Petualangan lima sekawan berubah mencekam setelah mereka terdampar di sebuah pulau tak bertuan. Bahaya mengintai. Kejadian mengerikan datang menghampiri silih berganti. Mampukah mereka bertahan dan mencari jalan keluar?
Di bawah purnama. Di alun-alun sebuah desa yang nun jauh di sana, orang-orang tengah berpesta. Gendang ditabuh. Seruling dimainkan. Tubuh-tubuh ringkih nan keriput dimakan usia meliuk-liuk membentuk tarian yang menjijikkan.
Mereka menari, bernyanyi dan tertawa di dalam kepayang yang memabukan. Tangan-tangan keriput itu terangkat ke atas. Mereka merapalkan puja-puji dalam bait-bait lagu yang mereka nyanyikan untuk menyampaikan rasa syukur atas rezeki yang besar, menurut mereka.
Riuh rendah suara mendadak senyap kala sebuah gong dibunyikan. Dari dalam sebuah rumah, seorang perempuan digiring menuju alun-alun. Tubuh perempuan itu dibalut baju pengantin merah bersulam renda emas. Sunting permata bertengger di kepala. Pakaiannya gemerlap namun kontras dengan wajah si perempuan yang pucat pasi. Wajahnya tak berias, juga tak berpulas gincu. Tatapannya kosong bagai raga tanpa nyawa. Perempuan itu berjalan lamban menuju tahta pelaminan. Dengan patuh, dia mematung, duduk bersanding di sana sendirian.
Puluhan pasang mata menatap si Perempuan di pelaminan. Ada yang memelotot dengan mulut menganga. Ada pula yang menelan ludah karena tak kuasa menahan dahaga. Kehadiran si pengantin perempuan di pelaminan mempermainkan birahi mereka yang telah mencapai puncak kepala.
Seseorang di antara mereka kembali memukul gong. Pesta kembali dilanjutkan. Hingar kembali memecah, bukan lagi karena nyanyian atau tarian, riuh rendah suara perhelatan berganti menjadi kecap, kunyah, teguk dan reguk. Manusia-manusia uzur itu menyantap hidangan dengan lapar. Meja yang penuh hidangan bisa tandas seketika. Mereka tak mau berlama-lama menunggu untuk menyantap hidangan selanjutnya. Mata mereka kembali melesat ke arah si pengantin perempuan.
Setelah prosesi menyantap hidangan yang penuh kerakusan, seseorang naik ke atas pelaminan. Dia menggiring tubuh si pengantin menuju ranjang putih yang ditaburi kelopak mawar. Penganten itu mematung saat Sunting permata dilepas dari kepalanya. Baju merah bertatah emas yang membungkus tubuh dilepaskan lapis demi lapis sampai tak ada yang bersisa satu helai benang pun di badan. Tubuhnya di baringkan. Orang-orang renta yang kelaparan mendengung gelisah menatap perempuan telanjang. Deru napas mereka menderu, bagai serigala diburu napsu.
Tubuh-tubuh keriput yang ringkih itu membentuk lingkaran mengelilingi ranjang putih tempat tubuh perempuan berbaring kaku. Seseorang lelaki tua yang berdiri di garis lingkaran berjalan mendekat ke arah ranjang. Lelaki tua itu menjulurkan lidah untuk menyapu air liur yang menetes di bibirnya. Napsu binatangnya tak terbendung lagi. Helai demi helai pakaian lusuhnya ditanggalkan dari tubuh yang sudah menciut termakan usia. Dia meniti ranjang, bergerak-gerak di atas tubuh si perempuan. Setelah puas bermain, dia mulai melakukan ritual intinya. Dia menindih, satu kali hentak, tubuh tua itu mengerang penuh kenikmatan. Ranjang itu berderit-derit mengikuti ayunan birahi di atasnya, hingga akhirnya deritan pilu menjijikan itu berhenti. Si ringkih yang sudah kekenyangan menggerayangi si perempuan, turun dari ranjang dengan sempoyongan. Kemudian terhempas menghantam tanah.
Tubuh ringkih lainnya berjalan mendekati ranjang. Seolah tahu, ini adalah gilirannya. Dia berjalan dengan napas memburu. Secepat kilat dia menanggalkan pakaiannya, kemudian menindih tubuh si perempuan. Ranjang itu kembali berderit. Lenguhan penuh kenikmatan menguap ke langit Bunian. Silih berganti, tubuh-tubuh ringkih mengambil jatah giliran. Mereka bergantian menindih si perempuan yang terbujur kaku. Malam riuh berubah saru. Iblis-iblis kekenyangan melepas napsu.
Si Perempuan yang mati rasa, menatap nanar ke arah purnama. Raganya yang kosong telah digilir oleh iblis-iblis lapar tanpa jeda. Meski tak merasakan perih, dia tetaplah manusia lemah yang memiliki titik lelah. Perempuan itu menutup mata. Dia terkulai setelah dera luka menyobek raga. Dari pangkal paha, darah mengalir membasahi ranjang putih yang membisu.
Perempuan-perempuan renta yang ada dilingkaran mulai mengerang. Mata mereka membelalak melihat tubuh-tubuh ringkih yang terkulai di tanah setelah mendapat jatah. Lambat laun tubuh itu berubah bentuk, semula ringkih, kini perlahan menunjukkan otot-otot yang menegang, wajah mereka berubah rupawan, berubah tegap dan kekar dengan kulit yang kencang.
Mereka kembali muda setelah ritual nista di bawah purnama penuh kampung Bunian yang tak kasat mata.
Bab 1 Prolog
09/12/2021
Bab 2 1
09/12/2021
Bab 3 2
09/12/2021
Bab 4 3
09/12/2021
Bab 5 4
09/12/2021
Bab 6 4
09/12/2021
Bab 7 6
10/12/2021
Bab 8 7
10/12/2021
Bab 9 8
13/12/2021
Bab 10 9
13/12/2021
Bab 11 10
13/12/2021
Bab 12 11
13/12/2021
Bab 13 12
13/12/2021
Bab 14 13
13/12/2021
Bab 15 14
13/12/2021
Bab 16 15
13/12/2021
Bab 17 16
13/12/2021
Bab 18 17
13/12/2021
Bab 19 18
13/12/2021
Bab 20 19
13/12/2021
Bab 21 20
13/12/2021
Bab 22 21
13/12/2021
Bab 23 22
13/12/2021
Bab 24 23
13/12/2021
Bab 25 24
13/12/2021
Bab 26 25
13/12/2021
Bab 27 26
13/12/2021
Bab 28 27
13/12/2021
Bab 29 28
13/12/2021
Bab 30 29
13/12/2021
Bab 31 Epilog
13/12/2021