Cinta Untuk Nadia
Kembal
*
adalah jalan masuk ke desa di mana aku tinggal. Desa sederhana yang udaranya
ki, dapat kulihat sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu. Di sekelilingnya tertanam berbagai
arena termakan waktu. Aku ingat kapan pertama kali ayah membangun rumah ini. Se
p salam, tetapi pintu rumah tak kunjung dibuka
gar suara dari arah belak
n, itu adalah hasil dari berkebun. Bisa kulihat dari pakaiann
olehnya. Lumayan berat. Kuintip isinya, ternyata singkong. Asyik juga. Sudah lama
*
k?" tanya ibu, saat kami
gitu lahap dalam menyantap masakan ibu. Selain karena lapar, aku memang me
mbilan, Bu," ja
u, ya. Ayah masih tidur di kamar, ba
ari bekerja dengan keras demi kami. Seharusnya aku yang menggant
memang cita-cita kami ingin memondokkanmu, Nak, karena kamu satu-satunya anak laki-laki dari keluarga ini. Bagaiman p
kasur. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu. Aku ingi
ga kau segera
*
emua pekerjaan di sawah dan ladang milik Ayah s
Ayah dan Ibu. Alhamdulillah juga, keadaan Ayah sudah memb
a kesehatan kalian. Assalamu'alaikum," pamitku
Nak. Turuti perintah gurumu, insyaallah akan m
sudut mata, kemudian meluncur dengan mulusnya m
a melakukan hal yang sama. Kemudian seu
," ujar keduanya. Aku mengangguk, kemu
nya sopir angkudes yan
sampai sana?" jawabku, sekalian bertan
a naik bus untuk sampai ke pusat desa. Baru setelah itu naik angkudes
nya saja, kali ini aku ingin bertanya. Siapa tahu dia bisa m
h, nggak papa." Kemudian aku
*
saya?" Sebuah suara menyapa, saat aku bar
g selama dua minggu ini menghiasi pikiranku. S
Dik?" Ah, kenapa juga sapaan
mengenal dengan dekat? Ah, biar saja. Toh, sapaan 'Dik' bisa saja berlaku pada ora
akan ini, Mas. Saya mau bawa yang itu," jawabnya, menunjuk
padaku yang langsung berganti menjadi ... mas. Masya Alla
ya, ba
dengan dia yang langsung membawa kardus lainnya. Entah apa isinya kardu
muanya," ucapku, kemudian meraih
, ini bera
rti ini," ucapku, kemudian melangkah mendahuluinya. Kedua
yang berat seperti ini?" tanyaku, sedik
il Paman Abdullah, atau siapa saja santri yang berada di dalam untuk membantu membawa i
aranya, terdenga
aku, sebelum akhirnya me
potkan." Ada rasa tid
taruh di mana?" tanyaku kemudian, kami s
ggilkan Paman dulu." Dia lan
depan pintu. Tak lama kemudian, pintu terb
u sudah kembali
u di lantai teras, kemud
Bah, barusan," ucapk
ujar Nadia dari balik punggung Abah Yai,
Azis yang membawakan?" ta
ah. Tadi nggak sengaja ketemu di depan. Terus, Dik Nadia minta t
dian menepuk pundakku dengan pelan. "Usaha yang
Apa mak
*E