Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Berulang kali dia meyakini bahwa pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu adalah mantan tunangan kakak kandungnya sendiri. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa dia bisa menikah dengan pria yang paling dia benci di dunia ini.
Mungkin karena kesalahan yang tidak sengaja dia lakukan saat sesi foto prewedding kakaknya yang dilakukan di sebuah pulau terpencil. Di sana dia dan calon pengantin pria bertemu di ruang ganti pakaian dan terjadi perdebatan hebat di sana. Apa yang membuat mereka saling bermusuhan? Sehingga setiap ada kesempatan untuk bertemu tak pernah luput dari pertengkaran.
“Sekarang kamu bisa tersenyum dengan puas karena telah berhasil mengancurkan kehidupan kakakmu. Apa lagi prestasi yang bisa membuatmu bangga selain merebut calon suami dari kakakmu sendiri?”
Dia menatap jengkel pada pria itu. Mereka yang saat ini sedang berada di sebuah hotel untuk menghabiskan malam pertama, tampak tidak tidak ingin saling menyentuh satu sama lain.
Wanita itu mendekat, menyentuh pelan dada bidang suaminya yang masih berdiri di ambang pintu sembari berkacak pinggang.
“Satu hal yang harus kamu ketahui, Suamiku. Aku bukanlah orang yang suka mengambil barang bekas meski diberikan padaku dengan suka rela. Aku lebih baik membeli berlian berharga yang belum pernah disentuh oleh orang lain. Jadi, sebaiknya kamu berpikir dulu sebelum berbicara kepadaku,” ujarnya.
“Barang bekas? Perkataanmu sungguh sangat menyakitkan bagiku. Selama aku hidup hingga diumur dua puluh enam tahun, aku belum pernah bertemu dengan wanita arogan seperti dirimu. Kamu tidak hanya angkuh dan sombong, tapi juga tidak bisa membedakan mana berlian yang berharga dan juga mana perak yang sudah berkarat. Antara kamu dan kakakmu sudah jauh perbedaannya. Dia berlian sekaligus mutiara yang sangat berharga. Sedangkan dirimu hanyalah perak berkarat yang tidak akan pernah berkilau seperti semula.”
Wanita itu menahan napas, tangannya terkepal dengan sangat kuat saat mendengar perkataan yang menyakitkan itu. Impiannya bukanlah serumit ini, menikahi pria yang menjadi musuhnya beberapa tahun terakhir.
Dia wanita yang sangat sederhana, mencintaik lelaki yang tidak akan pernah bisa dia miliki. Impiannya telah hancur, terkubur bersama jasad kekasihnya yang meninggal karena sebuah konspirasi. Dia tidak akan pernah melupakan momen bersejarah itu, di mana pria yang saat ini berdiri di hadapannya juga dia lihat ketika kekasihnya menghembuskan napas terakhir.
“Aku masih ingat dengan jelas bagaimana tanganmu yang kotor itu telah menghabisi nyawa kekasihku. Kamu pikir aku akan melupakan semuanya dan bahagia saat menikah denganmu? Tidak, Denandra! Kamu telah salah menilaiku. Aku sama sekali tidak senang menikah dengan musuhku sendiri. Kamu lihat saja nanti, api kemarahanku akan menghancurkan hidupmu yang sempurna itu. Ini baru permulaan, aku berhasil menggagalkanmu sebagai kakak iparku.”
“Lakukan apa yang menurutmu benar, aku akan melakukan apa yang menurutku benar. Kita akan melihatnya nanti, siapa yang telah salah menilai selama ini. Kamu atau aku yang akan menjadi pemenangnya.”
Setelah mengatakan hal itu dan berhasil membuat mulut istrinya terbungkam, Denandra memilih untuk keluar dari kamarnya dan pergi ke suatu tempat agar bisa menghindar dari perdebatan mereka yang tidak akan ada habisnya.
Dia memicingkan mata, mengatur napasnya yang terasa sangat sulit untuk dikendalikan tadi. Ketampanan Denandra tidak mampu membuat kebencian di hati wanita itu memudar. Justru rasa bencinya semakin besar saat mengetahui kenyataan yang selama ini ingin dia dengar.
“Bagaimana malam pertamamu? Lancar? Kamu dan Denandra sudah menyelesaikan kewajiban kalian sebagai suami istri kan?”
Dia mendengus kesal, sang kakak mengirimkan pesan pribadi beberapa menit yang lalu. Entah apa tujuannya, sehingga mantan tunangan suaminya itu bertanya hal yang yang seharusnya tidak perlu dia tanyakan. Kalau wanita lain yang berada di posisinya, pasti sudah melakukan sesuatu untuk mencegah pernikahan dan malam pertama itu terjadi.
“Kami tidak tidur dalam kamar yang sama, Kak. Denandra ada di kamar sebelah. Kalau Kakak mau tahu tentang dia, sebaiknya hubungi saja langsung ke nomor dia,” balasnya.
“Apa kalian bertengkar lagi? Kenapa? Jangan bilang karena masalah yang sama?”
“Kenapa Kakak harus peduli dan khawatir? Seharusnya Kakak senang karena aku dan Denandra tidak melakukan ibadah layaknya pasangan suami istri.”
“Mungkin karena aku yang membuat kalian tidak melakukan ibadah itu. Birdel, sudah berapa kali aku katakan, jangan pikirkan perasaanku. Aku senang karena Denandra menikah denganmu. Dengan begitu kebencian yang ada di dalam hatimu akan mulai berkurang seiring berjalannya waktu.”
Birdella galau, dia dilema dengan sikap kakaknya yang seharusnya marah, tapi malah mendukung dan merestui pernikahannya itu. Entah apa yang dipikirkan oleh saudaranya itu sehingga hatinya begitu baik dan suci dalam mencintai Denandra dan menyayangi adiknya.
“Aku tahu ini rencana Kakak untuk menikahkanku dengan Denandra. Tujuannya apa sih, Kak? Supaya aku bisa memaafkan kesalahan pria itu dan melupakan apa yang telah dia lakukan pada Syail? Tidak, Kak. Aku bukan orang baik yang akan memaafkan kesalahannya begitu saja.”
Birdella mengirim panjang lebar pesan pada kakaknya. Kemudian dia beranjak menuju kamar mandi, berniat untuk membersihkan diri. Tapi, tiba-tiba Denandra kembali masuk dengan muka kusut. Sepertinya habis bertengkar dengan seseorang.
“Ngapain kamu masuk ke kamarku?” tanya Birdel dingin.
Denan menatapnya dengan sendu. “Ini kamarku juga. Orang tuamu telah memesan kamar ini untuk kita berdua. Jadi, aku bebas tidur di atas kasur,” jawabnya.
“Enak saja. Kamu tidur aja di sofa, kasur ini milikku.”
“Kalau kamu mau tidur aja di sebelahku. Tapi, kalau kamu menolaknya, ya aku bisa apa. Sofa masih kosong, lantainya juga nggak terlalu dingin, ada karpet sebagai alasnya.”
Tanpa rasa bersalah, Denandra langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Birdel yang tidak terima langsung menghampirinya dan menarik tangan Denan untuk segera turun dari sana.
“Jangan melewati batas, Denan. Aku bisa kasar jika kamu memaksanya. Sebelum kemarahanku bertambah, sebaiknya kamu turun dari tempat tidur ini,” ujarnya.
Dengan sekuat tenaga Birdel berusaha untuk membuat Denan turun dari tempat tidurnya. Namun, kekuatan seorang wanita tidak sebanding dengan pria, sehingga tubuh Birdel jatuh menimpa tubuh Denan yang masih berbaring di tempat tidur.
Selanjutnya, tidak ada adegan saling tatap menatap seperti yang ada di drama-drama. Denan langsung mendorong tubuh Birdel ke samping lantas dia langsung duduk di sisi ranjang.
“Kalau kamu ada perasaan padaku, sebaiknya kamu buang saja. Karena hati dan cintaku masih menjadi milik kakakmu, Barsha,” ujar Denan tanpa menoleh.
Birdel yang mendengar musuhnya mengatakan hal itu dengan percaya diri pun turun dari ranjang dan menatapnya sembari melipatkan kedua tangan di dada.