Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Untuk Nadia

Cinta Untuk Nadia

Erisna Aisyah

4.2
Komentar
6.3K
Penayangan
32
Bab

"Calon suami Nadia, dia ... tidak akan datang," lirihnya sembari menunduk. Deg! Aku terlonjak, seperti ada yang menghantam tiba-tiba. "Maksud Abah Yai?" tanyaku tak mengerti. "Ya, dia tak mungkin akan datang," ulangnya. "Jadi ... Abah minta tolong sama kamu. Tolong gantikan posisinya untuk Nadia," tambahnya. Deg! ***EA***

Bab 1 Jumpa Pertama

BAB 1 : Jumpa Pertama

***

25 Mei. Tanggal di mana pertama kali kami bertemu. Ya, sekaligus pertama kalinya aku merasakan debar dalam dada yang tak biasa.

Gadis berjilbab abu-abu itu, menunduk sesaat setelah pandangan kami tak sengaja bertemu. Aku sendiri tak bisa melepaskan pandangan ini dari wajahnya. Sampai akhirnya tersadar, setelah Robi menyikut lenganku.

"Jaga pandanganmu, Azis! Kau tidak boleh sembarangan menatap seseorang, apalagi dia seorang akhwat!" bisik Robi, matanya menyapu sekeliling.

"Maafkan aku, Rob, tapi gadis itu benar-benar cantik." Aku mengulum senyum, masih sedikit melirik gadis itu.

"Hush! Kamu mau tak aduin sama Abah Yai? Dia itu keponakannya tauk!" Mendengarnya menyebut nama Abah Yai, sontak aku lebih melebarkan lengkung bibir ini.

Ini kesempatan bagus untukku. Aku harus lebih mendekati Abah Yai supaya bisa mengenalnya lebih jauh. Siapa tahu, Abah Yai mau membantuku mengkhitbah gadis itu. Ya, kalau memang dia berjodoh denganku.

"Sip, Rob! Semoga saja dia adalah jodohku!" seruku kemudian, sembari menepuk pundaknya dan beranjak meninggalkannya.

"Hey! Mau ke mana kamu?" Masih terdengar teriakannya, tetapi kuabaikan begitu saja. Aku masih ingin menemui Abah Yai.

***

"Assalamu'alaikum."

Kuucap salam sembari mengetuk pintu rumah Abah Yai. Tak lama kemudian, pintu terbuka.

"Wa'alaikumsalam."

Terlihat wajahnya yang berseri memancarkan kecantikan yang alami. Gadis yang tadi pagi sempat membuyarkan fokusku saat acara peresmian pembukaan Madin Al-Falaq, kini berdiri dengan anggun di depanku.

Tak terasa, bibir ini tersenyum sembari menatapnya dalam. "Masya Allah," gumamku tanpa sadar.

"Mohon maaf, Akhi, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sembari menundukkan wajahnya.

Ini membuatku tersadar, bahwa tak seharusnya aku menatapnya seperti itu. Apalagi kami sama sekali tak saling mengenal. Astaghfirullahal'adziim.

"Ehm, Abah Yainya ada?" tanyaku sedikit gugup, sesekali menggaruk peci yang bertengger di kepalaku.

"Oh, Abah Yai, ada. Sebentar, ya, saya panggilkan dulu." Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung masuk kembali.

Ah, ini kebetulan atau memang Allah sudah menakdirkan kami untuk berjodoh, ya? Sampai-sampai sudah dua kali kami bertemu tanpa sengaja. Semoga saja ini pertanda baik untukku. Aamiin.

"Kamu rupanya, Zis?" Suara Abah Yai yang begitu tiba-tiba, sontak membuatku kaget bukan main.

"Ah, iya, Bah. Assalamu'alaikum." Aku mengulurkan tangan, mencium tangan beliau dengan takzim.

"Wa'alaikumsalam. Tumben siang-siang datang ke mari, Zis, ada perlu apa?" tanya Abah Yai, sembari mendudukkan diri di kursi teras dan memberi isyarat agar aku mengikutinya duduk di kursi sampingnya.

"Begini, Bah, maaf sebelumnya kalau saya kurang sopan." Aku mulai mengutarakan isi hati setelah duduk di samping beliau.

"Ada apa? Katakanlah!" Beliau menatapku mencari jawaban.

"Ehm, begini, Bah. Gadis yang tadi itu ... siapa?" tanyaku dengan ragu, sesekali mencuri pandang pada beliau sedekar ingin tahu bagaimana reaksinya.

Beliau mengulum senyum. "Kenapa, kamu naksir?" Abah Yai bertanya to rhe point, sampai-sampai aku bingung harus menjawab apa.

"Hehee ...." Akhirnya hanya sedikit tawa yang kuberikan, sesekali menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Namanya Nadia, keponakanku. Dia baru pulang dari Kairo," jawab beliau kemudian.

Oh, ternyata namanya Nadia. Cantik. Secantik wajahnya yang lugu. Ah, aku jadi teringat kembali bagaimana dia tersenyum saat melihat beberapa anak kecil berebut nasi kotak pagi tadi. Manisnya.

"Cantik," kataku sembari mengulum senyum membayangkan wajahnya.

"Ya, dia memang cantik."

Terdengar suara Abah Yai, aku sendiri gelagapan saat beliau tersenyum kepadaku. Astaghfirullah, kenapa aku keceplosan begini?

"Hehee, iya, Bah. Saya jadi naksir, upst!" Aku refleks menutup mulut dengan salah satu tanganku, malu.

Kini Abah Yai mulai manahan tawa dan menggelengkan kepala. Aku sendiri kikuk, tak berani melihat ke arah beliau lagi. Duh, kenapa harus keceplosan, sih?!

"Tamatkan dulu Kitab Ihya Ulumuddin yang kaupunya, baru nanti kubantu untuk mendapatkan kepercayaan darinya!" ujar Abah Yai.

Wah, ini seperti ada penyejuk di padang pasir yang tandus. Suatu kesempatan yang tak boleh kusia-siakan.

Akhirnya, setelah kudengar ucapan Abah Yai, aku segera kembali ke asrama dan mulai mambaca serta memahami kembali kitab itu, sesuai yang diperintahkan oleh beliau. Ah, siapa tahu Nadia benar-benar menjadi jodohku.

***

Sudah empat puluh hari aku tak pulang ke rumah. Rupanya Ibu mengirimkan surat lewat Mas Dinar, tetanggaku yang mondok di sini juga.

Sudah kubaca tadi malam. Katanya, ayah sedang sakit. Sedangkan sekarang, musim tanam padi telah tiba. Sawah beberapa petak milik ayah, tidak ada yang menggarap.

Ya, mau bagaimana lagi? Aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Otomatis akulah yang harus membantu meringankan pekerjaan mereka dalam bertani.

Akhirnya, sudah kuputuskan untuk pulang pagi ini. Usai subuh tadi, aku sudah meminta izin pada Abah Yai. Alhamdulillah beliau mengizinkan.

Abah Yai itu orang yang sangat baik, dermawan dan juga bijaksana. Tak pernah sekalipun aku melihat beliau marah, yang ada senyumanlah yang menghiasi wajahnya.

Ah, aku jadi ingat tentang riwayat Rasulullah Saw. Mungkin Abah Yai mencontoh perilaku Sang Baginda, sehingga mendapatkan banyak berkah dari-Nya. Salah satunya adalah dikaruniai tiga orang putra yang sholih-sholih.

Masya Allah. Semoga diriku termasuk orang yang mendapat syafa'at dari Sang Baginda. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.

"Kamu jadi pulang hari ini, Zis?" tanya Robi, saat aku tengah mengemasi pakaian di asrama.

"Iya, Rob. Kau mau ikut?" tawarku, tanpa mengalihkan pandangan dari beberapa lipat baju yang tengah kumasukkan dalam tas.

"Terima kasih, Zis, tapi kayaknya aku nggak bisa ikut. Minggu depan aku harus pulang, kakakku mau menikah. Jadi, dalam minggu ini juga aku harus menyelesaikan tugas kuliah dan juga hafalan surat Al-Baqarah yang kemarin Abah Yai perintahkan," terangnya.

"Ohh, begitu. Iya nggak apa-apa, Rob. Semoga semua diberi kelancaran, ya," ucapku kemudian.

Ya, Robi adalah teman seangkatan sekaligus teman sekamarku. Bedanya, dia juga kuliah di Universitas Islami yang berada tak jauh dari pesantren. Sedangkan aku ... tidak.

Sebenarnya aku juga ingin melanjutkan kuliah, tapi apa daya kalau terkendala di bagian biaya. Kedua orangtuaku tak punya modal untuk membiayaiku menempuh pendidikan sejauh itu. Penghasilan ayah hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah kedua adikku, karena kakakku satu-satunya sudah berkeluarga.

Biaya untuk mondok juga aku dapatkan sendiri, dengan membantu tetangga di sekitar pesantren yang membutuhkan bantuan. Seperti ikut memanen cengkeh, kapulaga, kopi dan hasil kebun lainnya. Upah yang mereka berikan tidaklah besar, tapi cukup untuk membayar bulanan dan juga kebutuhan sehari-hariku.

Tak jarang juga aku ikut membantu Abah Yai dalam mengolah sawah. Setiap kali beliau akan memberi upah, pasti tak kuterima. Bagiku, membantu Abah Yai sama halnya dengan membantu ayahku.

"Saya pamit pulang dulu, Bah," ucapku saat berada di samping rumahnya, beliau tengah memberi makan ayam peliharaannya.

"Hati-hati di jalan, ya, Zis. Salam untuk kedua orangtuamu. Semoga ayahmu bisa segera sembuh," ujar beliau.

"Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Assalamu'alaikum, Bah," pamitku sembari mencium tangannya.

"Wa'alaikumsalam." Kemudian aku segera pergi setelah beliau menjawab salamku.

Saat aku tengah menunggu angkudes di ujung gang, tiba-tiba saja seorang laki-laki berpakaian hitam, berlari dari arah yang berlawanan. Kemudian ... brugh!

Dia menabrakku. Kami sama-sama terjatuh. Sempat kulihat wajahnya yang putih dan bersih, juga lumayan tampan. Kalau dia seorang perempuan, pastilah cantik.

"Hati-hati, Mas, jalannya. Biar nggak nabrak terus!" seruku, sesaat setelah dia bangun.

Bukannya meminta maaf, dia malah menatapku dengan tajam. Seolah semua ini adalah salahku. Bener-bener itu orang, ada-ada saja!

***EA***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku