Suamiku Pura-Pura Buta Demi Menyembunyikan Kebohongan Besar

Suamiku Pura-Pura Buta Demi Menyembunyikan Kebohongan Besar

Reger novianto

5.0
Komentar
347
Penayangan
28
Bab

Menikah karena perjodohan, Selena Atmadja justru diceraikan hanya beberapa jam setelah akad. Sang suami, Davin Hartanto, memilih pergi karena diam-diam sudah menghamili wanita lain. Tak ingin kehilangan menantu yang dianggap terbaik, Madame Ratih, ibu Davin, justru meminta Selena untuk menikah dengan putra keduanya, Leonard Hartanto, pria yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Selena menolak dengan seribu alasan, namun garis takdir tak bisa ia hindari. Akhirnya, pernikahan itu tetap terlaksana. Namun, setelah menikah, kebahagiaan tak kunjung hadir. Sikap dingin Leonard membekukan hubungan mereka. Selena merasa seperti hidup bersama pria asing. Hingga suatu hari, Selena mengetahui fakta mengejutkan: Leonard selama ini hanya berpura-pura buta! Satu per satu kebohongan suaminya pun mulai terbongkar. Bagaimana Selena menghadapi kenyataan pahit itu? Dan apa alasan di balik sandiwara besar yang dijalankan Leonard?

Bab 1 Gaun pengantin

Hari itu, langit mendung menggantung seolah ikut menyerap resah di hati Selena Atmadja. Di balik tabir putih yang menutupi ruang pelaminan, ia duduk dengan tangan gemetar. Gaun pengantin berwarna gading yang ia kenakan terasa seperti belenggu, menekan dada, membuat napasnya berat.

"Tenang, Na. Semua akan baik-baik saja," bisik Nadira, sahabat sekaligus pendamping pengantinnya, sambil menggenggam tangan Selena.

Selena hanya tersenyum hambar. Bagaimana mungkin semuanya baik-baik saja, jika hari ini ia menikah dengan pria yang hampir tak ia kenal?

Perjodohan itu datang terlalu tiba-tiba. Baru dua bulan lalu, ibunya menerima lamaran keluarga Hartanto. Keluarga terpandang, kaya raya, dan berpengaruh di dunia bisnis. Selena sempat menolak, tapi ibunya meyakinkan bahwa perjodohan ini adalah jalan terbaik. "Davin anak yang baik, Na. Ibu yakin kamu akan bahagia."

Bahagia. Kata itu kini terdengar seperti gurauan.

Suara penghulu yang mulai memimpin akad membuat jantung Selena berdetak tak karuan. Dari balik tabir, ia bisa melihat sosok tegap dengan setelan jas hitam duduk di seberang. Itulah calon suaminya-Davin Hartanto.

Pria itu tampak tenang. Wajah tampannya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Sama sekali tak ada keraguan dalam sikapnya. Justru Selena yang terasa ingin pingsan.

"Aku terima nikahnya Selena Atmadja binti Surya Atmadja dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Kalimat ijab kabul meluncur lancar. Para saksi mengangguk, dan takbir kecil terdengar. Semua orang tersenyum. Acara berjalan sempurna.

Kecuali hati Selena.

Resepsi berlangsung meriah. Bunga mawar putih menghiasi setiap sudut, lampu kristal bergemerlap, dan musik lembut mengalun. Para tamu berdesakan memberikan selamat, memuji kecantikan Selena, memuji ketampanan Davin, seolah mereka pasangan sempurna.

Selena hanya mampu tersenyum tipis. Dari samping, ia memperhatikan sikap Davin. Ada yang aneh. Pria itu selalu menunduk, jarang menatapnya langsung. Bahkan saat mereka diminta berfoto, Davin hanya berdiri kaku, seakan tubuhnya jauh dari dirinya.

"Suamimu tipe pendiam, ya?" bisik Nadira sambil mengedipkan mata nakal.

Selena pura-pura tertawa. Padahal hatinya justru semakin tenggelam dalam keraguan.

Malam itu, setelah semua tamu pulang dan pesta usai, Selena dibawa ke kamar pengantin di lantai atas hotel mewah. Jantungnya berdebar. Ia tak tahu apa yang harus diharapkan.

Saat pintu tertutup, Davin melepas jas dan meletakkannya di kursi. Ia berdiri beberapa detik tanpa menoleh. Lalu, dengan suara dingin ia berkata, "Aku minta maaf, Selena."

Selena terkejut. "M-maaf? Untuk apa?"

Davin menghela napas berat, lalu menatapnya untuk pertama kali. Tatapan itu dingin, kosong, seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu.

"Pernikahan ini... tidak bisa aku lanjutkan."

Darah Selena seakan berhenti mengalir. "Apa maksudmu? Baru saja kita-"

"Aku sudah melakukan kesalahan besar." Suaranya bergetar, tapi tegas. "Aku menghamili seorang wanita, jauh sebelum akad ini berlangsung. Dia butuh aku. Aku harus bertanggung jawab padanya."

Selena terdiam. Suara di kepalanya riuh, tapi lidahnya kelu. Dunia yang baru saja ia injak sebagai seorang istri, runtuh seketika.

"Jadi... kau menceraikan aku?" bisiknya lirih.

Davin menunduk. "Ya. Aku minta maaf, Selena. Aku memang pengecut, tapi aku tidak bisa meninggalkan dia."

Air mata Selena menetes begitu saja. Semua orang, semua tamu, keluarganya, semua percaya hari ini adalah awal dari kebahagiaan. Siapa sangka, justru hari ini adalah akhir?

Keesokan paginya, kabar itu sudah sampai ke telinga Madame Ratih, ibu Davin. Wanita elegan berusia lima puluh tahun itu nyaris pingsan mendengarnya. Di ruang tamu rumah besar keluarga Hartanto, ia menatap Selena yang duduk pucat dengan mata sembab.

"Astagfirullah... Davin, anak itu benar-benar sudah membuat aib besar!" geram Ratih. "Bagaimana mungkin ia menceraikanmu setelah akad? Apa kata orang nanti?!"

Selena menggigit bibir. Ia ingin menjawab, tapi terlalu lelah.

Ratih menghela napas panjang, lalu menatap Selena penuh iba. "Nak, aku mohon. Jangan anggap keluarga ini mengkhianatimu. Davin memang keterlaluan. Tapi aku... aku masih ingin kau tetap menjadi bagian dari keluarga ini."

Selena terperangah. "Maksud Tante?"

Ratih menatapnya serius. "Menikahlah dengan Leonard."

Nama itu meluncur begitu saja, membuat dada Selena terhentak. Leonard. Adik kandung Davin. Pria yang nyaris tak pernah muncul di depan publik, yang katanya lebih suka mengurung diri di rumah, yang dikenal dingin dan misterius.

"Tidak mungkin, Tante," Selena buru-buru menolak. "Aku... aku tidak bisa. Bagaimana orang-orang melihatku nanti? Hari ini aku menikah dengan Davin, besok aku menikah dengan adiknya? Itu gila."

Ratih menggenggam tangan Selena erat. "Aku tahu ini berat. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu, Nak. Kau menantu yang baik, yang layak untuk keluarga ini. Jangan biarkan aib Davin merusak semuanya."

Selena menunduk. Hatinya berteriak. Ia ingin lari, ingin kabur sejauh mungkin. Tapi genggaman Ratih seakan rantai yang mengikatnya.

Di kepalanya hanya ada satu pertanyaan: Apakah ini garis takdir yang tak bisa ia hindari?

Hari-hari setelah itu berjalan seperti mimpi buruk. Selena tinggal di rumah orang tuanya, tapi gosip sudah menyebar ke mana-mana. Tetangga berbisik, teman-teman bertanya dengan nada heran, bahkan kerabat jauh pun menghakiminya.

"Kasihan sekali Selena, baru menikah sudah diceraikan."

"Pasti ada yang salah dengannya, kalau tidak mana mungkin Davin tega."

"Eh, katanya dia mau dinikahkan dengan adiknya Davin, ya? Astaga, kok bisa?"

Bisikan-bisikan itu seperti duri yang menusuk hati Selena.

Suatu sore, Ratih datang ke rumah keluarga Atmadja. Dengan segala wibawa dan kelembutannya, ia kembali membujuk.

"Selena, Leonard memang berbeda. Dia dingin, sulit didekati. Tapi aku percaya dia bisa jadi suami yang baik. Setidaknya, dia tidak akan memperlakukanmu seperti Davin."

Selena hanya diam. Kata-kata Ratih masuk, tapi hatinya masih menolak.

Namun, ibunya sendiri, Lestari, ikut menimpali. "Nak, mungkin ini jalan Tuhan. Mungkin Leonard memang jodohmu. Jangan menutup hati."

Selena merasa terpojok. Ia ingin berteriak, ingin berkata bahwa semua ini tidak adil. Tapi mata ibunya yang penuh harap membuatnya terdiam.

Hingga malam itu, saat ia menatap langit dari balkon kamar, Selena akhirnya sadar.

Mungkin benar, ia tak bisa melawan takdir.

Langkah kaki Selena terasa berat ketika ia memasuki rumah keluarga Hartanto untuk pertama kalinya setelah kegagalan pernikahannya dengan Davin. Aroma mawar putih yang dulu menghiasi resepsi pernikahannya masih samar tercium di ruang tamu besar itu, seolah mengejek luka yang baru saja ia tanggung.

Ratih menyambutnya dengan senyum hangat. Senyum yang mungkin tulus, atau mungkin hanya topeng untuk menutupi rasa malu yang telah diperbuat Davin.

"Selena, terima kasih sudah datang, Nak," ujar Ratih sambil menggandeng tangannya. "Aku tahu ini sulit, tapi aku harap kau memberi kesempatan untuk berbicara."

Selena mengangguk lemah. "Iya, Tante." Suaranya nyaris tak terdengar.

Dari dalam, terdengar langkah kaki pelan menuruni tangga. Selena mendongak, dan untuk pertama kalinya melihat sosok Leonard Hartanto dengan jelas.

Pria itu berjalan dengan tenang, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Wajahnya tegas, rahang kokoh, mata hitam pekat yang tajam namun entah kenapa tampak kosong. Selena merasakan hawa dingin langsung menyelimuti ruangan.

Leonard tidak tersenyum. Tidak juga menunduk atau memberi salam hangat seperti biasanya saat pertama kali bertemu dengan seorang wanita. Ia hanya berdiri beberapa langkah dari mereka, menatap lurus ke arah Selena.

"Ini dia, Nak. Leonard." Ratih memperkenalkan dengan nada penuh harap. "Adik Davin."

Selena mencoba membuka suara. "Selamat sore."

Leonard hanya mengangguk kecil. Tidak ada ucapan balasan. Tidak ada sapaan. Hanya tatapan yang membuat dada Selena semakin sesak.

Obrolan sore itu berlangsung kaku. Ratih berusaha membuka percakapan, bercerita tentang bisnis keluarga, tentang harapannya untuk Selena, tentang betapa ia ingin luka ini segera sembuh dengan ikatan baru.

Namun, Leonard hanya menjawab singkat setiap kali ditanya. Seolah kehadirannya di ruangan itu hanyalah formalitas.

"Apa pendapatmu tentang Selena, Nak?" tanya Ratih akhirnya.

Selena langsung merona. Pertanyaan itu terdengar terlalu langsung. Ia menunduk, jemarinya menggenggam erat rok panjangnya.

Leonard diam beberapa detik sebelum menjawab, "Kalau Ibu sudah memilih, aku tidak menolak."

Kalimat yang terdengar lebih seperti kalimat pasrah daripada ungkapan niat untuk menikah.

Selena mendongak, menatapnya dengan mata melebar. Ia bisa menerima penolakan, bisa menerima sikap dingin. Tapi menerima pernikahan hanya karena "tidak menolak"? Itu sama saja dengan neraka baru.

Dalam perjalanan pulang, hati Selena diliputi kegelisahan. Ibunya, Lestari, yang ikut menemaninya, tampak begitu bahagia.

"Lihat sendiri, kan, Nak? Leonard mungkin dingin, tapi itu tandanya dia pria serius. Kau hanya perlu waktu untuk mengenalnya."

Selena menghela napas berat. "Bu, apa Ibu yakin ini jalan yang benar? Aku baru saja gagal di pelaminan. Sekarang harus menikah lagi dengan adik mantan suamiku? Orang-orang pasti akan semakin mencibir."

Lestari menepuk tangan anaknya. "Biarkan orang bicara. Yang penting kau punya rumah tangga yang baik. Ibu percaya Leonard bisa menjagamu."

Selena tidak menjawab lagi. Ia menatap ke luar jendela mobil, melihat bayangan dirinya di kaca. Wajah itu terlihat lelah, seakan seluruh tenaga sudah terkuras untuk sekadar bertahan.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan cepat. Tanpa banyak perdebatan, keluarga Hartanto mengurus semua proses pernikahan. Kali ini sederhana, tanpa pesta besar, tanpa undangan mewah. Hanya akad nikah di rumah keluarga Hartanto, dengan saksi keluarga dekat saja.

Selena merasa seolah ia tak punya kendali atas hidupnya sendiri. Semua keputusan diambil orang lain. Ia hanya menjalani, langkah demi langkah, dengan hati yang kosong.

Pagi itu, ia duduk bersimpuh di ruang keluarga besar yang dihiasi bunga sederhana. Saat penghulu memulai, Selena berusaha menahan gemetar di tangannya.

Leonard duduk di seberang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ketika ijab kabul diucapkan, suara Leonard terdengar berat, jelas, tapi dingin.

"Aku terima nikahnya Selena Atmadja binti Surya Atmadja dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Para saksi mengangguk. Pernikahan sah.

Sekali lagi, hidup Selena berubah dalam sekejap.

Malam pertamanya di rumah keluarga Hartanto setelah resmi menjadi istri Leonard bukanlah malam penuh kebahagiaan seperti yang sering diceritakan orang.

Leonard membawanya ke kamar besar di lantai dua. Kamar itu luas, rapi, dengan nuansa abu-abu dan hitam. Sangat maskulin, namun dingin tanpa sentuhan kehangatan.

"Ini kamarmu," ucap Leonard singkat.

Selena menatapnya bingung. "Kamar...ku?"

Leonard mengangguk. "Aku tidur di kamar sebelah. Kalau butuh sesuatu, bilang saja ke asisten rumah tangga."

Selena terperangah. "Tunggu. Kau... kau tidak akan tidur di sini? Dengan... istrimu?"

Leonard menatapnya lurus. Mata itu begitu dingin, membuat bulu kuduknya berdiri. "Aku tidak pernah memaksa orang lain untuk dekat denganku. Jangan harap lebih. Aku menikah denganmu karena Ibu. Itu saja."

Hati Selena hancur berkeping. Ia sudah menebak Leonard bukan tipe pria hangat, tapi mendengarnya langsung dari bibirnya terasa seperti dihantam palu.

Ketika Leonard melangkah pergi, meninggalkan pintu tertutup di belakangnya, Selena jatuh terduduk di tepi ranjang. Air matanya menetes deras.

Inilah pernikahan keduanya. Pernikahan tanpa cinta, tanpa harapan, hanya sebuah kompromi atas nama keluarga.

Hari-hari setelah itu semakin membuktikan bahwa Leonard bukanlah suami yang mudah didekati. Ia jarang berada di rumah, lebih sering mengurung diri di ruang kerja pribadinya. Jika pun mereka bertemu saat makan malam, percakapan hanya terbatas pada basa-basi.

"Bagaimana harimu?" tanya Selena suatu kali, mencoba membuka obrolan.

"Biasa saja." Jawaban singkat itu diiringi tatapan kosong ke piringnya.

Selena menggigit bibir, menahan kecewa. "Kalau begitu... mungkin kita bisa jalan bersama akhir pekan ini? Supaya... lebih saling mengenal."

Leonard menoleh, tatapannya menusuk. "Tidak perlu. Aku tidak butuh itu."

Jawaban dingin itu menusuk jantung Selena.

Ia mulai bertanya-tanya, sampai kapan bisa bertahan? Apakah ia sanggup hidup dalam pernikahan seperti ini?

Namun, di balik semua kebekuan itu, Selena mulai memperhatikan sesuatu yang janggal.

Setiap kali mereka berjalan bersama di rumah, Leonard selalu melangkah dengan ragu, seolah menghitung jarak. Ia sering menabrak kursi, bahkan hampir terjatuh ketika melewati tangga.

Selena awalnya mengira suaminya hanya ceroboh. Tapi semakin lama, semakin ia curiga.

Hingga suatu malam, ia menyaksikan sendiri. Dari balik pintu kamar, Selena melihat Leonard berdiri di depan cermin. Matanya terbuka normal, menatap refleksinya dengan tatapan tajam. Namun ketika pintu berderit, Leonard buru-buru menutup mata dan berlagak seolah meraba-raba jalan seperti orang buta.

Selena tercekat. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Suaminya... berpura-pura buta.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Reger novianto

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku