/0/29864/coverbig.jpg?v=20251205185447&imageMogr2/format/webp)
Katanya, persahabatan murni antara cewek dan cowok itu mitos. Pasti ada, deh, salah satu yang diam-diam baper. Nah, ini yang dialami Cinta. Selama tujuh tahun, Cinta mati-matian menyimpan perasaannya buat Raka, sahabatnya sendiri. Tapi, namanya juga takdir, Cinta harus telan pil pahit karena Raka malah milih cewek lain. Hancur, kan? Lagi galau-galaunya patah hati, Cinta akhirnya setuju aja waktu Bulan, sahabatnya yang super iseng, nyuruh dia gantiin ikut blind date alias kencan buta. Anggap aja healing, ya kan? Eh, siapa sangka, acara kencan buta itu malah jadi super chaos! Cinta salah orang! Dia bukannya ketemu cowok yang harusnya jadi pasangan Bulan, malah nyasar kencan sama... calon bosnya sendiri! Coba bayangin betapa malunya! Ini salah siapa coba? Salah kencan buta? Salah takdir? Mungkin emang bener ya, yang namanya cinta itu punya jalannya sendiri. Mau salah alamat kayak apa pun, kalau udah jodoh, si tulang rusuk nggak akan pernah tertukar pemiliknya!
Pipi Cinta terasa dingin. Bukan karena AC, tapi karena lapisan es yang menempel di cermin.
Dia menekankan pipi kanannya pada permukaan cermin kamar mandi, berharap dinginnya bisa menyerap sensasi panas, perih, dan bodoh yang memenuhi kepalanya. Air mata? Sudah kering. Tisu bekas ingus dan air mata sudah menumpuk di tempat sampah kecil samping kloset, menjadi monumen kegagalannya selama tujuh tahun terakhir.
Tujuh tahun.
Tujuh tahun itu bukan waktu yang sebentar. Itu waktu yang cukup untuk menyelesaikan kuliah, punya gelar ganda, bahkan sempat ganti genre musik favorit tiga kali. Tapi, Cinta menghabiskan tujuh tahun itu hanya untuk satu orang: Raka.
Raka Adiputra, si manusia menyebalkan yang selama ini Cinta yakini adalah tulang rusuknya yang hilang. Selalu ada untuknya, selalu tertawa saat dia membuat lelucon garing, selalu membawakan matcha latte saat dia sedang stres mengerjakan deadline-semuanya terasa sempurna, seolah mereka sedang menjalani sebuah cerita romantis yang hanya menunggu bab "Jadian" tiba.
Namun, bab itu tidak pernah datang.
Justru, bab yang datang adalah "Raka dan Wanita Lain".
"Aku dan Luna mau serius, Cin," kata Raka tiga minggu lalu. Sambil menatap Cinta, tanpa sedikit pun keraguan atau rasa bersalah di matanya. Hanya ada kebahagiaan murni, kebahagiaan yang tidak pernah Raka tunjukkan saat mereka berdua saja.
Cinta masih ingat bagaimana ia berusaha mati-matian tersenyum saat itu. Ia ingat bagaimana tenggorokannya tercekat, dan ia hanya bisa berujar, "Oh, baguslah. Luna cantik, Ka."
Luna cantik, Ka. Kalimat itu sungguh munafik. Cinta ingin berteriak, ingin melempar cangkir kopi ke wajah Raka, ingin mengguncangnya sambil bilang, Aku di sini, tujuh tahun di sisimu! Apa aku nggak cukup cantik? Tapi, yang keluar hanyalah pujian standar yang menyakitkan.
Dan kini, tiga minggu setelah pengakuan itu, Cinta masih stuck di dalam kamar, mengutuk takdir dan dirinya sendiri yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaan.
Kenapa nggak bilang? Kenapa harus jadi sahabat terus?
Jawabannya karena aku takut, bodoh.
Cinta melepaskan wajahnya dari cermin. Ia menatap pantulan dirinya: seorang wanita berusia 25 tahun, dengan rambut sebahu yang berantakan, mata sedikit bengkak, dan kaus kebesaran bergambar Doraemon yang sudah bolong di bagian lengan. Jauh dari kata "siap untuk move on".
Tiba-tiba, ponselnya bergetar kencang di atas wastafel. Nama "Bulan" muncul dengan ikon emoji bom meledak.
Cinta menghela napas. Hanya Bulan yang berani mengganggu proses self-pity dramatisnya.
"Apaan, sih?" sapa Cinta, suaranya terdengar serak.
"Ya ampun, Cinta! Akhirnya diangkat juga! Aku udah spam kamu dari tadi! Kamu udah makan, belum? Aku tahu kamu pasti cuma rebahan sambil dengerin lagu galau Korea." Suara Bulan langsung menembus, seolah dia tahu persis apa yang Cinta lakukan.
"Udah. Aku makan udara patah hati. Kenyang. Ada apa?" jawab Cinta dingin.
"Aduh, drama banget. Dengar, Cin, aku nggak mau dengerin ratapanmu lagi. Cukup. Kamu tahu nggak, aku ada masalah besar!" Bulan terdengar panik, dan itu berhasil menarik perhatian Cinta. Bulan jarang panik.
"Masalah apa? Deadline proyekmu belum selesai? Jangan bilang kamu lupa submit laporan keuangan lagi?"
"Bukan itu, Beb! Ini soal date. Blind date! Ingat, kan, yang aku ceritain sama client baru dari perusahaan Kencana Group, namanya Dio?"
"Dio? Cowok yang kamu bilang lumayan oke tapi too stiff itu?"
"Iya! Nah, malam ini, dia ngajakin ketemu. Katanya mau bahas detail kerjaan sekalian kenalan lebih lanjut. Aku udah bilang iya, tempatnya udah booked, tapi..." Suara Bulan mengecil, "Aku barusan dapat telepon. Ibuku masuk rumah sakit. Pendarahan usus. Aku harus ke sana sekarang juga."
Cinta terdiam. Urusan Ibu Bulan jelas jauh lebih penting dari kencan buta. "Ya ampun, Bulan! Cepat ke sana! Nggak usah khawatir soal Dio. Cancel aja."
"Nggak bisa, Cin! Dia ini client besar. Kalau aku cancel mendadak, dia bisa mikir aku nggak profesional dan kabur ke agensi lain! Reputasi perusahaan kita dipertaruhkan, Cin! Aku harus menjaga Dio ini tetap tertarik, setidaknya sampai besok pagi!"
"Terus?" Cinta mulai curiga ke mana arah pembicaraan ini.
"Terus... kamu kan lagi libur. Please, tolong aku, Cin. Gantikan aku!"
Cinta langsung menarik kepalanya menjauh dari ponsel. "Gila! Nggak mau!"
"Cinta, please! Cuma sebentar! Kamu cuma perlu dateng, senyum, bilang kamu Bulan, dengarkan dia ngomongin proyek, dan bilang kamu harus pulang duluan karena ada urusan mendesak. Aku janji, besok aku traktir kamu all-you-can-eat sepuasnya! Dua kali! Sampai kamu muntah!"
Cinta menyambar ponselnya lagi. "Bulan, kamu waras? Gantiin kencan buta? Dio nggak pernah lihat kamu, kan?"
"Belum! Kami cuma tukeran foto profil WhatsApp! Dan untungnya, wajah kita mirip-mirip gitu kalau dilihat dari kejauhan. Kamu cuma perlu pakai kacamata bingkai tebal dan iket rambut, biar auranya beda!" Bulan memohon, nadanya penuh keputusasaan.
Cinta menimbang-nimbang. Patah hati, di rumah sendirian, atau keluar dan berpura-pura menjadi orang lain selama satu jam? Pilihan kedua kedengarannya lebih... menghibur, setidaknya.
"Aku nggak tahu apa-apa soal Dio, soal proyekmu!"
"Nggak masalah! Bilang aja kamu lagi capek banget dan mau dengerin dia aja! Dia pasti suka cowok yang mau didengarkan! Cin, ini buat healing kamu juga! Kamu harus keluar, ganti baju, pakai make up! Jangan biarin Raka lihat kamu mengenaskan begini!"
Kata-kata terakhir Bulan menancap. Jangan biarin Raka lihat kamu mengenaskan begini.
"Oke. Aku gantiin. Tapi kalau Dio ternyata psikopat, aku bunuh kamu besok."
Bulan bersorak heboh. "Aku kirimin alamatnya sekarang! Restoran Italia yang super mewah di lantai atas gedung Astra. Namanya Il Cielo. Meja atas nama 'Dio'. Good luck, Cinta! You are my hero!"
Sambungan terputus. Cinta menatap pantulannya di cermin sekali lagi. Blind date. Dengan calon client Bulan. Demi menyelamatkan reputasi agensi. Demi melupakan Raka sejenak.
"Oke, Doraemon. Kita keluar dari sangkar ini," bisik Cinta pada kaus kumalnya.
Satu jam kemudian, Cinta berdiri di lobi restoran Italia yang namanya Il Cielo-yang benar-benar terasa seperti di langit karena terletak di lantai 38. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara rasa gugup dan takjub melihat kemewahan di sekitarnya.
Ia sudah berusaha keras. Rambutnya yang sebahu kini ditata rapi. Ia memakai dress hitam sederhana tapi elegan yang selama ini tersimpan di lemari. Make up-nya tipis, hanya untuk menutupi jejak-jejak kesedihan. Ia bahkan menemukan kacamata bingkai tebal Bulan yang tersimpan di laci.
Cinta menghampiri seorang pelayan dan menyebutkan nama yang ia cari. "Saya dengan Tuan Dio. Meja atas nama Dio."
Pelayan itu tersenyum ramah dan mengarahkan Cinta ke pojok ruangan yang agak privat, dekat jendela besar dengan pemandangan lampu kota yang berkilauan.
"Meja Tuan Dio sudah menunggu, Nona."
Cinta menarik napas dalam-dalam. Ingat, kamu Bulan. Kamu profesional. Kamu cantik. Kamu di sini untuk proyek, bukan cinta.
Ia melangkahkan kaki perlahan. Di meja itu, sudah duduk seorang pria.
Pria itu membelakangi jendela, sehingga cahaya dari luar menciptakan siluet yang dramatis. Posturnya tegap, bahunya lebar, dan ia mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang terlihat sangat mahal. Rambutnya ditata rapi ke belakang. Aura di sekelilingnya langsung berteriak: keseriusan, otoritas, dan sangat-sangat-tampan.
Bab 1 Patah hati
11/11/2025
Bab 2 Pria yang baru ia temui
11/11/2025
Bab 3 pastikan itu tidak terjadi
11/11/2025
Bab 4 Tidak merepotkan
11/11/2025
Bab 5 Di Luar Jam Kerja
11/11/2025
Bab 6 Cinta bergegas kembali ke rumahnya
11/11/2025
Bab 7 Kenan sudah di Bali
11/11/2025
Bab 8 menghadapi Bulan
11/11/2025
Bab 9 Cinta tiba di kantor
11/11/2025
Bab 10 Di tengah kemacetan
11/11/2025
Bab 11 Kenan sudah menelepon dari lobi
11/11/2025
Bab 12 Singapura memang ngaruh ya
11/11/2025
Bab 13 pinjaman dari Kenan
11/11/2025
Bab 14 Bagaimana kamu bisa menjadi pacar Kenan
11/11/2025
Bab 15 sebelum resmi menyandang status Nyonya Pramudita
11/11/2025
Bab 16 Bulan madu
11/11/2025
Bab 17 Enam bulan pernikahan akan terasa begitu cepat
11/11/2025
Bab 18 membuat Nyonya Pramudita sakit kepala
11/11/2025
Bab 19 Lima tahun lagi berlalu
11/11/2025
Bab 20 kenapa kelinciku yang bernama Coco
11/11/2025
Bab 21 memuntahkan semua sisa sarapannya
11/11/2025
Bab 22 Kenan terlihat jauh lebih gugup
11/11/2025
Bab 23 tiga dokter spesialis kandungan berbeda
11/11/2025
Bab 24 Ramuan rahasia
11/11/2025
Bab 25 undangan baby shower
11/11/2025
Bab 26 super posesif
11/11/2025
Bab 27 mau lihat cucu Mama
11/11/2025
Buku lain oleh Felisianus
Selebihnya