d1d3e27b4ef5c4bcbcd953ce8e55&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/22396/coverorgin.jpg?v=79a171403b1637ac9b0441ae7d3dec97&imageMogr2/format/webp)
/0/17329/coverorgin.jpg?v=6d94525be778bf5cbcfd24242aae5160&imageMogr2/format/webp)
/0/8780/coverorgin.jpg?v=b064d962beb6d58a8985decb2c0c21bb&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=6209c31bca2b5f0db9b5e010ebeac781&imageMogr2/format/webp)
/0/29537/coverorgin.jpg?v=609db9e113cb26b777db46db140400b4&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/2853/coverorgin.jpg?v=fd51cd88155fa6cc34f6b48d0336aed3&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/3629/coverorgin.jpg?v=7b79e3e2cfce30a72d9676681fbc5809&imageMogr2/format/webp)
/0/13745/coverorgin.jpg?v=561446b6eee65e8cba6b86ec5d98b026&imageMogr2/format/webp)