Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Diantara ramainya jalan lalu lintas, sebuah mobil melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Mobil yang mengebut dan akan menerobos lampu merah.
Seorang pria di dalamnya sedang mabuk, tangannya memegang stir mobil dan tangan yang lainnya memijat kepalanya yang terasa pusing.
Pandangan matanya berputar-putar seolah ia sedang menaiki rolercoaster.
Suara kalkson mobil yang bersahutan dan umpatan kesal karena Natan berkendara dalam keadaan mabuk.
Dalam waktu yang singkat, pertigaan yang mempunyai rampu merah itu ada beberapa mobil dan motor yang masih menyebrang.
Namun, mobil Nathan mendekati sebuah mobil yang akan menyebrang. Mata Nathan terbelalak saat melihat ke depan. Kakinya berusaha menginjak rem berharap kecepatan mobilnya bisa berkurang.
Sayangnya, kecepatan mobil Nathan sudah tidak bisa di kendalikan lagi.
Suara tabrakan pun terdengar begitu keras, menghentikan mobil dengan tiba-tiba.
Tubuh Nathan terhempas ke depan akibat benturan tersebut. Kaca depan mobil retak, karena Nathan tidak memakai sabuk pengaman, tubuh Nathan terlempar beberapa kilometer dari tempat kejadian.
Tubuh Nathan berguling-guling yang kemudian membentur trotoar jalan. Kepala Nathan mengeluarkan cairan darah. Mata Nathan sedikit terbuka tapi ia tidak sanggup menahan luka di sekujur tubuhnya, luka akibat dari pecahan kaca mobilnya.
Orang-orang yang berada di sekitar segera berkerumun untuk melihat apa yang terjadi
"Astaga, segera telepon ambulance!"
"Cepatlah! Dia terluka parah!"
Salah satu dari mereka pun menghubungi nomor ambulance. Melaporkan kejadian kecelakaan dan dua korban yang terluka parah.
Tidak butuh waktu lama, ambulance pun datang. Beberapa dokter dan petugas medis membopong Nathan dan korban satunya. Mereka segera memasukkannya ke dalam ambulance dan menuju ke rumah sakit.
Di dalam mobil ambulance, seorang wanita begitu panik dan tidak tega menatap wajah Nathan yang tertutupi oleh darah.
"Kau mau menangisinya?" Tanya Fera, seorang petugas medis. Ia duduk melihat Nathan yang berada di tengah-tengah yang di baringkan diatas tandu.
Emily tidak menjawab. Ia diam, melihat darah itu membuatnya teringat dengan bundanya saat melahirkan anak kedua, calon adiknya yang tidak bisa di selamatkan. Dengan tidak adilnya, sang ibunda juga ikut menyusul dan pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya.
"Aku benci darah," gumam Emily menggelengkan kepalanya. Sudah sejak satu tahun berlalu, ingatan itu masih membekas di pikirannya.
Fera mengerti dengan perasaan Emily. "Sabar ya? Ikhlaskan kepergian bundamu. Dia sudah tenang di surga."
Tanpa sadar, mata Emily meneteskan cairan bening, ia menangis. "T--tapi, apa dia akan selamat? Apa dia bisa bertahan?" Ia menoleh menatap Fera. Entah bagaimana perasaan kelurga korban nanti jika mengetahui salah satu anggotanya mengalami kecelakaan yang menimbulkan luka parah.
Fera mengangguk. "Pasti, dia adalah laki-laki. Ia pasti bisa bertahan. Kita doakan saja yang terbaik kepada Tuhan."
"Maaf, apakah kalian sudah menghubungi pihak keluarganya?" Tanya dokter Richard, ia sejak tadi hanya mendengarkan orbolan Fera dan Emily.
"Belum," Fera menggeleng. "Kita belum menemukan kartu identitas atau ponselnya."
"Astaga, cobalah periksa pakaiannya. Carilah dompet dan pasti ada KTP atau kartu namanya," ucap dokter Richard menghela napasnya. Menghubungi pihak keluarga itu penting agar mereka segera mendampingi pasien dan mengurus administrasinya.
Fera merogoh saku pakaian Nathan, dari celana hingga kemeja. Ia akhirnya menemukan kartu namanya saja.
"Nathan Thomson, alamat rumah kota Manhattan, nomor telepon, dan pekerjaan bodyguard," Fera membaca kartu nama Nathan. Ternyata tempat tinggalnya cukup jauh.
"Apa kau hanya menemukan kartu namanya saja? Apa tidak ada KTP?" Tanya dokter Richard.
"Kartu nama saja. Mungkin kita bisa ke alamat yang tertera dan menanyakannya ke warga sekitar. Huh, sayang sekali dia tidak membawa KTP."
"Bagaimana dengan ponsel?" Tanya dokter Richard lagi.