Direktur Iblis Takut Kehilangan

Direktur Iblis Takut Kehilangan

Felisianus

5.0
Komentar
Penayangan
21
Bab

Awalnya, hidup Lia Adelia itu udah kayak drama Korea yang happy ending: sempurna sebagai ibu rumah tangga. Eh, tahu-tahu plot twist pahit datang! Kebahagiaan Lia dirampas paksa. Suatu insiden bikin dia mendadak jadi janda, diusir dari rumah sendiri, dan harus banting tulang buat ngidupin dua anaknya. Cari kerja? Jangan ditanya susahnya. Lia selalu kena judge dan diremehin gara-gara status jandanya dan, well, badannya yang emang agak plus size alias montok. Pokoknya diskriminasi all the way. Tapi, takdir emang suka bercanda. Dia malah nyasar jadi asistennya seorang direktur bank swasta yang terkenal dingin, galak, dan super menyebalkan: si Bagas Samudra. Kerja bareng Bagas yang bikin emosi naik turun, Lia makin yakin kalau di dunia ini nggak ada lagi cowok sebaik almarhum suaminya. Dia udah janji, titik, nggak akan nikah lagi! Tapiiiii... kenapa ya, pas Bagas tahu Lia nggak mau nikah lagi, sikapnya perlahan-lahan jadi beda? Cowok se-dingin es itu kok jadi... perhatian? Sebenernya, si Bagas ini maunya apa sih dari cewek chubby kayak Lia?

Bab 1 Semua yang Hancur

Lia Adelia benci dengan Minggu sore. Dulu, hari Minggu sore adalah aroma martabak manis keju susu yang dibawa almarhum suaminya, Doni, dan suara tawa dua anak lelakinya yang berebut remote TV. Sekarang? Hari Minggu sore cuma sisa bau debu, keheningan yang menyesakkan, dan tumpukan tagihan yang bikin mata Lia perih.

Udah tiga bulan Doni pergi. Tiga bulan yang terasa seperti tiga puluh tahun neraka. Doni meninggal karena serangan jantung mendadak, pas lagi main bola sama anak-anak di taman. Cepat banget. Nggak ada sakit, nggak ada firasat, tahu-tahu aja Doni ambruk. Dan, seperti semua hal baik di hidup Lia yang mendadak hilang, ternyata kepergian Doni nggak cuma menyisakan kesedihan. Tapi juga bom waktu keuangan.

"Mama? Kenapa Papa nggak pulang-pulang, Ma? Sekolah bilang liburan semester cuma dua minggu," tanya Arka, si sulung yang baru masuk kelas dua SD. Pertanyaan polos itu selalu berhasil merobek hati Lia.

Lia cuma bisa tersenyum miring sambil memeluk Arka, "Papa lagi kerja keras, Nak. Di tempat yang jauh. Tempatnya bagus banget, banyak bintang." Lia membohongi anaknya, membohongi diri sendiri. Doni lagi di tempat yang jauh, iya. Tapi nggak akan pernah pulang.

Doni memang suami yang sempurna. Dia effortless banget dalam mencintai Lia, dari Lia yang dulu ramping sampai sekarang badannya jauh lebih berisi-atau gampangnya, gendut-setelah melahirkan dua anak. Doni nggak pernah protes. Doni malah sering bilang, "Aku suka, Yang. Kayak bantal, empuk!"

Cuma Doni yang bisa bikin Lia pede dengan badannya. Dan cuma Doni yang tahu kalau semua aset yang mereka miliki selama ini, rumah yang mereka tempati, mobil, bahkan asuransi jiwa Doni, itu semua atas nama mertuanya, Mama Ratna.

Doni terlalu baik dan terlalu percaya.

Lia menghela napas panjang. Udah seminggu ini dia resmi nggak lagi tinggal di rumah itu. Ya, lo denger sendiri: diusir.

Tepat sebulan setelah Doni meninggal, Mama Ratna datang dengan wajah dingin dan membawa berkas-berkas pengacara. Mereka menyangka Lia adalah wanita matre yang cuma mengincar harta anak mereka. Gila. Padahal Lia dan Doni merintis semuanya dari nol, tapi karena Doni terlalu polos dan terlalu mencintai ibunya, semua kepemilikan dipegang Mama Ratna.

"Kamu pikir gampang ya, Lia, mengurus dua cucu dan menjamin masa depan mereka? Sekarang Doni sudah nggak ada. Sebaiknya kamu kembali ke rumah orang tuamu. Rumah ini akan kami jual untuk biaya sekolah mereka," ujar Mama Ratna waktu itu. Nadanya datar, tapi dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Lia nggak melawan. Dia nggak punya energi untuk itu. Dia sadar, statusnya cuma menantu tanpa kuasa hukum apa-apa. Dua anaknya, Arka dan si bungsu Bima, memang dijamin biaya sekolahnya, tapi Lia harus pergi. Harus angkat kaki dari kenangan Doni.

Sekarang, Lia dan anak-anaknya tinggal di kontrakan kecil di pinggiran kota. Kamar yang cuma muat satu kasur, dapur mungil, dan kamar mandi yang selalu mampet. Jauh banget dari rumah mewah mereka yang dulu punya kolam renang mini.

Dan di sinilah tragedi Lia Adelia yang sesungguhnya dimulai: kebutuhan uang.

Uang sewa kontrakan, biaya makan sehari-hari, susu Bima, pulsa internet buat Arka belajar online. Semuanya mendadak jadi beban gunung yang menindih punggung Lia. Dia nggak punya skill spesial, cuma lulusan SMA yang langsung nikah dan jadi ibu rumah tangga. Tugasnya selama ini cuma masak, ngurus anak, dan memastikan Doni bahagia.

"Aku harus kerja. Harus," gumam Lia pada bayangannya sendiri di cermin buram.

Montase Pahit Pencarian Kerja

Minggu pertama pencarian kerja adalah mimpi buruk yang berulang-ulang.

Lia mencoba melamar ke sebuah butik sebagai Sales Assistant. Dia berdandan rapi, memakai kemeja yang masih muat (susah banget nyari ukuran XL yang nggak kelihatan kayak karung), dan sepatu pantofel yang bikin kakinya lecet.

"Terima kasih sudah datang, Mbak Lia. Kami sangat menghargai pengalamanmu sebagai ibu rumah tangga," ujar HRD butik, seorang perempuan muda yang terlihat stylish dan kurus, senyumnya seolah mengejek. "Tapi, mohon maaf, untuk posisi Sales Assistant kami butuh body goals yang bisa merepresentasikan produk kami. Kami juga butuh yang belum menikah, supaya fokusnya penuh."

Lia menahan air matanya. Body goals? Doni nggak pernah peduli. Kenapa dunia ini sekejam ini?

Lia coba lagi. Kali ini melamar di sebuah kantor properti sebagai Admin Gudang. Kedengarannya gampang, kan? Cuma urus berkas dan stok kunci.

Wawancara kedua, dengan seorang Bapak-bapak berkumis lebat.

"Jadi janda ya, Bu?" tanyanya tanpa basa-basi, mata genitnya menyapu tubuh Lia dari atas ke bawah. Lia menggenggam tangannya erat-erat, menahan amarah.

"Iya, Pak. Tapi saya jamin, saya profesional. Saya bisa kerja keras."

Bapak itu tertawa kecil, suara tawanya bikin Lia merinding. "Kerja keras sih kerja keras, Bu. Tapi kalau janda, suka banyak godaan. Apalagi... hmmm... Ibu kan masih muda dan... sehat."

Lia berdiri, mengambil tasnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia keluar. Nggak sudi diperlakukan serendah itu. Dia bukan barang, dan status janda bukan label dosa.

Dia terus mencoba. Administrasi, kasir supermarket, bahkan pernah coba daftar jadi driver ojek online, tapi motornya disita karena nggak mampu bayar cicilan yang udah nunggak.

Setiap penolakan adalah pukulan di ulu hati. Setiap tatapan merendahkan seolah menggarisbawahi kegagalan Lia: dia gendut, dia janda, dia nggak punya ijazah sarjana. Dia adalah sampah yang dibuang dari kehidupan sempurna.

Dia sempat berpikir untuk menyerah. Dia memandang wajah pulas Arka dan Bima yang tidur di kasur sempit mereka, dan rasa putus asa itu lenyap seketika.

"Aku nggak boleh menyerah. Doni, bantu aku," bisik Lia lirih, air mata jatuh membasahi pipinya.

Panggilan Telepon yang Janggal

Puncaknya adalah saat uang di dompet Lia cuma sisa seratus ribu, dan persediaan beras di dapur tinggal buat dua kali masak. Lia sudah mengirimkan hampir lima puluh lamaran, dari yang formal sampai yang absurd. Semuanya nihil.

Tepat jam sebelas siang di hari Selasa yang terik, ponsel butut Lia berdering. Nomor nggak dikenal.

"Halo?" suara Lia serak karena hampir seharian dia nangis diam-diam.

"Selamat siang, saya Dinda dari HRD Bank Arta Utama. Dengan Ibu Lia Adelia?" Suara perempuan di seberang sana terdengar formal, tapi agak buru-buru.

Lia mengerutkan dahi. Bank Arta Utama? Dia ingat, dia pernah asal kirim lamaran ke sana. Posisi Office Girl, cuma iseng-iseng. Nggak mungkin kan dia dipanggil? Itu bank swasta elite, gedung kacanya aja kayak menara di film Hollywood.

"Iya, saya Lia. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Begini, Bu. Kami sudah mempelajari berkas Ibu, dan kami tertarik untuk menawarkan Ibu wawancara besok pagi jam sembilan. Untuk posisi... Asisten Direktur."

KLIK.

Lia yakin telinganya kotor. Asisten Direktur? Lia? Yang ijazahnya cuma SMA, nggak bisa excel selain buat bikin daftar belanjaan, dan badannya melar? Ini pasti salah sambung.

"Mbak, maaf. Sepertinya ada kesalahan. Saya melamar sebagai Office Girl," potong Lia, berusaha sopan.

Dinda di ujung sana malah terdengar kesal. "Tidak ada kesalahan, Bu. Kami mendapat instruksi langsung dari Direktur Utama untuk memanggil Ibu. Besok jam sembilan pagi. Berpakaian profesional. Jangan terlambat."

Sambungan terputus. Lia menatap ponselnya, tangannya gemetar. Ini jebakan? Atau cuma lelucon kejam dari semesta?

Tapi Lia nggak punya pilihan. Seratus ribu di dompet, dan dua anak kelaparan di rumah. Apapun risikonya, besok dia harus datang. Setidaknya, dia akan tahu apa maksud semua ini.

Jubah Tempur dan Rasa Insecure

Pagi itu, Lia menghabiskan waktu dua jam di depan cermin. Dia cuma punya satu setel baju formal yang lumayan layak: blazer hitam kebesaran dan rok span selutut yang terasa mencekik. Sepatu pantofel yang kemarin bikin lecet, dia paksakan lagi.

Dia terlihat... profesional, dalam batas kemampuannya. Tapi rasa insecure itu lebih tebal dari lapisan bedak yang dia pakai.

Dia memandang tubuhnya, yang terasa makin besar di tengah pakaian ketat itu. Dia teringat ucapan HRD butik soal body goals. Rasanya pengen nangis lagi, tapi Lia harus kuat. Dia mencium kening Arka dan Bima, menitipkan mereka pada tetangga sebelah yang baik hati, Bu Tati.

Bank Arta Utama. Gedungnya menjulang angkuh, dilapisi kaca biru yang memantulkan langit pagi yang cerah. Saat Lia masuk, aroma AC yang mahal dan bau parfum mahal langsung menyambutnya. Resepsionisnya cantik-cantik, tinggi, dan mereka menatap Lia dengan tatapan aneh. Tatapan yang sama, yang selalu Lia terima: siapa kamu, kenapa kamu ada di sini?

Lia menghiraukan itu. Dia mendatangi meja resepsionis, menyebutkan namanya dan tujuannya.

"Asisten Direktur? Oh, ya ampun," bisik resepsionis itu pada temannya, tapi suaranya cukup keras sampai Lia mendengarnya. Mereka cekikikan.

Lia Adelia, wanita gendut, janda, dan nggak berijazah tinggi, melamar jadi asisten Direktur. Ini memang komedi gelap.

Lia diantar ke lantai paling atas. Lantai yang hening, karpetnya tebal, dan pemandangannya langsung ke seluruh kota. Ruang tunggu tempat Lia duduk dilengkapi sofa kulit Italia dan lukisan abstrak yang harganya pasti bisa buat bayar sewa kontrakannya setahun.

Lima belas menit berlalu. Lia terus mengulang-ulang kalimat perkenalan di kepalanya, sambil mencoba mengatur napas agar rok span-nya nggak meledak.

Seorang wanita dengan setelan jas abu-abu ketat, rambut disanggul rapi, dan wajah tanpa ekspresi, muncul.

"Ibu Lia Adelia? Silakan masuk. Bapak Direktur sudah menunggu," katanya, suaranya dingin tanpa sapaan.

Pertemuan dengan Si Galak: Guntur Mahendra

Lia didorong pelan ke dalam ruangan yang luar biasa besarnya. Dindingnya kaca semua, dan di tengah ruangan ada meja kerja kayu gelap yang panjangnya hampir separuh lapangan bulu tangkis. Di belakang meja itu, duduklah sosok yang bakal jadi mimpi buruk Lia: Guntur Mahendra.

Dia bukan cuma Direktur, dia adalah Dewa Es yang turun ke bumi.

Guntur Samudra adalah pria berusia akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, dengan aura yang sangat mengintimidasi. Wajahnya tampan, itu nggak bisa dipungkiri. Tapi ketampanannya nggak ramah. Rahangnya keras, matanya tajam, dan dia nggak menunjukkan satu pun ekspresi hangat.

Dia nggak menyapa Lia. Dia bahkan nggak mendongak. Dia sibuk menatap laptopnya.

Lia berdiri di ambang pintu, menunggu instruksi. Lima detik. Sepuluh detik. Keheningan itu terasa mematikan.

"Duduk," katanya tanpa melihat, suaranya rendah dan berat. Terdengar seperti perintah, bukan ajakan.

Lia buru-buru duduk di kursi kulit yang nggak kalah mahalnya. Kursi itu terasa nyaman, tapi suasana di ruangan itu bikin Lia merinding.

"Kamu melamar di sini sebagai Office Girl," Guntur akhirnya mendongak. Matanya yang gelap menatap Lia, seolah Lia adalah setitik debu yang harus segera dia sapu.

"Iya, Pak. Tapi..."

"Stop. Saya nggak peduli. Saya lihat berkas kamu. Lia Adelia. Alamat, kontrakan di pinggiran. Pendidikan, SMA. Status, janda dengan dua anak." Guntur membaca data Lia seperti seorang jaksa sedang membacakan dakwaan pidana. Dingin, jelas, tanpa emosi.

Lia merasa pipinya memerah. Kenapa dia harus menonjolkan semua kekurangannya di awal begini?

"Apa skill yang kamu punya yang membuat kamu berpikir bisa jadi asisten saya?" Guntur menyandarkan punggung ke kursinya, melipat tangan di dada. Posturnya menunjukkan dominasi mutlak.

Lia menarik napas dalam-dalam. "Saya... saya pandai memasak, Pak. Saya jujur. Dan saya punya pengalaman mengurus rumah tangga selama delapan tahun. Itu artinya saya teliti, cekatan, dan bisa mengatur waktu dengan baik."

Guntur tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan, tapi tawa mengejek yang terdengar hampa.

"Memasak? Mengurus rumah tangga? Ibu Lia, ini bank investasi, bukan dapur rumah tangga. Asisten saya harus menguasai regulasi keuangan, menjadwalkan pertemuan klien VVIP, dan mengurus deal miliaran rupiah. Apa kamu pikir saya sedang mencari istri?"

Seketika, Lia merasa dunianya runtuh lagi. Dia tahu ini cuma lelucon, tapi mendengar Guntur mengatakannya langsung ke wajahnya terasa menyakitkan.

"Maaf, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera pergi," kata Lia, suaranya nyaris nggak terdengar. Dia bangkit dari kursi.

"Duduk," perintah Guntur lagi.

Lia menurut. Duduk lagi. Jantungnya berdebar kencang.

Guntur menatap Lia lekat-lekat. Pandangan itu lama banget, seolah dia sedang memindai DNA Lia. Lia mulai nggak nyaman. Dia ingat almarhum Doni. Doni selalu menatapnya dengan cinta dan kehangatan. Tatapan Guntur ini... cuma ada penilaian.

"Baiklah. Kamu diterima," kata Guntur tiba-tiba.

Lia melongo. "Hah?"

"Diterima. Mulai kerja besok jam delapan pagi. Gaji kamu... tiga kali lipat dari gaji Office Girl. Sudah termasuk biaya lembur yang bakal sering kamu jalani."

Lia nggak bisa memproses. Ini pasti tipuan. "Tapi... kenapa, Pak? Bapak bilang saya nggak punya skill yang sesuai."

Guntur menghela napas, terlihat bosan. "Kamu benar. Kamu nggak punya skill yang sesuai. Tapi saya juga nggak butuh asisten yang pintar. Asisten saya yang terakhir terlalu pintar. Dia mencoba menggulingkan saya. Yang saya butuhkan sekarang adalah seseorang yang desperate, loyal, dan... yang nggak akan menarik perhatian saya."

Dia memandang tubuh Lia yang berisi dari ujung kaki ke ujung kepala. Tatapannya dingin, nggak ada gairah sama sekali, hanya perhitungan.

"Kamu janda. Kamu punya dua anak. Kamu terlihat sangat butuh uang. Dan kamu... uhm... secara penampilan, kamu adalah profil risiko paling rendah untuk menciptakan drama kantor. You are safe."

Lia merasa tertampar, tapi pada saat yang sama, dia merasa lega. Lega karena dia dapat pekerjaan. Sakit hati karena dia diterima cuma karena dia nggak menarik.

"Jadi, saya diterima karena saya gendut dan nggak punya apa-apa?" tanya Lia, suaranya tegas. Untuk pertama kalinya, dia menantang Guntur.

Guntur menyeringai tipis, pertama kalinya Lia melihat ekspresi itu. Itu bukan senyum, tapi lebih mirip seringai predator.

"Tepat sekali. Itu sebabnya saya memilihmu. Kamu nggak akan merepotkan. Pekerjaan ini hanya butuh ketaatan buta. Kamu taat?"

Lia mengangguk cepat. Rasa sakit hati itu tertelan oleh kebutuhan mendesak untuk membayar kontrakan.

"Taat, Pak. Saya akan bekerja keras. Saya janji."

"Bagus." Guntur kembali menatap laptopnya, seolah Lia sudah nggak ada lagi di ruangan itu. "Sekarang keluar. Besok pagi, tepat jam delapan. Cari tahu semua yang harus kamu tahu tentang bank ini. Dan jangan pernah membuat saya menunggu. Paham?"

"Paham, Pak," jawab Lia. Dia berdiri, membungkuk hormat, dan berjalan cepat keluar dari ruangan Direktur Neraka itu.

Saat pintu tertutup, Lia bersandar ke dinding, mencoba bernapas normal. Dia baru saja masuk ke sarang singa. Dia baru saja mendapatkan pekerjaan paling nggak masuk akal di hidupnya, dari seorang laki-laki paling arogan yang pernah dia temui.

Doni, suamiku, di mana pun kamu berada, tolong lindungi aku. Karena aku baru saja menemukan pria yang sama sekali nggak mirip dengan kamu. Pria ini cuma akan membuat aku sadar, kalau aku nggak akan pernah menemukan cinta kedua. Janji.

Lia mengepalkan tangannya. Dia harus bertahan demi anak-anaknya. Guntur Mahendra boleh dingin, galak, dan merendahkan. Tapi Lia Adelia nggak akan menyerah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Felisianus

Selebihnya

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku