/0/28429/coverbig.jpg?v=7c99feec9a63642670a17043f95d1b0b&imageMogr2/format/webp)
Aura, seorang penyanyi dangdut yang juga berjuang menyelesaikan kuliah, diusir dari kos karena menunggak lima bulan sewa. Tak punya pilihan lain, ia terpaksa mendatangi rumah kakaknya, Maya, yang hidup serba berkecukupan bersama suaminya yang tampan dan dingin, Baskara. Awalnya, Aura hanya ingin menumpang sementara. Namun rasa iri pada kehidupan sempurna sang kakak perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit saat ia mulai tertarik pada Baskara. Ketegangan antara mereka memuncak ketika sebuah insiden tak terduga di kamar membuat keduanya terjebak dalam situasi yang mengguncang batas moral dan harga diri. Dihina, dipermalukan, dan dianggap murahan, Aura bersumpah tidak akan tinggal diam. Ia bertekad membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar beban atau godaan-melainkan perempuan yang mampu membalas luka dengan cara yang tak akan pernah dilupakan oleh Baskara.
Aura menatap koper merah mudanya yang tergeletak mengenaskan di aspal panas. Pakaian-pakaian dalam, sehelai dress payet, dan beberapa buku kuliahnya tampak sedikit mengintip dari celah ritsleting yang terbuka sebagian-semua barang berharganya kini menjadi tontonan gratis bagi pejalan kaki yang lewat. Ia mengepalkan tangan, kuku-kuku jarinya yang dicat perak menusuk telapak tangan. Rasa panas yang membakar kulitnya tidak seberapa dibandingkan bara api amarah yang menyala di dadanya.
Lima bulan. Hanya lima bulan tunggakan sewa.
"Dasar tidak tahu diri! Sudah untung kamu saya biarkan tinggal selama ini, malah enak-enakan tidak bayar! Mau jadi gelandangan, hah?!" Suara melengking Bu Rini, si pemilik kos, menusuk gendang telinga Aura, membuat beberapa tetangga kos lain menutup pintu mereka dengan cepat, tidak ingin terlibat.
Bu Rini, dengan daster batik yang selalu terlihat basah oleh keringat dan raut wajah yang selalu siap mencaci, berdiri di ambang pintu kamar Aura yang terbuka lebar. Tangan kanannya masih memegang sisa tumpukan barang Aura yang baru saja ia lempar keluar. Rambutnya yang diikat seadanya terlihat berantakan, dan wajahnya memerah karena emosi yang memuncak.
"Lima bulan itu bukan 'hanya,' Aura! Lima bulan itu setengah tahun! Kamu pikir saya ini panti asuhan? Saya juga punya tagihan! Kamu pikir uang sewa itu tumbuh di pohon? Kamu ini cantik, punya pekerjaan, harusnya punya tanggung jawab!"
Aura merasakan matanya memanas, tetapi ia menahan air mata itu dengan sekuat tenaga. Menangis di depan Bu Rini hanya akan memberinya kepuasan. Ia mendongakkan dagunya, menampilkan leher jenjang dan garis rahang yang keras. Tubuhnya saat ini dibalut oleh dress pendek berwarna hitam berbahan licin. Kain itu memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, mempertegas bentuk dadanya yang montok dan memamerkan kakinya yang panjang. Ia tahu penampilannya sering memancing pandangan mata, dan pada saat ini, ia menggunakannya sebagai perisai, sebagai pengalih perhatian dari rasa malunya.
"Saya bilang saya akan bayar minggu depan setelah dapat jadwal manggung yang pasti!" jawab Aura, suaranya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha keras membuatnya terdengar tajam. "Tidakkah Ibu bisa bersabar sedikit saja? Saya bukan lari! Kenapa harus mengusir seperti ini? Mempermalukan saya!"
"Bersabar katamu? Kamu bilang begitu sejak bulan kedua! Tidak ada lagi tawar-menawar! Pergi! Kalau berani kembali ke sini, saya panggil polisi!" Bu Rini menyentakkan tangannya ke udara, lalu membanting pintu kamarnya, mengunci diri di dalamnya, seolah Aura adalah wabah penyakit.
Aura berdiri diam selama beberapa detik, membiarkan kemarahan dan keputusasaan merambat di sekujur tubuhnya. Ia adalah Aura. Siapa pun yang melihatnya akan melihat seorang wanita muda yang menawan, yang pandai membawa diri, yang setiap malam berdiri di atas panggung menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan suara merdu dan goyangan yang enerjik. Ia bekerja keras-penyanyi dangdut di klub malam adalah pekerjaan utama yang menghasilkan banyak uang, sementara di pagi hari ia tetap berusaha mengambil pekerjaan serabutan atau sesekali menjadi model iklan produk lokal untuk menutupi biaya kuliahnya yang mahal di jurusan komunikasi.
Namun, semua uang itu seolah menguap. Biaya kuliah yang mendadak naik, tagihan yang tak terduga, dan kebutuhannya sehari-hari yang cukup tinggi sebagai anak rantau yang sendirian di kota besar. Gaji manggungnya baru cair akhir bulan, dan ia sudah kehabisan napas. Sekarang, ia resmi tidak punya tempat tinggal.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengambil kopernya. Gagangnya terasa panas di telapak tangannya. Ia menyeretnya, menyuarakan gesekan roda pada aspal kasar, suara yang terasa seperti irama langkah menuju kehancuran. Ia sudah tidak punya orang tua; mereka meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Di kota ini, satu-satunya tempat yang tersisa, satu-satunya tempat yang bisa memberinya perlindungan, adalah rumah kakaknya.
Kakakku, Maya. Jauh di lubuk hati, Aura merasa malu. Ia sudah berjanji tidak akan pernah merepotkan Maya, yang hidupnya sudah mapan dan tenang. Tapi saat ini, itu adalah satu-satunya jalan.
Perjalanan dari kosnya yang kumuh di pinggiran kota ke rumah kakaknya di kawasan perumahan elit terasa seperti perjalanan ke dimensi lain. Taksi yang ia tumpangi melaju membelah jalanan yang semakin bersih dan sepi. Ketika taksi itu berhenti di depan gerbang hitam tinggi, Aura merasa gugup.
Rumah itu besar. Bukan sekadar besar, tetapi megah, dengan desain minimalis modern yang elegan, dikelilingi taman yang terawat indah. Rumah itu memancarkan aura ketenangan dan kekayaan yang mutlak. Aura menarik napas, merapikan sedikit dress-nya yang mungkin sudah kusut dan membetulkan tatanan rambutnya. Ia menyentuh tombol interkom.
Gerbang terbuka, dan Aura menyeret kopernya melintasi halaman berbatu. Ketika ia berdiri di depan pintu utama yang tinggi, ia mengetuk.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri Maya, kakaknya. Wajahnya yang cantik dan teduh menunjukkan sedikit keterkejutan, tetapi senyum hangat langsung mengembang. Maya selalu terlihat rapi, bahkan di rumah, dengan blouse santai dan celana panjang linen.
"Aura? Ya ampun, ada apa? Kenapa bawa koper besar?" tanya Maya, matanya menelisik ke arah koper merah muda di samping Aura.
Aura merasakan sedikit sesak di tenggorokannya. Ia memeluk kakaknya erat-erat, mencari kehangatan yang sudah lama ia rindukan. "Aku... aku diusir dari kos, Kak. Aku enggak bisa bayar lima bulan."
Maya menghela napas panjang, bukan karena marah, melainkan karena kesedihan yang tulus. Ia melepaskan pelukan itu, memegang wajah adiknya dengan kedua tangan. "Ya Tuhan, Aura. Kenapa enggak bilang dari dulu? Kenapa kamu selalu menanggung semuanya sendiri?"
"Aku enggak mau merepotkan," bisik Aura.
"Kamu adikku, kamu enggak pernah merepotkan. Ayo masuk, ayo masuk." Maya menarik tangan Aura dan kopernya, membawanya masuk ke dalam rumah.
Aura melangkah masuk, matanya langsung terperanjat. Interior rumah itu bahkan lebih mewah dari yang ia bayangkan. Semua perabotan dipilih dengan selera tinggi, menciptakan suasana yang sekaligus berkelas dan nyaman.
"Duduk dulu, aku ambilkan minum," kata Maya, dan Aura duduk di sofa kulit yang empuk di ruang tamu.
Tak lama kemudian, Maya kembali, tetapi ia tidak sendirian. Di belakangnya, berdiri seorang pria.
Inilah suami kakaknya.
Napas Aura tertahan di paru-parunya. Ia pernah melihat pria itu di foto-foto, tetapi berhadapan langsung dengannya adalah pengalaman yang sangat berbeda.
Pria itu tinggi menjulang. Ia mengenakan kaus polo berwarna gelap yang memeluk bahunya yang lebar dan lengan yang berotot. Ia memiliki postur tubuh atletis yang luar biasa. Wajahnya-ya ampun-wajahnya sungguh tampan. Rahang tegas, hidung mancung, dan mata hitam pekat yang tajam dan dingin. Ia memancarkan aura kekuasaan dan kepercayaan diri yang hampir menakutkan.
"Sayang, kenalkan, ini adikku, Aura. Aura, ini Baskara, suamiku," ujar Maya dengan lembut.
Aura berdiri, mengulurkan tangan. "Aura," katanya, suaranya sedikit lebih parau dari biasanya. Ia merasa terpesona. Pria ini adalah definisi dari kesempurnaan seorang pria.
Baskara menyambut tangannya, cengkeramannya kuat dan hangat, tetapi matanya tetap datar, hampir tidak menunjukkan emosi apa pun. "Baskara."
Maya segera memecah keheningan yang sedikit canggung itu. "Baskara, tolong dengarkan sebentar. Aura diusir dari kosnya karena tunggakan. Dia sudah tidak punya tempat tinggal. Aku sudah bilang dia bisa tinggal di sini, setidaknya sampai dia stabil dan bisa mencari kos baru. Apa kamu keberatan?"
Aura menahan napas, menatap wajah Baskara. Keputusannya adalah kunci. Ia adalah pemilik dari segalanya di rumah ini.
Mata Baskara yang dingin beralih dari Aura ke Maya, lalu kembali ke Aura. Ia hanya berdeham sekali. "Terserah kamu, Sayang. Rumah ini cukup besar. Tapi dia harus tahu batasannya."
Rasa lega membanjiri hati Aura. "Terima kasih, Mas Baskara. Saya janji tidak akan merepotkan."
Baskara tidak menjawab, hanya mengangguk kecil, lalu berbalik, berjalan menuju ruang lain. Kehadirannya menghilang, tetapi aura dinginnya seolah masih tertinggal di ruangan itu.
"Syukurlah," desah Maya. "Aku harus berterima kasih padamu nanti."
"Dia memang begitu, Aura. Datar dan dingin, tapi hatinya baik. Jangan diambil hati."
Maya kemudian membawa Aura ke sebuah kamar tamu di lantai bawah yang indah dan nyaman. Setelah Aura meletakkan kopernya, Maya mengajaknya ke ruang keluarga.
Di karpet berbulu tebal, seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun sedang asyik dengan tumpukan balok mainan. Ini Kian, anak tunggal Maya dan Baskara. Kian mendongak, matanya yang besar dan cerdas langsung bersinar begitu melihat Aura.
"Tante Aura!" Kian berteriak, berlari dan memeluk kaki Aura.
Aura membungkuk, memeluk keponakannya erat-erat. Ia dan Kian memang sangat akrab.
"Wah, sudah besar, ya, jagoan Tante!" Aura tertawa, mencubit pipi Kian.
"Aura, dengarkan aku," kata Maya, suaranya kembali serius. "Aku baru saja dapat panggilan darurat dari rumah sakit. Ada operasi mendadak. Aku harus segera pergi."
Aura mengernyit. "Sekarang? Kenapa mendadak?"
"Begitulah pekerjaan dokter. Aku harus pergi. Karena kamu ada di sini, aku ingin minta tolong." Maya memegang tangan Aura dengan tatapan penuh permohonan. "Tolong jaga Kian selama aku pergi, ya? Sampai sore. Baskara sibuk, dia ada rapat penting di kantornya."
Aura mengangguk cepat. "Tentu, Kak. Aku akan jaga dia. Enggak usah khawatir."
Setelah memberikan beberapa instruksi cepat tentang jadwal makan dan tidur siang Kian, Maya bergegas pergi. Ia adalah dokter bedah ternama dan sibuk, tetapi kesibukan itu sepadan dengan kehidupan yang ia jalani: suami tampan dan kaya raya, rumah mewah, pekerjaan bergengsi.
Aura memperhatikan Maya yang pergi dengan tergesa-gesa. Perasaan iri yang tajam menusuknya. Di satu sisi, ia mencintai kakaknya, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan rasa cemburu yang menggerogoti. Kenapa hidup Maya begitu sempurna? Semua yang Maya inginkan, ia dapatkan. Suaminya memiliki banyak perusahaan terkenal dan sangat sukses. Sementara Aura? Berjuang mati-matian, mempertaruhkan masa depan demi kuliah, dan berakhir diusir dari kos dengan status sebagai penyanyi dangdut yang dipandang sebelah mata.
Ia mendesah. Sekarang, ia adalah pengemis yang harus tinggal menumpang.
Aura kembali ke ruang keluarga. Hanya ada dia, Kian, dan... Baskara.
Suami kakaknya itu tidak jadi pergi. Ia duduk di salah satu kursi di sudut ruangan, di depan sebuah meja besar yang penuh dengan tumpukan dokumen. Ia memakai kacamata baca, dan jari-jarinya yang panjang sedang memegang pulpen, menandatangani beberapa kertas dengan ekspresi yang begitu serius dan intens.
Aura menatapnya. Pria itu tampak begitu sibuk dan dingin. Datar dan dingin-seperti patung marmer yang sempurna. Ia bahkan tidak mendongak sedikit pun sejak Maya pergi.
"Tante Aura, ayo kita main robot!" Kian menarik-narik ujung dress Aura.
Aura tersenyum, mengalihkan pandangannya dari Baskara. "Ayo, kita main!"
Mereka bermain di ruang keluarga. Kian, si anak cerdas itu, dengan cepat membuat Aura melupakan masalahnya. Mereka tertawa, membangun menara dari balok dan membuat suara-suara robot. Baskara masih di sudut, benar-benar mengabaikan mereka.
Sampai Kian tiba-tiba berteriak. "Ah! Aku lupa! Robot Optimus Prime yang baru ada di kamar atas! Aku mau main itu!"
"Robot yang mana, Sayang?"
"Yang di kamar mainan, di lantai atas, di atas lemari!" Kian menunjuk ke langit-langit.
Aura mengerutkan kening. "Di atas lemari?"
"Iya! Papa yang taruh di sana karena aku nakal! Tante, tolong ambilkan!" Kian memohon dengan mata berbinar.
Aura melihat ke arah Baskara. Pria itu seolah tidak mendengar apa-apa.
"Baiklah, Tante ambilkan," kata Aura, tidak ingin mengecewakan keponakannya. "Tapi Kian tunggu di sini, ya. Di ruang keluarga. Jangan kemana-mana."
Aura melangkah ke lantai atas. Kamar mainan itu luas dan cerah. Di salah satu sudut, berdiri lemari buku yang sangat tinggi. Kian benar, di atas lemari itu, di sudut paling tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit, terselip sebuah kotak robot mainan.
"Tinggi sekali," gumam Aura.
Ia melihat sekeliling. Tidak ada tangga lipat. Yang ada hanya sebuah kursi kayu kecil di dekat meja belajar. Ini akan berbahaya, tetapi ia tidak mau Kian menangis.
Aura menyeret kursi itu ke dekat lemari. Ia menaikinya perlahan. Kursi itu memang kecil dan terasa sedikit goyah di bawah kakinya. Ia harus jinjit, ujung jarinya nyaris menyentuh kotak mainan itu.
Ia berusaha menjangkau lebih tinggi. Ia berpegangan pada tepi lemari, dan ketika ia mencoba meraih, kursi itu benar-benar bergoyang dan berderit keras. Keseimbangan Aura hilang.
Ia berteriak kecil saat tubuhnya limbung ke belakang. Ia tahu ia akan jatuh, mungkin terpelanting dan kepalanya terbentur.
Tetapi benturan itu tidak datang.
Sesuatu yang kuat, keras, dan hangat melingkari pinggang dan punggungnya.
Aura membuka mata. Ia terperanjat. Ia sudah berada dalam pelukan Baskara.
Pria itu entah sejak kapan sudah berada di sana, di kamar atas. Ekspresi datarnya sedikit retak, digantikan oleh kilasan kekhawatiran yang sangat cepat sebelum kembali ke ketenangan yang dingin. Ia pasti mendengar suara kursi yang berderit.
Jantung Aura berdebar kencang. Ia terperangkap dalam dekapan pria itu, tubuhnya yang montok menempel erat pada dada Baskara yang keras dan atletis. Aroma maskulin yang mewah dari parfumnya memenuhi indra penciuman Aura.
Mereka berdua saling berpandangan. Mata Baskara yang dingin dan tajam itu kini terkunci pada mata Aura. Keheningan mencekik ruangan. Di dalam keheningan itu, Aura tidak bisa lagi merasakan rasa iri atau malu, yang ada hanya gelombang ketegangan yang panas dan aneh.
Aura menatap bibir Baskara. Bibir yang terlihat kaku, tetapi tebal dan menggoda.
Tanpa berpikir, didorong oleh amarah, kekecewaan, dan hasrat yang tiba-tiba, Aura melakukan sesuatu yang bar-bar. Ia mendekatkan wajahnya, mendekati bibir pria itu.
Dan kemudian, ia menciumnya.
Awalnya, ciuman itu hanya sentuhan-sebuah tantangan impulsif. Tetapi kemudian, hal yang tidak terduga terjadi. Baskara, si pria patung es yang dingin itu, merespons.
Ia tidak mendorongnya. Sebaliknya, tangannya yang melingkari pinggang Aura menekan tubuhnya lebih erat. Tangan kirinya bergerak cepat ke belakang kepala Aura, menekan tengkuk lehernya, memaksa kepala Aura menengadah, dan memperdalam ciuman itu menjadi sesuatu yang panas, menuntut, dan penuh gairah yang terpendam.
Aura mengerang pelan, tenggelam dalam sensasi ciuman itu. Ia memeluk leher Baskara, membiarkan dirinya terseret dalam pusaran nafsu yang tiba-tiba meledak.
Tetapi seperti percikan api yang menyambar bensin, semuanya berhenti secepat ia dimulai.
Tiba-tiba, Baskara membeku. Kekuatan di tangannya lenyap. Pandangan di matanya yang sebelumnya gelap karena nafsu, kembali jernih, kembali dingin, kembali datar.
Ia tersadar.
Dengan gerakan yang cepat dan tanpa emosi, Baskara melepaskan genggamannya. Ia tidak mendorong Aura dengan lembut. Ia hanya melepaskan pegangannya, membiarkan tubuh Aura yang sedang lemas karena ciuman itu terjatuh ke lantai kayu yang keras.
Gedebuk!
Aura merasakan sakit di sikunya dan di hatinya. Ia mendongak, menatap Baskara yang kini berdiri di atasnya, merapikan pakaiannya seolah baru saja terkena noda.
"Jangan ulangi itu," kata Baskara, suaranya kembali sedatar dinding. Ia bahkan tidak menawarkan tangan untuk membantu Aura berdiri.
Aura merasa terhina, marah, dan sakit hati. Ia bangkit, wajahnya memerah karena emosi yang campur aduk.
"Egois!" teriak Aura, suaranya tajam. "Lelaki brengsek! Kamu yang duluan membalasnya! Kamu yang menciumku balik! Kamu yang tergoda! Lalu kamu membuangku seperti sampah!"
Baskara menatapnya dengan tatapan meremehkan. "Itu bukan godaan. Itu hanya kesalahan yang cepat saya sadari. Kamu hanya adik ipar saya. Jangan pernah lupa batasanmu. Dan kamu," katanya, menunjuk pada Aura, "jangan bersikap murahan hanya karena kamu sedang putus asa."
"Bar-bar!" Aura berteriak lagi. Ia tidak peduli jika Kian mendengarnya, atau jika tetangga mendengar. "Kau hanya pria pengecut yang tidak bisa mengakui nafsunya sendiri!"
Baskara hanya mendengus. Ia mengambil kotak robot dari atas lemari dengan sekali jangkauan yang mudah, tanpa perlu kursi goyang.
"Aku mengizinkanmu tinggal di sini atas dasar kemanusiaan untuk istriku," kata Baskara. "Jika kamu berpikir kamu bisa menggunakan tubuhmu untuk mendapatkan keuntungan, kamu salah kamar, Aura. Dan sekarang, ambil ini. Lalu jaga keponakanmu. Ingat posisimu."
Ia menjatuhkan kotak robot itu di kaki Aura dan berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikit pun. Meninggalkan Aura sendirian di kamar mainan yang mewah, dikelilingi oleh keheningan yang mematikan, dengan rasa sakit di siku, dan luka yang menganga di harga dirinya. Aura mengepalkan tangan, menatap punggung pria itu yang menghilang.
Bab 1 Hanya lima bulan tunggakan sewa
06/10/2025
Bab 2 Rasa sakit di siku
06/10/2025
Bab 3 Godaan Ipar
06/10/2025
Bab 4 bukan karena kedinginan
06/10/2025
Bab 5 Dosen baru yang dingin
06/10/2025
Bab 6 Godaan di Tengah Malam
06/10/2025
Bab 7 tidak membawa kehangatan
06/10/2025
Bab 8 Bayangan di Balik Kaca Mobil
06/10/2025
Bab 9 Motor besar Reza melaju perlahan
06/10/2025
Bab 10 Kebahagiaan di Atas Kaca Tipis
06/10/2025
Bab 11 Di Bawah Pengawasan Penuh
06/10/2025
Bab 12 Pekerjaan Aura sebagai asisten paruh waktu
06/10/2025
Bab 13 Penolakan l
06/10/2025
Bab 14 Pintu lift eksekutif terbuka
06/10/2025
Bab 15 menolak kekayaan
06/10/2025
Bab 16 Tiga bulan berlalu
06/10/2025
Bab 17 kehilangan ketenangannya
06/10/2025
Bab 18 Terbongkar
06/10/2025
Bab 19 Perhentian Terakhir Sebelum Hilang
06/10/2025
Bab 20 Pengasingan
06/10/2025
Bab 21 apartemen
06/10/2025
Bab 22 Ngidam dan Aroma Dapur
06/10/2025
Bab 23 Setelah insiden soto ayam
06/10/2025
Bab 24 pengakuan cinta
06/10/2025
Bab 25 Baskara kembali ke Jakarta
06/10/2025
Bab 26 Simpati
06/10/2025
Bab 27 Kembali ke Kebohongan
06/10/2025
Bab 28 Kehancuran
06/10/2025
Bab 29 telah kembali
06/10/2025
Bab 30 Dua Hati
06/10/2025
Bab 31 hanya menjadi dana darurat
06/10/2025
Bab 32 si kembar
06/10/2025
Bab 33 Negosiasi di Meja Kaca
06/10/2025
Bab 34 Kebenaran dari Sang Kakak
06/10/2025
Bab 35 Reaksi Kiano
06/10/2025
Bab 36 memalukan
06/10/2025
Bab 37 Tiga hari di pegunungan
06/10/2025
Bab 38 Menghadapi Monster Sendiri
06/10/2025
Bab 39 Dua Rumah
06/10/2025
Bab 40 tak terpisahkan
06/10/2025
Buku lain oleh Reger novianto
Selebihnya