/0/22082/coverorgin.jpg?v=ad2b0922cd8b095696d41f8ce878db88&imageMogr2/format/webp)
Amara menutup laptopnya-sekali lagi-lalu menatap layar gelap yang masih menyimpan potongan-potongan naskah kliennya. Ruangan apartemennya di lantai delapan gedung di dekat SCBD itu terasa dingin meski AC dimatikan; malam Jakarta mengigilkan jenis sepi yang tak bisa dibeli dengan kopi atau playlist. Di meja kerja, setumpuk buku bertengger seperti saksi yang sabar: roman bekas, kumpulan cerpen, sebuah buku tentang fotografi yang belum ia baca sampai selesai.
Teleponnya berdering tepat ketika ia hendak berdiri. Layar menampilkan "Nina - Rumah". Amara menekan tombol hijau dengan jari yang sedikit kaku. Suara adiknya terdengar lebih cepat dari biasanya.
"Kak, pulang, ya?" kata Nina tanpa basa-basi. "Bapak minta ketemu. Nanti jam sembilan."
Amara menelan. "Sekarang? Kenapa? Ada apa?"
"Aku nggak tahu, kak. Katanya penting. Jangan marah. Cuma- ya, pulang, ya?" Nina menutupnya seperti doa yang disampaikan oleh orang yang takut diiyakan.
Ayahnya sudah lama tidak menulis pesan yang menuntut. Sejak ia beranjak dewasa, Haryo-yang dulu begitu tegas ketika mengurus toko kecilnya-jarang memaksa. Amara menutup telepon lebih cepat dari yang ia sadari. Di dinding apartemen, kalender menandai tanggal dengan stiker merah-deadline besar untuk naskah yang harus ia selesaikan pekan depan. Pulang ke rumah di Yogyakarta berarti menabrak skedul: kehilangan pembayaran, kehilangan citra, kehilangan momentum.
"Kerjaan?" gumamnya pada ruangan kosong. Ia memikirkan klien yang menuntut perubahan alur dan judul yang harus lebih 'trending'. Menjadi editor membuatnya terbiasa menimbang mana yang penting dan mana yang kompromi yang harus ditelan. Tapi Haryo, di sisi lain, selalu punya cara membuat hal sederhana terasa seperti hari kehancuran.
Ia menatap foto keluarga kecil yang terpajang di rak: wajahnya yang lebih muda, Nina yang masih memakai bando, dan seorang laki-laki berkumis-ayahnya ketika masih muda, tersenyum lepas. Bayangan laki-laki lain-laki-laki yang meniggalkan mereka saat ia masih SMA-selalu muncul di pinggiran foto: entah sebagai cerita, entah sebagai luka yang belum tertutup.
Setengah jam kemudian Amara sudah mengemasi pakaian seadanya. Ia menolak untuk menghabiskan malam di rumah yang memintanya kembali seperti boneka yang dulu selalu menunggu perintah. Tetapi sesuatu pada nada suara Nina membuatnya tak tega. Di atas taksi, kota berpendar lewat jendela; lampu neon seperti titik-titik kecil yang membentuk pola rindu yang tak diundang. Ia menunggu bunyi telepon berikutnya-penjelasan, klarifikasi, mungkin sebuah alasan bahwa semuanya baik-baik saja.
Malam Yogyakarta menyambutnya dengan udara yang lebih ringan dan bau hujan yang lama tak ia cium. Rumah Widjaja masih sama: pintu kayu yang sedikit berbunyi, teras kecil yang selama bertahun-tahun dipenuhi pot bunga milik ibunya yang almarhumah. Di ruang tamu, lampu redup menyorot satu kursi-tempat yang selalu ditempati ayah sejak pensiun; malam itu kursi itu kosong, dan Haryo berdiri di dekat jendela, menatap ke arah jalan.
"Ma," sapanya ketika ia masuk. Haryo berbalik perlahan dan wajahnya-yang sekarang keriput-seolah merunduk di bawah beban kata yang tak bisa ia ucapkan. Namun matanya tetap memiliki sesuatu dari masa lalu: kekuatan yang tak habis oleh usia.
"Ada apa, Pak?" tanya Amara lebih tegas dari niatnya.
Haryo mengisap napas panjang dan menutup mata sesaat. "Kau masih mau mendengarkan, Amara?"
"Selalu," jawab Amara, dan ketika kata itu keluar, ia menyadari bagaimana kata itu menempel di tenggorokannya-berat dengan harapan dan takut.
Haryo berjalan mendekat, tangannya menggenggam selembar amplop. Amplop itu kusam, tepi-tepinya berkriting, seperti benda yang sudah lama disimpan. Ketika ia mengulurkannya, jari-jari Amara bergetar.
"Ini datang beberapa minggu lalu," kata Haryo. "Surat dari seseorang yang pernah... bagian dari hidup kita."
Amara menatap surat di tangannya. Di pojok kanan atas, ada cap pos tua yang hampir pudar. Tidak ada nama pengirim yang jelas, hanya ada inisial yang samar: R. Ia membuka amplop dengan kedua ibu jari-sambil merasakan detak yang tidak biasa di dadanya.
Isinya sederhana: sebuah foto lama, sebuah potongan surat yang terdengar seperti permintaan maaf, dan sebuah alamat sebuah rumah di pinggir kota-tempat yang selama ini diselimuti oleh bisik-bisik tak enak. Di balik foto itu ada sesuatu yang membuatnya menahan nafas: nama yang tak pernah ia dengar disebut lagi sejak masa remaja.
/0/29976/coverorgin.jpg?v=d1d4433cdd5df3d4b63172c66fabef97&imageMogr2/format/webp)
/0/20148/coverorgin.jpg?v=610d1466562cb507b996b1f6794ddd1c&imageMogr2/format/webp)
/0/29145/coverorgin.jpg?v=93e9e91e777a4abee37d2d7b5969b21f&imageMogr2/format/webp)
/0/30075/coverorgin.jpg?v=d0a53a059b7ab79f9f9d8962fc9bcb6c&imageMogr2/format/webp)
/0/29182/coverorgin.jpg?v=105951bb5be436dcbc9f4145da58dbd4&imageMogr2/format/webp)
/0/16835/coverorgin.jpg?v=e4fb7f2d306934fd883fb8ff2f2e9fc3&imageMogr2/format/webp)
/0/16644/coverorgin.jpg?v=c00f599b8ec08b1b6ed69463abb68eb4&imageMogr2/format/webp)
/0/20147/coverorgin.jpg?v=094d6dee3fe128eb23ca338f58cea767&imageMogr2/format/webp)
/0/3092/coverorgin.jpg?v=6017a83f5795db14f6aeff4606c5d9c3&imageMogr2/format/webp)
/0/5309/coverorgin.jpg?v=318edda748a512baafbab30c446567be&imageMogr2/format/webp)
/0/4019/coverorgin.jpg?v=e1ef4fa87eee2dc58998acc3365705d4&imageMogr2/format/webp)
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/3822/coverorgin.jpg?v=5116589108a57a18ef2dd8e2017914b3&imageMogr2/format/webp)
/0/7429/coverorgin.jpg?v=84e91445dd5a8d6ad3350ad2d733146b&imageMogr2/format/webp)
/0/13816/coverorgin.jpg?v=dcd375df5c7eb6ce2b672d32a556e176&imageMogr2/format/webp)
/0/20601/coverorgin.jpg?v=c767a518547a1a5362b5171616e93730&imageMogr2/format/webp)
/0/20602/coverorgin.jpg?v=d75af516ce6fb953d1ae24f7069b49dd&imageMogr2/format/webp)