Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Galau Cinta Untuk Siapa

Galau Cinta Untuk Siapa

Pinot

5.0
Komentar
136
Penayangan
17
Bab

Kaila menatap Dwina tidak percaya apalagi dengan kalimatnya yang membuat wajah Kaila semakin bingung. "Tinggalkan Boyke karena kami akan menikah." Kaila menikah dengan lelaki bernama Boyke Dhamara yang seharusnya menjadi kakak iparnya. Tidak pernah terlintas di dalam benak Kaila menikah muda tetapi keinginan semua pihak yang mewajibkan Kaila melakukannya. Kenapa Dwina kembali setelah setahun dia menggantikan posisi Dwina sebagai istri Boyke Dhamara. Bukan keinginan Kaila menjadi istri Boyke tetapi kepergian Dwina yang hanya 1 jam sebelum akad nikah yang membuat Kaila terpaksa memenuhi permintaan kedua keluarga. Lalu apa tujuan Dwina memintanya pergi dan apa yang akan dilakukan oleh Boyke begitu dia tahu kalau kekasihnya yang pernah dia cintai kini kembali?

Bab 1 Sisa Napas

Kaila Maharani berlari kencang seperti angin. Dia tidak rela usahanya bangun pagi berakhir sia-sia hanya karena sebuah kejadian yang membuatnya terlambat tiba di sekolah, apalagi pada hari pertama di tahun ajaran baru.

"Pak Dayaaaaat...tunggu!" teriak Kaila saat penjaga sekolahnya mulai bergerak menutup pintu gerbang.

Bukan saja penjaga sekolah yang dipanggil Pak Dayat yang terkejut melainkan sebagian siswa dan siswi yang baru saja melewati gerbang sekolah.

"Ya Allah, Neng. Abis sarapan apa-an, sih," tegur Pak Dayat yang terpaksa menunda menutup pintunya.

Berdiri dengan tangan memegang gerbang bagian dalam, Kaila menatap ke atas dengan mata terpejam, mencoba menormalkan tarikan nafas dan degup jantungnya.

Senyum Kaila begitu cerah karena dia sudah berada di dalam lingkungan sekolah.

Wajahnya begitu sumringah pada saat bel berbunyi nyaring.

Dia tidak peduli kalau tas yang dia bawa masih ada di pundaknya. Dan dia juga tidak peduli kalau dia belum mendapatkan kursi tempat dia duduk nanti. Jangankan kursi, kelas-nya ada dimana saja dia belum tahu.

Yang terpenting bagi Kaila adalah dia sudah tahu dia masuk kelas apa.

Bagi sebagian siswa masuk kelas unggulan adalah impian mereka untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, tetapi tidak dengan Kaila.

Dia bukan pelajar yang selalu giat belajar karena dia adalah siswa dengan sistem kebut semalam.

Kaila tidak tahu mengapa dia harus ditempatkan di kelas tersebut meskipun nilainya sangat lebih dari cukup.

Namun, yang jadi masalah adalah Kaila sudah menyatakan dengan tegas dan jelas di atas kertas kalau dia tidak mau masuk ke kelas tersebut.

Tapi apa daya, namanya sudah ada di sana begitu dia daftar ulang untuk masuk ke kelas 11.

"Kail...cie...cie, yang masuk kelas unggulan udah siap di tepi lapangan," goda Sifa sahabatnya.

"Siap kabur, maksudnya?" cibir Kaila sewot.

"Yakin loe mau kabur?" tanya Cory pelan.

"Bawel. Ngapain aku kabur kalau udah susah payah sampe di sekolah," omel Kaila.

Kenapa kedua teman karibnya bisa mendapatkan kelas yang mereka inginkan sementara dia tidak bisa.

'Kelasnya udah penuh' adalah alasan yang diberikan oleh guru yang berwenang.

Kalau saja Kaila boleh menggugat dia pasti mengatakan kalau kelas unggulan tidak akan menjadi unggul kalau dia pindah.

Boleh narsis dikit, kan? Setidaknya dia bisa mengurangi sakit hatinya karena permintaannya ditolak mentah-mentah.

"Babay, Kaila, kita baris di tempat yang beda, ya," goda Sifa.

"Kacrut!"

"Kaila, kamu bicara apa barusan?"

Suara teguran terdengar dari belakangnya.

Dengan wajah tersenyum lebar tanpa bersalah, Kaila berbalik dan melihat guru nomer satu juteknya ada di depannya.

"Binatang tikus, Bu," jawab Kaila pelan.

"Ini hari pertama wow, seenggaknya jangan dimulai dengan memberikan hukuman," pinta Kaila dalam hati.

"Ya sudah, baris sama teman sekelas kamu, sana!" perintah guru perempuan yang bernama Lasnariah.

"Baik, Bu."

Langkah kaki Kaila membawanya menuju barisan kelas 11.1 yang menjadi kelasnya sekarang.

Wajah dingin dan tidak peduli Kaila temukan saat dia berada di dalam barisan. Kenapa mereka tidak tersenyum? Seenggaknya mereka gak perlu berwajah serius seperti menunggu hukuman seperti itu.

Mereka masuk kelas unggulan bukan berarti masuk ke kamp konsentrasi yang dingin, kan?

Di antara 25 orang siswa kelas unggulan hanya ada 2 orang yang jauh dari kata serius dan mereka adalah Kaila dan Deniz yang menatapnya sambil cengengesan.

Mata Kaila melotot galak karena Deniz tidak bisa diam dan terus memandanginya.

"Kenapa? Kabur aja."

Gerakan mulut Deniz seolah membisikkan kata ajaib yang membuat Kaila tersenyum.

Apakah segala kelakuannya selama setahun sebagai siswi SMA sudah begitu terkenal? Tapi apa pedulinya.

Sudah setengah jam berlalu dan Kaila tidak tahu sampai kapan mereka terus berada di lapangan karena belum ada tanda-tanda segera berakhir sementara matahari semakin terasa menyentuh kulit kepala setiap siswa yang masih berbaris di tengah lapangan, meskipun mereka memakai topi sekolah.

Tidak ada yang menyadari tindakan Kaila pada saat dia bersandar pada siswi yang ada di depannya kecuali Deniz.

"Eh, kenapa kamu?" tanya siswi yang namanya belum dikenal Kaila.

"Maaf, mataku gelap sekali," ucap Kaila mengeluh.

"Kamu mau pingsan? Malu-malu in, tahu," decak siswa yang tubuhnya menjadi sandaran Kaila.

Dengan cepat Deniz memberi isyarat pada siswa yang berjaga dibarisan belakang untuk memberi pertolongan pada Kaila.

Bukan Kaila namanya kalau dia tidak bisa mendapatkan yang dia inginkan.

Dia baru saja berlari sebelum pintu gerbang tertutup dan belum lagi dia cukup istirahat, dia sudah harus berdiri dibawah panas Matahari pagi yang cukup menyengat.

Sehat, tapi kalau dia sendiri tidak kuat, buat apa bertahan hanya untuk dianggap kuat.

Dengan tubuh di papah, Kaila dibawa masuk ke ruang UKS agar dia bisa istirahat dan menormalkan detak jantungnya.

Pura-pura atau tidak, wajah Kaila memang sangat pucat.

Tidak perlu waktu lama membuat ruang UKS bertambah penghuninya setelah Kaila berbaring nyaman setelah menikmati segelas teh manis hangat.

"Woi, curang lu. Kalau mau ke UKS ngajak dong, jangan sendirian aja," tegur Sifa pelan.

"Aku pikir kamu udah jadi anak baik karena masuk kelas unggulan," bisik Cory pelan.

Ya Tuhan...apakah guru dan siswa yang bergabung sebagai anggota PMR gak ada yang curiga melihat mereka bertiga ada di sini?

"Aku memang udah jadi anak baik, makanya gak mau ngajak kalian," sahut Kaila.

"Aku heran kenapa kalian bertiga tidak ada yang memiliki sifat patriot. Tunjukkan kalau kalian siswa yang patuh dan tertib. Kalian gak bosen dicap sebagai siswa mental tahu?"

Teguran dari ketua OSIS terdengar dari pintu.

Almira, ketua OSIS yang masa tugasnya segera berakhir memperhatikan Kaila dengan kedua kawannya dengan mengejek.

"Kau sendiri, ngapain ada di sini. Setahu aku kau bukan anggota PMR," cibir Sifa.

"Aku mengecek keadaan siswa yang ada di UKS," jawab Almira.

"Yakin? Aku tahu hukuman yang diberikan oleh Pak Gun bila ada siswa yang meninggalkan barisan tanpa alasan," kata Cory ikut bicara sementara Kaila, dia lebih memilih memejamkan matanya.

Bukan karena sakit kepala, tetapi dia memang ngantuk berat.

Baru tadi pagi dia dan kakaknya tiba di Jakarta setelah menghabiskan waktu berlibur di rumah neneknya.

"Kaila, kamu baik-baik aja, kan? Kalau memang sakit sebaiknya ijin aja," kata Sifa memberi saran.

Bukan kebiasaan Cory berdiam diri sementara ada orang yang sibuk mencela perbuatannya.

"Gak perlu. Aku cuma perlu istirahat aja sebentar," kata Kaila pelan.

Almira memperhatikan wajah Kaila, benaknya seolah menilai apakah Kaila benar sakit kepala atau seperti biasa, hanya akal-akalan agar tidak ikut upacara seperti biasanya.

"Aku gak tahu kamu serius sakit atau engga. Tapi sebentar lagi upacara selesai dan sudah waktunya kalian masuk ke kelas masing-masing," beritahu Almira.

"Hem, Terima kasih," sahut Sifa dan Cory berbarengan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku