Hilang Di Bunian
ang tengah berpesta. Gendang ditabuh. Seruling dimainkan. Tubuh-tubuh ring
keriput itu terangkat ke atas. Mereka merapalkan puja-puji dalam bait-bait lagu yang m
n merah bersulam renda emas. Sunting permata bertengger di kepala. Pakaiannya gemerlap namun kontras dengan wajah si perempuan yang pucat pasi. Wajahnya tak berias, juga tak
enganga. Ada pula yang menelan ludah karena tak kuasa menahan dahaga. Kehadiran si penga
suara perhelatan berganti menjadi kecap, kunyah, teguk dan reguk. Manusia-manusia uzur itu menyantap hidangan dengan lapar. Meja yang penuh hidangan bis
anten itu mematung saat Sunting permata dilepas dari kepalanya. Baju merah bertatah emas yang membungkus tubuh dilepaskan lapis demi lapis sampai tak ada yang bersisa satu helai b
. Napsu binatangnya tak terbendung lagi. Helai demi helai pakaian lusuhnya ditanggalkan dari tubuh yang sudah menciut termakan usia. Dia meniti ranjang, bergerak-gerak di atas tubuh si perempuan. Setelah puas bermain, dia mulai melakukan ritual intinya. Dia menindih, satu kali hentak, tubuh
iannya, kemudian menindih tubuh si perempuan. Ranjang itu kembali berderit. Lenguhan penuh kenikmatan menguap ke langit Bunian. Silih berganti, tubuh-tubuh
anpa jeda. Meski tak merasakan perih, dia tetaplah manusia lemah yang memiliki titik lelah. Perempuan itu menutup mata
yang terkulai di tanah setelah mendapat jatah. Lambat laun tubuh itu berubah bentuk, semula ringkih, kini perlahan
l nista di bawah purnama penuh ka