Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Setiap rumah tangga yang tidak kunjung dikarunia anak selalu wanita yang menjadi tertuduh, itu pula yang terjadi ke Aulia. Dua tahun pernikahan mereka jalani tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda wanita berkulit kuing langsat dan berambut tebal, hitam dan lurus hingga bahu itu hamil.
“Apa maksudmu, kau akan menikah lagi?” tanya Aulia.
Pria dengan perut buncit itu menatap Aulia dengan tatapan layaknya anak manja yang tidak punya pendirian teguh.
“Ibu meminta aku untuk menikah dengan salah seorang putri dari kenalannya,” jelas Angga.
“Kenapa?” tanya Aulia.
“Karena kau tidak kunjung hamil, jadi ….”
Aulia serasa tersambar petir di sian bolong mendengar perkataan pria yang ia nikahi karena dijodohkan oleh orang tuanya itu. Dia yang tidak kunjung hamil juga belum tentu kesalahan darinya, itu juga bisa dikarenakan oleh pria yang sedikit mengalami masalah obesitas. Hanya saja, bagi orang-orang desa, saat pasangan suami istri tidak kunjung dikarunia anak maka yang menjadi sebab adalah si wanita tidak pernah laki-laki.
“Bagaimana bisa ….”
“Ibu sudah sangat ingin menimang cucu jadinya dia meminta aku untuk kembali menikah agar segera di karuniai seorang anak,” ujar Angga.
“Bagaimana kalau tetap tidak akan punya anak?” tanya Aulia.
“Kau menyumpahi putraku?!” bentak Ibu Angga dari balik tembok ruang tamu.
“Bukan begitu … hanya ….”
“Kalau kau tidak mandul, aku tidak akan membuat anakku menikah lagi!” tukas Siti kepada menantunya.
“Ibu ....”
“Jadi terima saja! Biarkan suamimu menikah lagi,” ujar wanita pra lansia tersebut.
“Bagaimana kalau bukan aku penyebabnya? Bagaimana kalau putra ibu yang menjadi sebab aku tidak segera hamil?!” Aulia memang tidak bisa mencintai pria yang ia nikahi itu meski telah dua tahun mereka menikah, tetap saja dituduh mandul oleh ibu mertuanya, ia tidak bisa terima.
“Yang mandul itu wanita, bukan pria!” tegas Siti dengan bibir maju tiga senti.
“Tapi, yang punya sperma itu anak ibu dan kalau sperma anak ibu bermasalah, menikah dengan siapa saja tidak akan pernah ….”
Plak …
Sebuah tamparan melayang ke pipi mulus Aulia yang sedikit cekung karena tertekan dengan kehidupan pernikahannya. Tangan gempal sang suami membuat tubuh dia terhuyung ke samping dan rasa panas menjalari seluru wajahnya.
“Jaga ucapanmu! Bersikaplah sopan pada ibu mertuamu!” bentak Angga.
“Itulah kenapa aku mencarikanmu anak pesantren, biar tahu adab dan etika tidak seperti dia yang tidak mengenyam pendidikan pesantren, berani melawan,” ujar Siti dengan sinis.
“Benarkah karena mereka lebih tahu adan dan sopan santun? Atau karena mereka akan menjadi istri yang penurut bahkan akan menerima saat dia di madu karena tidak kunjung hamil,” sindir Aulia.
“Kau ….” Tangan besar dan gemuk Angga bersiap untuk menampar Aulia.
Aulia yang sudah muak dengan kehidupan pernikahannya, berdiri, bangkit untuk melawan. Perjodohan yang berdasarkan kata orang oleh orang tuanya membawa dia dalam kehidupan yang penuh dengan tekanan batin, Kata mereka yang membawa Angga ke orang tuanya, pria itu adalah pria baik dan sopan dari keluarga kaya dan terpandang yang ternyata hanya isapan jempol belaka.
“Pukul aku! Hajar saja aku sampa aku mati!” teriak Aulia.
Plak …
Bukan tangan gemuk Angga yang mendarat ke pipi Aulia melainkan tangan besar sang ibu mertua yang mendarat ke pipinya.
Wanita yang sudah memasuki akhir usia pra lansia itu adalah wanita yang sangat ikut campur dalam rumah tangga mereka hingga Aulia tidak memiliki ruang sebagai seorang istri. Dari masalah keuangan hingga masalah rumah, semua dipegang dan diatur oleh wanita itu. semua hasil dagang yang diperoleh oleh Angga selalu di setor ke ibunya dengan alasan toko tersebut merupakan toko warisan yang masih menjadi milik ibunya. Aulia hanya bisa pasrah dan diam tanpa melawan sedikit pun saat Angga hampir tidak pernah memberi uang belanja dengan alasan sang ibu telah menyiapkan makanan untuk mereka makan.